Kota Kupang, Vox NTT-Aksi Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Mahasiswa untuk Petani (GERAM) NTT mendapat tindakan represif, intimidasi dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat Kapolresta Kupang Kota.
Aksi demonstrasi tersebut dalam rangka menyuarakan beberapa tuntutan termasuk penolakan pergelaran Pilkada tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Selain karena Pilkada terkesan dipaksakan di tengah ancaman mematikan wabah covid-19, mereka menilai Pilkada hanyalah jalan mulus bagi kapitalis untuk menciptakan boneka-boneka lokal yang nanti akan menjadi kaki tangan korporasi.
Dengan demikian, sistem Pilkada yang dikontrol ketat oleh segelintir elit menjauhkan pembahasan tentang persoalan kebutuhan dasar rakyat buruh dan tani. Dalam pandangan GERAM NTT, Pilkada lebih pada pembahasan agenda-agenda yang menguntungkan investor, misalkan perampasan tanah pertanian untuk kebutuhan pertambangan dan pariwisata.
Aksi yang digelar bertepatan dengan Hari Tani Nasional tersebut juga menyoroti kebijakan Omnibus Law yang dinilai para aktivis tidak pro terhadap massa rakyat; pelajar, buruh, nelayan, kaum miskin kota, dan kaum tani itu sendiri.
“Aksi damai dibubarkan paksa disertai tindakan represi oleh aparat kepolisian Polresta Kupang Kota terhadap massa aksi dan disertai penangkapan 13 kawan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Mahasiswa Untuk Petani (GERAM) NTT. Tindakan brutal yang dilakukan dalam menangani massa aksi yang damai dengan dalih pencegahan pandemi covid-19, dan tidak ada surat izin aksi. Padahal aliansi GERAM NTT sudah memberikan surat pemberitahuan ke Polresta Kupang Kota pada, Selasa 22 september 2020 dan menerima surat tanda terima pada hari senin, 22 september 2020,” ungkap Kevin Masan, Koordinator Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi eksekutif Kota Kupang, Jumat (25/09) siang.
Kronologis
Berdasarkan rilis yang diterima VoxNtt.com dari maksi berikut kronologis tindakan kekerasan tersebut:
Pukul 10.48 Wita, massa aksi ditahan di depan pasar Inpres Kota Kupang. Polisi mulai berdatangan menggunakan mobil dan motor.
Pukul 10.51 Wita, polisi dgn polwan masih menutupi massa aksi
Pukul 10.52 Wita, polisi membunyikan sirene mobil polisi.
Pukul 10.55 Wita, polisi menghentikan aksi
Pukul 10.57 Wita, para aktivis dipukul. Salah satu kawan dikeroyok polisi, dipukul, diinjak, ditendang sampai berdarah. Aktivis juga ditangkap dan dibuang paksa masuk ke dalam dalmas (bukti foto dan video)
Pukul 10.58 Wita, polisi mengejar massa aksi yang lain
Adapun nama-nama yang ditangkap oleh aparat Polresta Kupang Kota, yaitu:
- Yufen Bria (LMND-DN)
- Yosep Suban Kellen (Pembebasan)
- Mikel (AMP)
- Jack (AMP)
- Oki (Kirikil)
- Luis (Kirikil)
- Virus (Permmalbar)
- Rian kabus (Permmalbar)
- Jo (Permmalbar)
- Lastri (Permmalbar)
- Amin (induvidu Prodem)
Kevin menegaskan, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan bentuk pembungkaman Demokrasi. Polisi juga dinilai mengekang kebabasan berpendapat sesuai yang tertera dalam pasal 28E UUD Tahun 1945 dan telah melanggar ketentuan UU No. 9 Tahun 1998, tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
“Aparatus kepolisian sendiri telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagaimana Perkapolri No. 9 Tahun 2008 tentang cara penyelenggaraan, pelayanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Kami secara organisasi mengecam keras tindakan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian”, tandasnya.
Pernyataan Sikap Saat Aksi
Gerakan Rakyat Mahasiswa untuk Petani Miskin (GERAM TANI) NTT) dalam point tuntutannya menegaskan, Hari Tani yang diperingati pada tanggal 24 September setiap tahunnya, merupakan peringatan bagi seluruh rakyat tertindas dan terhisap di seluruh Indonesia.
Sejarah penting bagi petani di Indonesia terukir saat ditetapkannya undang – undang nomor 5 tahun 1960 atau yang dikenal pokok – pokok agraria (UUPA 1960). UU ini lahir sebagai upaya merestrukturisasi ketimpangan lahan yang dikuasai oleh segelintir orang atau kaum kolonalis pada waktu itu.
“Penguasaan tanah kala itu didominasi oleh korporasi besar. Pemerintahan Soekarno berupaya merombak kepemilikan tanah melalui penetapan undang-undang pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Hal ini menujukan dengan jelas bahwa upaya pemerataan struktur penguasaan tanah dapat mengangkat harkat kaum tani untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama,” tulis mereka.
Namun, saat rezim Jokowi berkuasa, pemerintahannya malah melegitimasi beberapa kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat, salah satunya melalui rancangan undang-undang Omnibus Law. Rancangan Undang-Undang Omnibus Law merupakan paket kebijakan rezim Jokowi-Amin yang dinilai GERAM semakin memberikan kemudahan bagi investasi asing untuk masuk dan beroprasi di Indonesia.
Dengan perizinan yang semakin dipermudah berdampak terhadap perampasan lahan secara sepihak dan semakin masif terjadi di Indonesia. Jika rancangan undang-undang Omnibus Law sampai disahkan maka dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tertindas.
Dalam sektor agraria misalnya, posisi kaum petani dan masyarakat adat akan semakin mengalami ketimpangan sosial. Perampasan lahan masyarakat untuk kepentingan investasi di tambah Hak Guna Usaha ( HGU ) untuk investor yang di tetapkan selama 90 tahun, akan menambah panjang daftar konflik agraria di Indonesia.
Dalam catatan Korsosium Pembaruan Agraria ( KPA), di tahun 2019 terjadi sebanyak 279 letusan konflik agraria dengan luas 734.239,3 hektar yang berdampak pada 109.042 KK.
“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, selama periode kepemimpinan jokowi terjadi 2.047 kasus konflik agraria mencakup sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan property. Omnibus Law adalah produk yang menjamin dan melindungi kepentingan kapitalis monopoli asing, mengakomodir investasi asing masuk ke Indonesia dengan berbagai kemudahan deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum kepastian dan kemudahan berusaha bagi para kapitalis yang kemudian merampas hak buruh dan petani,” papar mereka.
Masaa aksi juga menilai, dengan adanya RUU cipta kerja atau omnibus law, maka kontrol kapitalisme semakin menentukan orientasi pembangunan ke seluruh aspek kehidupan. Melalui campur tangan pemerintah, imperialis akan terus mengontrol masalah agraria, ketenagakerjaan, migrasi, pendidikan, kesehatan.
Disebutkan, ancaman bagi kaum tani dan masyarakat diperdesaan jika RUU cipta kerja disahkan adalah semakin kuat dan insentifnya perampasan tanah dan pengokohan monopoli tanah dalam sitem pertanian terbelakang.
“Dominasi imperialisme di perdesaan tentu akan menghubungkan penetrasi kapitalnya hingga pelosok desa. Hal tersebut tentunya menguntungkan bagi konglomerat dan korporasi besar, namun merugikan kaum tani,” tegas mereka.
Atas dasar itu, GERAM NTT menyatakan sikap untuk:
- Tolak Omnibus Law
- Segera sahkan RUU PKS
- Segera jalankan UUPA N0.5 Tahun 1960
- Stop PHK terhadap buruh
- Stop perampasan lahan untuk kepentingan investasi
- Segera tarik militer di tanah Papua dan tolak otsus jilid II
- Cabut SK DO 4 Mahasiswa UNKHAIR Ternate
- Segera bebaskan tapol pro demokrasi
- Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis
- Tolak Pilkada 2020
- Segera kembalikan hak masyarakat adat Besipae
- Segera selesaikan persoalan WNI Eks Timor-Timor
- Stop kriminalisasi terhadap gerakan rakyat tertindas
- Berikan jaminan produksi bagi petani (tanah, air, jaminan pasar, dan alat-alat pertanian yang modern) di NTT. (VoN).