Ende, Vox NTT
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi angkat bicara mengenai sistem pengawasan pengelolaan limbah batu bara pada Perusahaan Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa di Kecamatan Maurole, Kabupaten, Ende, NTT.
Dalam rilisannya, Umbu melihat tercemarnya limbah batu bara (fly ash) terhadap lingkungan akibat minim sistem pengawasan oleh pemerintah.
BACA JUGA: Cemari Lingkungan, Warga Ropa Keluhkan Limbah Batubara PLTU
Sebab menurutnya, limbah batu bara merupakan energi kotor yang punya dampak negatif secara signifikan terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek pemerintah mesti menekan PLTU untuk mengatasi persoalan dampak lingkungan oleh Perusahan Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa.
“Memastikan tidak ada lagi pencemaran udara dan laut yang akan berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Karena rakyat berhak atas lingkungan hidup yang sehat sesuai mandat UU,” tulis Umbu setelah dikonfirmasi VoxNtt.com pekan lalu.
Ia menerangkan bahwa limbah batu bara merupakan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang sangat rentan mempengaruhi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alam.
Apabila terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran yang bakal menganggu lingkungan hidup maka pemerintah daerah mesti tegas dan memberikan sanksi kepada PLTU.
Selain itu juga penting untuk melihat kembali Analisis Menganai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU Ropa untuk diketahui kelemahan dan pelanggarannya.
“Harus ada juga ganti rugi lingkungan dan ekonomi warga yang terdampak negatif akibat buruknya kinerja PLTU,” lanjutnya.
Ia merekomendasikan pemerintah daerah agar harus mulai memikirkan untuk menjalankan program listrik yang lebih ramah lingkungan seperti energi matahari dan air.
Hal ini untuk menekan agar tidak tercemar terhadap lingkungan yang berdampak pada keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya baik di darat, udara maupun di laut.
“Tidak bergantung lagi pada energi batu bara yang memang terkenal sebagai energi kotor dan sangat kotor apabila salah kelola,” tegas Direktur Walhi NTT.
Diberitakan sebelumnya, dugaan pencemaran lingkungan oleh sistem pengelolaan limbah batu bara PLTU Ropa berawal dari laporan pegawai pada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Ende.
Ada empat pegawai kementerian mengalami rasa gatal pada kulit setelah menyelam di laut dekat kawasan perusahan tersebut.
“Mereka keluh ada rasa gatal di tangan setelah menyelam disana. Kami sedang identifikasi,”ujar Kadis DLH Ende, Abdul Haris Madjid pada Jumat (09/09/2020) lalu di Ende.
Mengenai persoalan itu, ia mengklaim bahwa pihaknya telah membahas keluhan tersebut bersama otoritas PLTU Ropa.
Terkait limbah batu bara yang diduga mencemari lingkungan pun diakui warga setempat Siti Rugeya.
Menurut Siti, akibat dari limbah batu bara berupa debu (fly ash), ia dan keluarga merasakan dampak itu. Debu batu bara menutupi daun jambu mete hingga kering dan tidak berbuah.
Bahkan, suaminya yang hari-hari bekerja sebagai nelayan harus mencuci jala setiap dua jam. Sebab, abu batu bara dari limba itu mengendap pada jala setiap saat.
“Ya, debu terbang sampai pemukiman dan ke laut. Kami disuruh pakai masker. Suami saya mau melaut saja harus cuci jala dahulu, karena kalau lepas jalanya hitam semua, ikan tidak mungkin dapat,”katanya.
Sementara pihak PLTU tidak ditemui wartawan saat hendak mengonfirmasi keluhan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kantor PLTU Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole pada Jumat (11/09/2020) lalu.
Wartawan wajib menyerahkan surat tugas sebelum menemui otoritas perusahan tersebut. Bahkan saat wartawan meminta nomor kontak Kepala PLTU Ropa untuk kepentingan konfirmasi keluhan itu, petugas enggan memberi.
Penulis : Ian Bala
Editor: Irvan K