Kupang, VoxNtt.com
“Sampah berlimpah berserakan yang ada di setiap ibu kota kabupaten dan kota di seluruh NTT merupakan pantulan paling transparan dari tingkat peradaban para pemimpinnya. Bahkan ketaksanggupan mengelola sampah kota adalah juga gambaran dari tingkat kecerdasan para pemimpinnya,” tandas Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat, di ruang rapat Lantai I Kantor Gubernur NTT, di Jl. El Tari, Senin (21/9/2020).
Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat mengatakan hal itu saat memberi kata pengantar pada diskusi webinar yang diselenggarakan kolaboratif antara Sekolah Tinggi Kesehatan Provinsi NTT, Ikatan Dokter Anak NTT, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana Kupang, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Unicef NTT, dengan lintas sector terkait lain.
Narasumber yang tampil antara lain Walikota Kupang, Dr. Jefrison Riwu Koreh, Wakil Bupati Sikka, Dokter Ahli Anak Frans Taolin dan mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, DR. Dominggus Mere. Diskusi dimoderatori DR. Pius Weraman.
Tema pokok diskusi ialah mengenai langkah praktis apa yang harus ditempuh para pemimpin wilayah dan seluruh stakeholder terkait, ketika angka kematian akibat demam berdarah di seluruh wilayah NTT di tengah badai Covid-19, tampak terus menanjak naik.
Menurut Gubernur, demam berdarah itu selalu pasti ada hubungan langsung antara kebersihan lingkungan fisik dan sosial. Tetapi, anehnya, orang di NTT malah lebih heboh bicara soal covid-19 dibanding berbicara DBD.
Padahal angka kematian yang ditimbulkan demam berdarah sangat nyata dan cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun. Demam berdarah telah menelan korban tiap tahun. Tercatat, tahun 2020, telah 54 orang mati mengenaskan. Tetapi, tak satu pun elemen sosial di NTT, termasuk pemerintah yang heboh berbicara masalah ini.
Kata Gubernur, mungkin saja, manusia NTT menganggap cara mati akibat demam berdarah sudah biasa di sini. Sedangkan cara mati covid-19 merupakan cara mati baru sehingga dibicarakan jauh lebih heboh dibanding tema krisis lain.
Memang benar, tiap periode pergantian gubernur, bupati dan walikota di seluruh NTT, tema dan perspektif pembahasan tentang DBD ini selalu didiskusikan, tetapi kasus demam berdarah tidak menunjukkan angka menurun. Angka demam berdarah dan akibat yang ditimbulkannya tidak mungkin turun, jika lingkungan fisik dan sosial kita di NTT penuh sampah.
“Saya minta kita berhentilah bicara tentang teori-teori lingkungan bersih. Semua teori itu bukan tidak penting, tetapi jauh lebih penting sekarang ialah bicara tindakan nyata apa yang langsung mengena pada penyelesaian problem DBD. Implikasinya harus jelas tuntas terhadap angka kematian turun tajam,” ujar Gubernur Victor.
Kata Gubernur, kita semua sama tahu bahwa fakta timbunan dan sebaran sampah yang ada, kecuali karena perilaku masyarakat yang belum sensitive bersih, tetapi juga pemerintah sendiri pun sama sekali tidak menangani masalah sampah ini secara serius di semua ibukota kabupaten dan Kota Kupang. Ruteng dan Kota Kupang pernah dicatat sebagai dua kota paling kotor di NTT, tetapi langkah penuntasannya tampak belum maksimal.
“Padahal sejak saya memimpin ini provinsi dua tahun silam, saya imbau dari waktu ke waktu kepada semua pihak untuk segera atasi masalah sampah karena kita ingin NTT jadi destinasi wisata. Demi opsi itu saya sendiri pun memberi teladan memungut dan membersihkan sampah. Tetapi, tampaknya para pemimpin lain, masa bodoh. Sehingga saya mulai piker, apakah memang karena para pemimpinnya sungguh-sungguh bodoh,” ujar Gubernur yang didampingi Wakil Gubernur NTT, Josef A. Naesoi.
“Jika Anda jalan di Kota Kupang, akan dengan sangat mudah ditemukan sampah berserakan di mana-mana. Saya tidak tahu, apakah kita semua ini bodoh sehingga tidak sanggup mengatasi masalah sampah atau memang kita tidak memiliki cinta yang serius untuk menyelesaikan masalah lingkungan bersih,” ujar Gubernur prihatin.
Sikap budaya dan cara pikir tak peduli kebersihan lingkungan, tak hanya sungguh memilukan tetapi juga memalukan. Memalukan karena kota kotor memberi pesan sangat jelas bahwa kita manusia tidak beradab. “Saya selalu malu jika ditanya tentang kebersihan di NTT ini,” ujar gubernur.
Meski demikian, beberapa kabupaten telah memiliki langkah jelas dan rinci untuk menangani masalah demam berdarah. Kabupaten Sikka, misalnya, sebagai salah satu kabupaten dengan angka kematian tinggi karena demam berdarah, telah membuat keputusan strategis yang menjanjikan. Tetapi control harus terus dilakukan agar rakyat juga lambat laun berbudaya bersih, menjaga lingkungan tetap asri dan menjauhkan sampah dari lingkungan hidupnya.
Begitupun pemerintah Kota Kupang. Sebagaimana dilaporkan Walikota Kupang, Jefry Riwu Koreh, jumlah armada pengangkut sampah kian diperbanyak, tetapi juga edukasi, sosialisasi dan koordinasi dinas harus sampai ke tingkat RT dan RW. Tak cukup hanya dengan imbauan dan tunjuk teladan Walikota pungut sampah. Gerakan lingkungan bersih ini harus terus dikontrol terus-menerus. Sehingga, gerakan antisampah ini tidak hanya sebatas gerakan elitis, tetapi juga menjadi gerakan perang semesta di kota ini.
Kota Kupang sebagai salah satu pusat pembentukan peradaban di NTT diharapkan sanggup membebaskan diri dari sampah yang tak terurus beres. Kota Kupang menjadi pusat pendidikan yang ditandai dengan jumlah perguruan tinggi paling banyak di NTT, begitu pun jumlah sekolah. Mestinya, gerakan bersih lingkungan fisik ini, bukan hanya urusan pemerintah kota, tetapi yang diminta ialah leadership kota harus kuat dan konsisten.
“Bersih kota bukan sekadar seremonial panggung politik, melainkan sebagai gerakan peradaban manusia berpendidikan tinggi, dan cirri manusia modern,” kata Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi. (eka)