Kupang, Vox NTT – Puluhan jurnalis yang tergabung Forum Wartawan Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar aksi demontrasi ke markas Kepolisian Daerah (Polda) NTT, Senin (31/08/2020).
Mereka mendesak lembaga itu untuk tidak menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maupun KUHP dalam menyelesaikan sengketa pers.
Aksi tersebut, sekaligus sebagai dukungan untuk dua jurnalis yang dijerat UU ITE dan KUHP terkait karya jurnalistiknya. Keduanya yakni Pemred BeritaNTT.com Hendrik Geli dan Pemred Tribuana Pos Demas Mautuka.
Terpantau, aksi demontrasi itu dimulai dari depan kantor Gubernur NTT. Mereka membentangkan sejumlah spanduk, salah satunya bertuliskan “Siapa yang Membungkam Pers adalah Musuh Kebenaran”.
Koordinator aksi, Joey Rihi Ga mengatakan dalam melaksanakan tugas jurnalistik, pekerja pers dilindungi oleh konstitusi negara yaitu UU Pers No.40 Tahun 1999.
Perlindungan terhadap pekerja pers juga diperkuat dengan nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia No. 2/DP/MoU/II/2017 dan No. B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
MoU tersebut menegaskan sengketa terkait pers diselesaikan melalui langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers hingga proses perdata. Apabila menemukan dan/atau menerima laporan masyarakat terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang pers maka Dewan Pers melakukan koordinasi dengan Kepolisian.
Meski sudah diatur dalam UU Pers dan MoU Dewan Pers dengan Kepolisian RI, sejumlah peristiwa yang terjadi di NTT justru bertolak belakang. Peristiwa yang menimpa Hendrik Geli dan Demas Mautuka merupakan contoh jajaran kepolisian di NTT belum mematuhi UU dan MoU tersebut.
“Peristiwa yang menimpa Pemred BeritaNTT.com Hendrik Geli di Kabupaten Rote Ndao dan Demas Mautuka, Pemred Tribuana Pos di Kabupaten Alor menunjukan bahwa jajaran kepolisian di Nusa Tenggara Timur belum mematuhi regulasi dan konstitusi serta MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri,” tegas Rihi Ga.
Pemred Seputar-NTT.com itu mengatakan kebebasan pers (freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusi. Itu berarti media dan bahan-bahan yang dipublikasikan mendapatkan perlindungan hukum.
“Seperti menyebarluaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah,” kata Rihi Ga.
Kebebasan pers, kata dia, akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers, masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah sehingga kontrol dan pengawasan publik terhadap kekuasaan bisa berjalan.
“Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” ujarnya.
Selain menggelar orasi, Forum Wartawan NTT menyampaikan sejumlah tuntutan yang tertuang dalam pernyataan sikap. Antara lain, mendesak penghentian penyidikan terhadap Pemred BeritaNTT.com Henderik Geli di Polres Rote Ndao dan Pemred Tribuana Pos Demas Mautuka di Polres Alor.
Pihak kepolisian diminta untuk menggunakan UU Pers dan MoU Dewan Pers dengan Kepolisian RI untuk menyelesaikan sengketa pers, bukan UU ITE.
Mereka juga mendesak Polda NTT, Pemkab Rote Ndao, dan Pemkab Alor untuk berlaku adil dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada semua wartawan dalam mendapatkan informasi sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Yohanes