(Mengenang Kematian Albert Gerson Unfinit-Musisi Asal Maumere, Flores)
Oleh: Defri Ngo
Anggota KMK Ledalero
Dunia musik nusantara kembali berduka. Pasalnya, penyanyi reggae asal Maumere, Flores, Albert Gerson Unfinit atau akrab disapa dengan Black Finit meninggal dunia.
Black Finit meninggal dunia pada Sabtu dini hari pukul 02.00 WIB. Ia ditemukan tewas di Selokan Mataram, Jalan Mrican, Sleman, Yogyakarta dalam sebuah kecelakaan tunggal. Sebagaimana dilansir SuryaYogya.com, Black Finit “ditemukan oleh teman-temannya dua jam dari kejadian dalam keadaan meninggal dunia dan tersangkut di aliran selokan Mataram (SuryaYogya.Com, diakses pada Senin, 28 September 2020).”
Peristiwa naas yang menimpa Black Finit telah meninggalkan duka yang mendalam di hati seluruh penggemar musik reggae nusantara, khususnya anggota keluarga, sahabat dan kenalan. Black Finit meninggalkan banyak terobosan berarti bagi dunia permusikan di nusantara dengan karakter penciptaan yang khas dan unik.
Mengenal Black Finit
Black Finit terlahir dengan nama lengkap Albert Gerson Unfinit. Ia lahir di Maumere pada tanggal 11 Maret 1983 dari pasangan Bapak Jonathan Finit dan Mama Maria Heliana. Setelah menamatkan pendidikan dasar di SD Beru, Black Finit melanjutkan pendidikan ke SLTP Frater, Maumere.
Di SLTP Frater, Black Finit terkenal sebagai anak yang mudah bergaul, lucu, pandai dalam bermain musik dan menyukai sastra. Ansel Kaise, salah satu penulis di media EkoraNTT dalam sebuah artikel menyebutkan bahwa sejak kecil, bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar, Black Finit telah menunjukan kecintaan yang besar dalam dunia seni. “Mulai dari lukis, musik, vokal, lawak, hingga puisi, semuanya dia tekuni” (EkoraNTT.com, diakses pada Senin 28 September 2020).
Dalam sebuah event bertajuk “Rumah dan Anak” yang diselenggarakan Komunitas KAHE pada bulan November 2018 lalu, Black Finit pernah menyampaikan bahwa pada masa ketika ia masih di SLTP Frater Maumere, minat musik anak-anak sekolah tidak dapat disalurkan secara baik. Minimnya persediaan alat musik dan lemahnya dukungan dari lingkungan sekitar menjadi faktor yang menghambat perkembangan anak dalam bermusik. Melihat kenyataan miris ini, maka pada awal tahun 2002, ia memutuskan hizrah ke Jawa.
Meski telah meginjakkan kaki di tanah Jawa sejak 2012, karir musik yang dirintis Black Finit baru dimulai pada tahun 2004. Saat itu, ia menggabungkan diri bersama sekelompok band punk bernama St. Jimmy dan dipercayakan menjadi vokalis. Karirnya bersama St. Jimmy telah mempertemukannya dengan Merapu, salah satu group band reggae asal Jogjakarta.
Relasi yang dijalin bersama Merapu band menjadi barah yang melecut jiwanya untuk mendirikan sebuah group band bergenre reggae yang kelak diberi nama Revolution. Tidak puas dengan pencapaian yang diraih, maka pada tahun 2009, Black Finit kemudian menjalin relasi kerja dengan sebuah produser musik asal Jogjakarta, Shaggy Dog.
Karir Black Finit terus melejit. Pada tanggal 25 November 2011, ia merilis album perdana yang diberi nama Kiri Kanan dan berisi enam mini album. Debut mini album itu dirilis secara mandiri lewat label yang ia dirikan, Gong Waning Production. Selanjutnya, secara berturut-turut, pada tahun 2015, album Digiyo Digiye dirilis dan pada tahun 2017, ia diajak berkolaborasi dengan Grayce Soba Studio dan menghasilkan beberapa komposisi bergenre EDM (Electronic Dance Music).
Menjelang tahun 2018, sebuah album berjudul Bukan Puisi kembali dirilis. Komposisi lagu Bukan Puisi diciptakan oleh seniman fotografi, Angki Purbandono, lalu diproduseri oleh Heruwa serta diperkuat oleh Agan Harahap pada departemen desain dan fotografi (siasatpartikelir.com, diakses pada Senin 28 September 2020). Secara singkat, kehidupan Black Finit bergulat dalam proses mencipta. Tiada hari baginya tanpa seni. Baginya, seni adalah media yang sanggup membentuk akal.
Seni Musik dan Tanggung Jawab Eksistensial
Perjalanan hidup Black Finit, sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah sebuah proses mencipta. Kehidupannya selalu dihiasi dengan keinginan untuk menuntaskan gairah estetis. Hasil yang dicapai dari proses mencipta telah menjadi bagian yang perlu dipelajari kembali untuk diciptakan sekali lagi. Proses mencipta adalah upaya yang berlangsung selama hidup. Penciptaan karya seni tidak berhenti, apalagi dikatakan mati.
Dalam proses mencipta, Black Finit menemukan dirinya yang ada (being) di antara pluralitas individu yang lain. Paradoks bagi seorang pencipta seni sebagaimana Black Finit adalah ketika ia menemukan dirinya membeku diam, tak banyak bekerja dan gagu di depan perkembangan zaman. Ia mengakui dirinya sebagai pribadi yang bereksistensi justru ketika ia terlibat dalam proses mencipta. Di sana, terjadi proses pertanggung jawaban personal dan etis atas kehidupan yang sedang dijalankan.
Berkaitan dengan proses mencipta, Black Finit kiranya hidup dalam spirit redeskripsi diri yang tajam. Ia memahami kehidupan sebagai bagian dari perjalanan waktu yang sanggup membentuk kepribadian dan karirnya. Konsekuensinya, ia harus mampu meredeskripsi diri secara berulang di hadapan waktu. Proses meredeskripsi diri adalah upaya sadar dan penuh tanggung jawab atas eksistensinya sebagai manusia. Eksistensinya sebagai manusia dibuktikan dengan aktus berpikir yang berlangsung secara rutin.
Proses berpikir telah mendorong Black Finit untuk ‘melampaui eksistensinya’ hanya sebagai manusia semata. Ia hendak menunjukan adanya (being) sebagai manusia. Seni adalah jawaban dari upaya Black Finit untuk menunjukan diri sebagai pribadi yang sungguh-sungguh ada (being).
Jika cogito Descartes lebih menonjolkan aspek rasio sebagai upaya meng-ada, Black Finit bertolak lebih jauh dengan menjangkar aspek perasaan (romantik) dan kehendak (voluntaris). Ia adalah makhluk eksistensialis yang berperasan dan berkehendak dalam ruang ekspresi bernama seni.
Sehubungan dengan pandangan ini, Martin Heidegger (1889-1976), seorang fenomenolog dan hermeneutik pernah mengungkapkan bahwa seni telah membiarkan kebenaran berbicara secara alami (Felix Baghi, 2019). Setiap ekspresi seni yang diciptakan selalu keluar dari kedalaman hati pribadi setelah mengalami proses mimesis yang panjang.
Feliks Baghi (2019) menambahkan bahwa karya seni bukan semata-mata sebuah ekspresi perasaan, tetapi juga ekspresi nilai. Hal itu berarti bahwa seni musik merupakan ungkapan hati individu yang jujur, murni, representatif dan harus bebas dari represi pihak manapun.
Produktivitas Black Finit dalam seni musik telah menunjukan kepada publik mengenai upayanya untuk menunjukan diri sebagai individu yang meng-ada. Ia meng-ada dengan terlibat dalam aktus penciptaan karya seni. Dengan menciptakan seni musik, ia telah memberi kontribusi bagi eksistensi orang lain, khususnya bagi mereka yang telah menganggap musik sebagai bagian integral dari hidup.
Hal itu berarti, kerja keras dan produktivitasnya dalam menciptakan seni musik seyogianya menjadi barah api yang menginspirasi banyak pemuda di Indonesia secara umum dan Flores secara khusus untuk terus mengekspresikan diri dan terlibat dalam proses penciptaan.
Ia sudah menunjukan bahwa seni musik dapat menjadi wadah yang tepat untuk menyalurkan ekspresi dan menjadikan diri berguna bagi orang lain. Pertanyaannya kini, apakah kita bersedia menunjukan segala potensi diri dan bertanggung jawab atas kehidupan yang sedang dijalankan? Atau justru, kita lebih memilih terkurung dalam perasaan malu yang menyesatkan?
Fly away to the sky, Black Finit. Tidurlah yang lelap dan jadilah pendoa bagi kami!