Oleh: Vayan Yanuarius
Dalam kontestasi politik elektorat ada dua problem yang sering kali muncul, pertama politik uang (money politic). Kedua politik Patronase (patronage). Dua problem ini pada dasarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok tapi selama ini orang sering berasumsi bahwa politik uang sama dengan politik patronase. Karena itu, perlu membuat distingsi kedua istilah tersebut.
Pertama, politik uang. Politik uang adalah politik jual-beli antara elite dengan masyarakat. Elite menggunakan materi (uang) untuk membeli suara rakyat dengan tujuan memenangkan sebuah kontestasi (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2015: xxix). Bahkan menurut Heddy S. Ahimsa-Putra praktik politik uang lebih buruk daripada pratik jual-beli barang komoditi. Alasannya ialah karena akibat dari praktik politik uang seorang pemilih dapat menjatuhkan pilihannya tanpa mau bersusah payah melihat kualitas calon pemilihnya.
Kedua, politik patronase. Modus operandi dari Politik patronase tidak sebrutal yang dipraktikkan dalam politik uang meskipun dampak buruknya sama. Politik patronase sebagaimana yang diutarakan oleh James Scott adalah relasi pertukaran yang bersifat tatap muka, antara patron (seseorang yang memiliki status sosial-ekonominya tinggi) dan klien (seseorang yang lebih rendah kedudukannya). Di sini, konstruksi relasi terjadi atas dasar kepentingan. Patron memiliki kepentingan dalam mencapai kekuasaan sedangkan klien memiliki jaminan baik ekonomi maupun status sosial dari patron itu sendiri.
Kedua model praktik politik di atas hemat saya sama-sama memiliki dampak buruk bagi kelangsungan sistem demokratisasi. Hal ini cukup beralasan dengan merujuk pada temuan kasus Wahyu Setiawan, mantan komisi KPK yang diduga menerima suap dari politikus PDI-P, Harun Masiku (The Conversation, 30/01/2020). Kasus di atas merupakan salah satu bagian dari praktik malapraktik dalam pemilu di Indonesia. Wahyu diduga meminta uang hingga 900 juta ke Harun. Menurut Sarah Birch, professor ilmu politik di King’s College London, Inggris, malapraktik pemilu merupakan bagian dari praktik manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik diganti dengan kepentingan individu.
Politik Patronase di NTT
Pileg 2014 lalu telah menunjukkan bahwa bagaimana praktik politik patronase itu bekerja secara efektif dalam suatu masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohi Rudi dalam buku Politik Uang Di Indonesia: Patronase dan Kleintelisme di Pemilu Legislatif 2014 (Aspinall dan Sukmajati, ed., 2015:457) bahwa pileg 2014 di NTT memainkan strategi politik uang, barang, jasa dan penawaran janji politik kepada pemilih. Sedangkan, mesin kampanye digerakkan dengan menggunakan pola patronase politik yang melintasi berbagai lembaga atau institusi dan hubungan sosial seperti keluarga, kekerabatan, agama, suku dan adat istiadat.
Lebih lanjut, Rudi menjelaskan bagaimana politik patronase bekerja secara efektif di dalam masyarakat (baca: NTT). Pertama, melalui pembentukan tim kampanye. Para calon membentuk tim kampanye dari kalangan keluarga, sahabat kenalan, saudara dan orang-orang kepercayaan mereka untuk mengonstruksi relasi dengan masyarakat pemilih demi memperluas jaringan kerja sama demi memperoleh suara terbanyak. Para tim sukses ini biasanya dibayar oleh calon sesuai dengan kesepakatan bersama.
Selain itu, untuk memperkuat jaringan relasi antara calon atau tim sukses dengan masyarakat pemilih (klien) strategi tambahan yang dilakukan ialah menggunakan pendekatan persuasif yaitu dengan membagi sesuatu kepada masyarakat pemilih, baik berupa uang, barang atau kebutuhan lainnya.
Dalam konteks pilkada 2020, fenomena memberi “sumbangan” sudah tampak di permukaan. Hal ini kita dapat membuktikannya dengan melihat ada bantuan masker dan sembako kepada masyarakat atas nama pribadi atau nama partai politik. Lebih mirisnya lagi, masker yang dibagikan kepada masyarakat berlogo partai politik.
Strategi kedua ialah melakukan perjumpaan tatap muka (face-to-face character) dengan masyarakat pemilih. Metode seperti ini sangat sering di kalangan para kandidat hingga sampai pada saat ini. Kita bisa membuktikan hal ini dengan melihat dan membaca fenomena para kandidat masuk ke rumah adat untuk melakukan memperkenalkan diri kepada masyarakat. Praktik ini bisa terjadi di suatu rumah atau di tempat-tempat tertentu. Strategi tatap muka ini menurut teori Scott dapat menginisiasi dan memelihara relasi antara patron dan klien.
Tentunya, sebelum kegiatan tatap muka ini dilakukan, tim sukses atau calonnya melakukan identifikasi terhadap masyarakat di tempat yang akan dikunjungi. Biasanya identifikasi ini menurut Rudi dimulai dari keluarga, kerabat, tua-tua adat, kepala Desa, aparatur birokrasi, kaum muda-madi dan sebagainya. Tim sukses atau kontestan sendiri menceritakan bagaimana hubungan keluarga, relasi, dan interaksi dengan orang-orang yang sudah dikenalnya itu. Dalam perjumpaan itu, niscaya kebutuhan dasar dari masyarakat yang hadir dapat dipenuhi dengan baik seperti makan-minum, rokok dan kopi. Seperti yang dipaparkan Rudi bahwa seorang calon DPR RI dari partai Gerindra mengeluarkan uang rata-rata 4 juta setiap kali pertemuan. Kita bisa bayangkan kalau pertemuan dilakukan di seluruh wilayah di NTT. Mungkin mencapai angka ratusan juta rupiah.
Strategi ketiga ialah mendistribusikan bantuan kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Menurut Rudi, pemberian bantuan ini sudah menjadi tradisi dalam politik lokal. Karena dipandang sebagai tradisi, maka diwariskan turun-temurun. Para calon sering melontarkan jargon dengan mengatakan bahwa mereka sulit membangun relasi emosional dengan masyarakat tanpa mendistribusikan barang kebutuhan kepada masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Rudi terhadap salah satu calon DPR RI dari partai Nasdem ialah ia memberikan sumbangan tidak kurang dari dua puluh juta tiap kali pertemuan. Dan ia juga memberi sumbangan 1000 ekor babi kepada masyarakat kota Kupang. Menariknya, praktik seperti ini tidak hanya dilakukan oleh satu calon saja tetapi juga dari calon yang lain. Tentunya, kita dapat memprediksi bahwa ketika calon pertama menyumbang uang sebesar 20 juta, pasti calon berikutnya lebih dari jumlah yang pertama.
Strategi keempat ialah diskursus wacana. Menurut Rudi, dalam kontestasi politik hampir tidak ada calon yang memainkan isu-isu ideologis, nasional dan program-program aplikatif-transformatif. Yang sering muncul ialah isu identitas (ras, suku, agama, golongan, dan sebagainya). Strategi menggunakan isu identitas ini dapat menciptakan konflik horizontal di kalangan masyarakat, maraknya ujaran kebencian, fitnah, hoaks, stigma negatif dan sebagainya.
Bahaya yang paling nyata dari praktik politik patronase ialah masyarakat pemilih bertendensi untuk tidak melihat figur tapi lebih kepada pilihan politik tokoh (patron) dan efek lanjut dari kerja sama patron ialah membagi-bagi kekuasaan.
Pertama, soal tidak melihat figur tapi lebih kepada patron. Realitas ini dikatakan negatif (buruk) karena bisa menghasilkan figur pemimpin yang berkualitas rendah. Hal ini sangat boleh jadi apabila masyarakat tidak mengetahui secara pasti kualitas dan integritas pribadi seorang calon dan kurang memahami visi-misi serta program yang mencerminkan ideologi partainya. Padahal, dalam kontestasi politik hal yang paling utama dan pertama ialah adu visi-misi dan program dari kandidat.
Kedua, ialah membagi-bagi kue kekuasaan. Fenomena membagi kue kekuasaan dapat memperlambat proses pembangunan suatu daerah. Misalnya, orang-orang yang menduduki kursi jabatan di daerah adalah orang-orang yang menjadi pemain belakang kemenangan seorang pemimpin atau kepala daerah. Hal ini tidak terlepas dari hubungan timbal balik antara patron-klein sebagaimana yang diutarakan oleh James Scott. Akibatnya ialah proses politik tidak berjalan dengan baik. Politik yang menjunjung tinggi asas kebebasan dan tanggung jawab rasional tidak berjalan dengan baik. Kontestasi tidak lagi dilihat sebagai titik awal pendewasaan partisipasi politik masyarakat tetapi ajang menumpuk harta kekayaan.
Nalar Aktivis: Sebagai Opsi Solutif
Nalar aktivis adalah salah bentuk sumbangan pemikiran yang produktif dalam memecahkan persoalan praktik politik patronase menjelang kontestasi pilkada 2020 di NTT. Menurut Heddy Ahimsa-Putra, dalam pengantar buku Politik Ambivalensi: Nalar Elite Di Balik Pemenangan Pilkada (2015: xxxii) menjelaskan bahwa nalar aktivis memiliki peran sentral dalam upaya menolak para kandidat yang melakukan praktik politik pemberian materi (uang dan barang) dan non-materi (jabatan atau kekuasaan). Dan ketika hal itu terjadi maka masyarakat memutuskan pilihan politiknya terhadap kandidat tersebut bahkan Ahimsa-Putra katakan hal tersebut melanggar aturan konstitusi dan pantas diberikan hukuman.
Nalar politik ini hemat saya perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat memiliki suatu pemahaman yang komprehensif mengenai praktik politik patronase. Saya kira suburnya praktik politik kotor selama ini tidak terlepas dari krisis pengetahuan masyarakat mengenai politik atau pemilu. Kita tidak mempunyai senjata yang lebih kuat dari kesadaran masyarakat untuk menentang para calon yang melakukan praktik politik kotor. Emil Durkheim pernah mengatakan Negara adalah organisasi rasional masyarakat. Itu berarti dasar dari bangunan suatu Negara ialah rasionalitas individu-individu yang membentuk sebuah masyarakat. Tanpa itu, cita-cita keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sulit untuk tercapai.
Penulis adalah Ketua KM Centro John Paul II-Ritapiret