Jakarta, Vox NTT- Fraksi Partai Demokrat DPR RI menilai RUU Cipta Kerja (Ciptaker) tidak memiliki urgensi dan memaksa di tengah krisis pandemi Covid-19.
“Sebagaimana kami sampaikan di masa awal pandemi, prioritas utama negara harus dlorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat,” ujar Hinca 1. P Pandjaitan XIII, anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI saat membacakan pendapat akhir mini fraksinya terkait pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Cipta Kerja, Sabtu (03/10/2020) lalu.
Hinca menjelaskan, berdasarkan survei World Economic Forum (2017), masalah ketenagakerjaan bukanlah persoalan utama yang menghalangi masuknya investasi asing. Setidaknya ada 10 faktor problematik dalam menjalankan bisnis di Indonesia.
Tiga faktor utama adalah korupsi (13,8), birokrasi pemerintah yang tidak efisien (11,1), dan akses keuangan (9, 2).
Ia menyebut masalah ketenagakerjaan ada pada peringkat ke-13 dari 16 persoalan, dengan skor 4,0.
Dengan demikian, kata Hinca, rumusan RUU Ciptaker tidak memiliki relevansi yang signifikan terhadap permasalahan investasi di Indonesia.
Bahkan, laporan Bank Dunia berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery (Juli 2020) menyatakan bahwa RUU Ciptaker ini justru berpotensi merugikan perekonomian Indonesia, termasuk dari sistem ketenagakerjaan dan lingkungan.
Selanjutnya, Hinca menyatakan RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law).
Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka menurut dia perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam. Itu terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19.
“Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru. Alih-alih menghasilkan aturan yang komprehensif, justru bisa menghasilkan aturan yang serampangan, tumpang tindih dan melawan logika akal sehat masyarakat,” ujar Anggota DPR RI dari Dapil III Sumatera Utara tersebut.
Hinca menambahkan, RUU Ciptaker di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, hak dan kepentîngan kaum pekerja tidak boleh dîabaikan apalagi dipinggirkan.
“Kita menghendaki hadirnya Undang- undang di bidang investasi dan ekonomi yang memastikan bahwa baik dunia usaha maupun kaum pekerja mendapatkan kebaikan dan keuntungan yang sama sehingga mencerminkan keadilan (foirness) yang sejati,” tegas dia.
Sementara itu, kata Hinca, kaum penganggur yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia diharapkan juga memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan bob creation.
Tetapi, RUU ini justru berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di Indonesia. Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi.
Peningkatañ efektivitas tata kelola pemerintahan pun justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan (growth with equity).
Poin lain yang disorot Hinca ialah RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila, terutama sila keadilan sosial (socio/ justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik.
“Sehingga kita perlu bertanya, apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinstp keadilan sosial (socia/ justice) tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers kita?” tanya Hinca.
Menurut dia, Negara berkewajiban untuk menghadirkan relasi Tripartit (pengusaha, pekerja dan pemerintah) yang harmonîs, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Hal tersebut tentu saja diamanahkan dalam konstitusî Indonesia, Bab 14 Pasal 33 UUD 1945. Kata dia, ekonomi yang ‘bernafaskan’ Pancasila menghendaki pertumbuhan ekonomi yang berprinsip efisiensi berkeadilan atau sesungguhnya adalah ‘ekonomi pasar yang berkeadilan’,.
Hinca menegaskan, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat DPR RI menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel.
Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Penulis: Ardy Abba