Oleh: Efrem Ery Gius, S.IP., M.I.P.*
Sebanyak 127 desa di 12 kecamatan di Kabupaten Malaka (2020) wajib secara partisipatif menyelenggarakan musyawarah penyusunan dokumen perencanaan pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Setelah menyusun RPJMDes, berikutnya menyusun RKPDes dalam jangka waktu satu tahun, dan merupakan penjabaran dari RPJMDes yang jangka waktunya enam tahun.
Tahapan berikutnya menyusun APBDes yang meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan dengan berpedoman pada RPJMDes dan RKPDes, dan ditetapkan oleh kepala desa setelah musyawarah dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan evaluasi dari bupati (Heru Nugroho, dkk. 2017:23-24).
APBDes tahunan ini meliputi belanja dan pembiayaan terhadap kewenangan desa di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam dokumen RKPDes, pemerintah desa juga wajib menjabarkan arah kebijakan pembangunan desa meliputi target, pelaksanaan, dan Rencana Anggaran Pemerintah (RAP).
Misalnya tahun 2018 dan 2019 di Desa Kakaniuk, Kecamatan Malaka Tengah, berdasarkan bidang pelaksanaan pembangunan desa, Pemerintahan Petronela Luruk (2016-2022) menjabarkan arah kebijakan pembangunan ke dalam RKPDes berupa pembangunan lopo di kawasan Bendung Benenain dan saluran got di Kakaniuk, dan tahun 2018 di Desa Bobotin Selatan, Kecamatan Botin Leobele, pemerintah desa menjabarkan kebijakan berupa pembuatan bak ikan (SepangIndonesia, 10/1/2020).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebagai payung hukumnya memuat beberapa asas berupa demokrasi, partisipasi, kesetaraan, rekognisi, dan subsidiaritas sebagai pengakuan-penghormatan terhadap desa.
Asas subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang harus melakukan dominasi dan menggantikan yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya (Sutoro Eko, 2014:30), sehingga dalam penyusunan RPJMDes, RKPDes, APBDes, dan RAP, pemerintah desa tidak bisa tidak harus berpihak kepada hak dan kepentingan masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari alokasi dan distribusi dana desa (Bdk. Abdur Rozaki, dkk. 2011:15).
Beberapa asas tersebut bertujuan mendorong prakarsa desa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa, memajukan perekonomian masyarakat guna kesejahteraan bersama, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan desa.
Lebih jelasnya, beberapa asas tersebut mau mendorong sejak penyusunan RPJMDes, RKPDes, APBDes sampai tahapan evaluasinya dilakukan secara partisipatif, tidak hanya dari pemerintah desa bersama BPD, tetapi juga dari organisasi kemasyarakatan, dan semua masyarakat yang berkepentingan. Apalagi dalam mendorong masyarakat sebagai subjek pembangunan desa, pemerintah desa mau tidak mau harus merangkul semua masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari alokasi dan distribusi dana desa tersebut.
Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini, kepada desa sebagai pemerintah desa akan menghadapi struktur akuntabilitas tiga kali lipat; secara horizontal bertanggungjawab kepada BPD, turun ke masyarakat melalui musyawarah desa, dan secara vertikal kepada pemerintah kabupaten (Purwo Santoso, dkk. 2019:83).
Kehadiran BPD dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini selain berfungsi sebagai lembaga yang menyelenggarakan musyawarah desa, juga berfungsi mendorong demokratisasi desa secara lebih responsive, akuntabel, legitimasi, dengan memperkuat proses artikulasi, agregasi, formulasi, serta kontrol terhadap pemerintah desa.
Fungsi BPD dalam mendorong demokratisasi desa dapat dilakukan dalam beberapa hal misalnya; (1) membuka ruang yang memungkinkan warga mendiskusikan isu-isu publik dan membentuk opini; (2) memberi wawasan kepada pemerintah desa mengenai isu yang berkembang; dan (3) membuka ruang bagi warga untuk memberi pandangan sehingga pemerintah memilah pilihan yang baik dan buruk (Heru Nugroho, dkk. 2017:123-124).
Dengan fungsi BPD melakukan kontrol ini, maka maka pemerintah desa tidak bisa lagi bertindak nominative menyusun RPJMDes, RKPDes dan APBDes yang pada beberapa desa sudah terjangkit penyakit elite capture sehingga merugikan masyarakat. Elite capture adalah penyakit yang memangsa/membajak hak masyarakat mengakses dana desa untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan melalui stuktur akuntabilitas itu relative secara horizontal dan vertikal.
Penyakit tersebut, pada beberapa desa, muncul melalui distorsi demokratisasi desa sehingga penjabaran kebijakan pembangunan relatif belum secara signifikan menjawab masalah desa akibat hak masyarakat dalam mengakses sudah dimangsa/dibajak. Studi Bank Dunia (2018) dan Utami (2018) telah membuktikan bahwa dana desa saat ini digunakan untuk operasi dan infrastruktur pemerintah desa, dan lebih sedikit untuk pemberdayaan, pengentasan kemiskinan, layanan dasar atau pengembangan ekonomi lokal (Purwo Santoso, dkk. 2019:83).
Karenanya, untuk melawan nominative, pemerintah desa mau tidak mau harus bermitra dengan BPD untuk mendorong perubahan melalui penyusunan RPJMDes, RKPDes partisipatif dengan merangkul semua masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari alokasi dan distribusi dana desa tersebut (Bdk. Abdur Rozaki, dkk. 2011:15).
Pasalnya, pada beberapa desa, terbukti pelaksanaan fungsi BPD relatif masih stagnan oleh minimnya ruang diskursus-deliberatif hingga berkolusi dengan pemerintah desa sehingga penjabaran kebijakan pembangunan desa juga berjalan secara kolutif. Stagnasi tersebut pada akhirnya membuktikan BPD lemah dalam proses artikulasi, agregasi, dan formulasi aspirasi masyarakat sehingga keberpihakannya juga lemah kepada hak dan kepentingan masyarakat yang selama ini terpinggirkan tersebut.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Indonesia dibentuk guna memajukan kesejahteraan umum (Ivanovich Agusta, 2014:1), jadi pemerintah desa tidak bisa tidak harus punya visi sesuai kondisi objektif desa, dan guna mendorong prakarsa desa, masyarakat juga harus punya ruang inklusif dalam berdiskursus-deliberatif.
Pasalnya, penyakit elite capture pada beberapa desa muncul melalui penyusunan RKPDes yang berjalan tanpa diskursus-deliberatif yang mendalam dan setara (political equality), sehingga meskipun setiap tahun dana desa sudah banyak masuk ke desa, capaiannya (outcome) belum secara signifikan menjawab masalah desa. Seperti studi Bank Dunia (2018) dan Utami (2018) tersebut, misalnya tahun 2019 di Desa Kakaniuk, Pemerintahan Petronela Luruk (2016-2022) sudah merencanakan pembangunan 10 buah lopo di kawasan Bendung Benenain yang sebenarnya masih merupakan kewenangan pemerintah provinsi, meski sampai hari ini (20/9) relatif belum menghasilkan capaian (outcome) yang secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penyakit elite capture pada beberapa desa sebenarnya muncul tidak hanya melalui beberapa kasus itu saja, tetapi juga melalui birokratisasi, teknokratisasi, dan manipulasi dana desa.
Pasalnya, penyusunan RKPDes tahunan ini memang sudah berjalan melalui Musyawarah Rencana Pembanguan Desa (Musrenbangdes) tertentu, tetapi tanpa melalui diskursus-deliberatif yang mendalam dan setara (political equality) ini, sehingga akhirnya menimbulkan distorsi demokrasi desa; terjadi semaraknya pembangunan desa, tetapi tidak berjalan seiring peningkatan kualitas demokrasi dan tradisi berdesa (Gregorius Sahdan, dkk. 2019:3).
Apalagi dengan stagnasi pelaksanaan fungsi BPD, distorsi demokrasi desa semakin menguatkan desa seakan kehabisan cara mengartikulasikan aspirasi sehingga Musrenbangdes menjadi satu-satunya harapan pemerintah dalam melakukan artikulasi.
Dengan terjangkit penyakit elite capture, misalnya tahun 2018 di Desa Babotin Selatan, Kecamatan Botin Leobele, Penjabat Kepala Desa terindikasi melakukan manipulasi tanda tangan Ketua BPD untuk pencairan dana desa (SepangIndonesia, 10/1/2020). Pada beberapa desa, Musrenbangdes penyusunan RPJMDes, RKPDes, dan APBDes relatif berjalan hanya sekali dengan tidak melebihi 6-8 jam akibat tanpa diskursus-deliberatif yang mendalam dan setara (political equality) dari semua elemen desa yang hadir. Pasalnya, meskipun sudah dihadiri banyak orang desa, tetapi hanya beberapa orang saja yang ditunjuk menyampaikan aspirasinya sehingga hak sebagian masyarakat dalam mengakses dimangsa/dibajak oleh elite cupture, berikut penyusunan RKPDes dilakukan secara teknokratis oleh sekelompok orang pilihan saja.
Padahal, Musrenbangdes sejatinya ruang diskursus-deliberatif tingkat desa untuk meningkatkan kualitas demokrasi sekaligus untuk mengendalikan elite cupture. Sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir, di desa selalu ada ruang dan ada uang. Efek uang dan ruang ini pada beberapa desa secara prosedural memang sudah menghasilkan input tertentu, tetapi relatif minim output apalagi outcome untuk menjawab masalah desa.
Di Desa Kakaniuk misalnya, hampir setiap tahun masyarakat kesulitan air bersih akibat kekeringan, tetapi sampai hari ini (20/9) masalah tersebut belum pernah masuk dalam perencanaan pembangunan desa. Penyakit elite capture pada beberapa desa juga muncul melalui penyusunan RKPDes yang secara prosedural berpedoman pada dokumen RPJMDes, tetapi dokumen tersebut tidak pernah dibuka secara transparan kepada masyarakat.
Musrenbangdes sejatinya merupakan ruang artikulasi aspirasi yang paling mendesak sebagai preverensi desa, berikut dimuat dalam dokumen RPJMDes dan RKPDes dengan meliputi target, capaian, pelaksanaan, penanggungjawab, sumber daya, dan anggaran (RAP). Karenanya, dengan asas demokrasi, partisipasi, kesetaraan, rekognisi, dan subsidiaritas, pemerintah desa tidak bisa tidak untuk memadukan pendekatan botton up dan top down guna memfasilitasi visi pemerintah dengan aspirasi masyarakat. Pasalnya, jauh sebelum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir, hampir semua desa di Kabupaten Malaka sudah menjalankan low of live berupa demokrasi adat, sehingga dengan rekognisi-subsidiaritas pada low of live, penyakit elite capture relatif bisa dikendalikan akibat low of live mampu memfasilitasi desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government) (Sutoro Eko, 2014:34).
Lebih dari itu, pada hampir semua desa di Kabupaten Malaka selalu tidak cukup hanya dengan rekognisi dan subsidiaritas pada low of live ini, tetapi memang harus tambah dengan transparansi semua dokumen desalah, pemerintah desa relatif baru bisa mengendalikan penyakit elite capture yang pada beberapa desa sudah menggerogoti elektabilitas dan legitimasinya sendiri. Transparansi adalah kemampuan pemerintah desa menginklusi diri untuk diakses, voice dan kontrol terhadap tata kelola desa dan penggunaan dana desa. Tanpa transparansi, pada beberapa desa, misalnya di Desa Taaba, Kecamatan Weliman, masyarakat menduga penyakit elite capture sudah menjangkiti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui penyelewengan dana desa oleh kepala desa dan aparat desa (Diantimur, 15/4/2020).
Presiden Jokowi juga dalam mengimplementasikan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sudah memasukan pembangunan desa ke dalam bentuk Nawacita. Point ketiga Nawacita Jokowi mengatakan; “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Fokus utama Jokowi dalam pembangunan desa sebagaimana ditunjukan oleh Permendes Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa pasal 5 untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa dengan tujuan; (a) peningkatan kualitas hidup; (b) peningkatan kesejahteraan; (c) penanggulangan kemiskinan; dan (d) peningkatan pelayanan publik (Gregorius Sahdan, dkk. 2019:7).
Dengan berdasarkan Nawacita ini, maka pemerintah desa bersama BPD tidak bisa lagi mendominasi semua dokumen secara sendiri, tetapi melalui berbagai cara harus mendorong masyarakat sebagai subjek pembangunan dalam mengakses, voice dan kontrol tanpa sedikitpun haknya dimangsa/dibajak, apalagi menghadapi izin birokrasi desa yang berbelit-belit.
Lebih dari itu, pemerintah desa memang punya kepentingan mengatur-mengurus semua dokumen desa melalui prosedural tertentu, tetapi untuk memenuhi hak masyarakat dalam mengakses, voice, dan control ini, prosedural tersebut mau tidak mau harus dilonggarkan untuk menghasilkan efektifitas-efesiensi pelayanan. Pada beberapa desa, akibat penyakit elite capture, transparansi dokumen desa berupa APBDes, RPJMDes, RKPDes, dan RAP, mudah dikendalikan bukan sebagai hak masyarakat desa, tetapi sarat pemberian izin pemerintah.
Penyakit elite capture sebenarnya tidak hanya muncul melalui beberapa kasus itu saja, tetapi melalui beberapa kasus lagi seperti dalam relasi desa dan daerah. Pemerintah desa yang kedudukannya lemah di hadapan daerah akan selalu rentan untuk terjangkit penyakit elite cupture daerah sehingga ini akan selalu menjadi masalah serius bagi desa.
Masalah elite capture desa yang paling serius adalah masalah kolusi, korupsi dan nepotisme yang sampai hari ini (20/9) terus memangsa/membajak hak masyarakat dalam mendorong perubahan masuk ke desa.
Di Kecamatan Malaka Timur misalnya, Kepala Desa Numponi sudah tersangkut kasus dugaan korupsi dana desa tahun 2016, dan di Kecamatan Wewiku Kepala Desa Weulun tersangkut kasus dugaan korupsi dana desa tahun 2016 dan tahun 2017 (Pelopor9.com. 6/12/2019).
*Penulis adalah Tim Pendiri Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) Yogyakarta (2014). Kini sebagai staf dosen di Undarma Kupang (2020).