Oleh: Pius Rengka
Prof. Mancur Olson, penulis buku The Rise and Decline of Nation (1982). Ini buku, cukup kerap dikutip para dosen Ilmu Politik ketika para cerdik cendekia itu membahas, misalnya, perihal pola hubungan antarpemerintahan di sebuah rezim dalam konteks pertumbuhan ekonomi, ketegasan sosial dan stagflasi.
Olson pun membahas logika tindakan kolektif dari satu masyarakat politik terutama dalam bukunya The Logic of Collective Action (1965). Buku kedua ini, pun dapat dijadikan rujukan untuk memahami mengapa massa politik (konstituen) memilih partai politik tertentu atau calon politisi tertentu di Pilkada dan legislatif.
Dua buku ini sengaja dipilih dan dipakai untuk tulisan ini karena hendak membaca, mencermati dan memengerti perilaku dan pola politik Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi dalam konteks pembangunan selama ini dan mungkin seterusnya.
Tercatat, juga terkesan dan mengesankan, ialah pola hubungan lintas sektor dalam kepemimpinan Victor Jos, tidak hanya dibaca sebagai pemberi spirit yang mengandung perubahan kultur politik di birokrasi. Leadership style keduanya serentak memanggungkan tuntutan multivalent pada dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya. Bagi saya, tuntutan ini hanya mungkin dapat mengubah realitas politik di NTT dengan pola perilaku kekuasaan yang jelas tujuan dan tujuannya pun terukur, serta tidak koruptif.
Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi, misalnya, dengan tandas dan sangat terang mengambil jalan menolak untuk lekas percaya terhadap laporan para stafnya. Laporan staf, tampaknya, selalu diduga mungkin dinodai nuansa laporan asal bapak senang. Maaf, laporan asal bapak senang ini, mungkin sudah mentradisi lama, terutama laporan sejenis ini pas untuk para pemimpin lemah otak dan lemah kemauan dan minus minat pembebasan sosial.
Karena itu, Victor Jos, membangun sistem kerja dan pola hubungan internal birokrasi dengan selalu menguji kebenaran laporan staf di lapangan empirik. Itulah sebabnya mengapa dua pemimpin ini bergantian berkunjung ke lapangan untuk melihat, merasakan, dan mendengar serta mencermati situasi dan kondisi rakyat di bawah. Frekuensi kunjungan lapangan, saya kira, sudah sangat tinggi dibanding dengan kunjungan enam gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.
Sekadar reminding, gubernur-gubernur sebelumnya (kecuali El Tari dan Ben Mboi) lebih gemar melakukan pertemuan di gedung-gedung dengan hembusan air conditioner yang sejuk, dan dilayani tarian gemulai dalam bangunan aula pemerintahan nan megah. Tetapi sebaliknya untuk Victor Jos. Tampaknya tampilan elitis aristokrat begitu tanpa menyentuh langsung tubuh ringkih rakyat, tidak membawa banyak hasil. Semua jenis pertemuan di gedung ternyata membuahkan dan juga menyisakan populasi rakyat miskin tak banyak berubah.
Bagi Victor Jos, tak masalah jika selain dianggap keduanya sangat kampungan hanya karena selalu terlibat bersama rakyat, juga keduanya menganggap elitisme perilaku elit pasti tidak menyentuh apa-apa pada hasrat rakyat yang sedang tertimpa derita panas, miskin dekil dan jarang mandi.
Jadi, memilih tidur di rumah rakyat, ikut menari bersama rakyat, mandi di rumah dekil rakyat (sebagaimana pengalaman Solor, dan Balauring Lembata) sambil cermat mendengarkan keluhan dan tuntutan mereka. Tuntutan dan keluhan rakyat amat beragam dan sering dijawab langsung di lapangan. Hal itu menjadi mungkin, karena gubernur dan wakil gubernur selalu membawa serta para Kepala Dinas pada kunjungan kerja mereka. Biasanya usai kunjungan tersebut Gubernur dan Wakil mendiskusikannya dengan para staf khusus yang relevan dengan isu social tertentu. Entah itu didiskusikan empat mata, delapan mata atau banyak mata di staf khusus itu.
Bagi saya, pola kerja begini dapat dipandang sebagai sejenis kritik sosial. Mengapa? Karena banyak pengalaman sebelumnya, laporan para staf dihormati dan bahkan kerap diperlakukan semacam dogma kitab suci yang diterima begitu saja oleh gubernur dan wakil gubernur tanpa tafsir kritis, dan juga tanpa uji lapangan empirik. Akibatnya, laporan terkait kebocoran dana pun terjadi begitu saja tanpa koreksi bermakna.
Selain itu, Victor Jos gila riset. Baginya, kebijakan public tanpa riset itu omong kosong. Karenanya, lembaga riset yang kini dirintisnya kerjasama dengan para intelektual yang tergabung di FAN NTT (forum academia NTT), kampus Undana, dan perorangan yang handal ilmu pengetahuan digalang terus menerus. Hasil riset mereka dipakai dan diuji coba di lapangan untuk kepentingan pembangunan.
Sementara itu, Gubernur Viktor dan Wakil Gubernur Jos, mencium ada bau amis manipulasi di beberapa dinas dan badan. Bau amis yang ditimbulkan oleh kelakuan koruptif para pelaku tidak tercium selama ini (atau sengaja dibiarkan), karena juga diduga elit di birokrasi sama-sama menikmati hasil garongannya. Gubernur Victor, mentaksasi kebocoran di sebuah dinas (tak perlu disebutkan di sini) mencapai Rp. 200 miliar pertahun. Tetapi, mengapa selama ini kasus tersebut tidak tercium? Jawaban yang paling masuk akal ialah karena segelintir anggota rombongan di dinas terkait itu ikut bermain. Keuntungannya pun didistribusi sampai jauh ke atas. Tatkala Gubernur Victor dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi mencium aroma busuk ini, keduanya membangun system control nan ketat dan obyektif.
Hasilnya? Hasilnya ialah dengan penerapan sistem itu ditemukanlah pos-pos kebocoran. Bahkan ditemukan pula siapa para pemain utamanya. Para pelakunya telah dibukukan diam-diam sambil terus mengikuti perubahan perilaku gerakannya.
Kata Gubernur Victor, gampang saja melihat kebocoran di tempat itu. Caranya? Kita melihat fasilitas pribadi yang diperoleh para komplotan itu. Mereka menanam buktinya dalam bentuk bangunan, kendaraan dan benda-benda tak bergerak lain yang dititipkan di mana-mana. Gampang pula dicermati aliran dana itu ke tempat mana saja.
Itulah sebabnya, sekarang laporan asal bapak senang patut dicermati serius. Pencermatan, tak hanya dari konteks teks, tetapi juga pencermatan di tubuh konteks itu sendiri yaitu rakyat yang kini sedang menderita. Akibat penerapan system ini kemudian memperoleh pujian ketika enam pekan lalu, NTT dikukuhkan sebagai satu dari lima provinsi pengendali korupsi terbaik di Indonesia.
Makanya, perilaku politik yang dibangun dua tokoh ini sebagai sebuah kritik atas relasi rejim politik sebelumnya atau lebih luas adalah evaluasi kultural dan ideologis terhadap perilaku perubahan sosial di NTT sebelum ini.
Kritik Khalayak
Bagi Victor Jos, kritik khalayak terhadap kebijakan politik pembangunan haruslah dianggap lumrah, sejauh kritikan itu mengandung makna konstruktif dan korektif, serta tidak menyinggung masalah pribadi. Karena baginya, jabatan public adalah jabatan yang didedikasikan untuk public. Karena itu, jabatan public memang pasti antara lain dihuni para malaikat kritik dan setan pemuja palsu.
Namun, satu hal harus yakin dan diyakini sungguh-sungguh tanpa reserve yang membosankan ialah Victor Jos memimpin NTT dengan berorientasi sangat kuat pada kepentingan rakyat itu sendiri. Kepentingan mana selalu disebutnya sebagai pembebasan rakyat NTT dari belenggu rantai kemiskinan.
Buktinya sederhana. Keduanya, saban hari ke lapangan untuk memengerti dan memahami keluhan, dan tuntutan riil rakyat. Keluhan dan tuntutan itu kerap dijawab langsung di lapangan. Solusinya pun jelas, tegas dan terukur.
Victor Jos, bukannya sangat tidak percaya pada para stafnya. Tetapi, kunjungan lapangan yang dilakukan selama ini, sesungguhnya untuk memverifikasi kebenaran dan akurasi laporan para staf itu. Victor Jos enggan menjadi penerima pujian palsu seperti laporan asal bapak senang.
Begitu pun badai kritik dari para kritikus kantoran. Kritikan mereka dipandangnya konstruktif justru karena mendapat konfirmasi empiric di lapangan. Tetapi pola leadersihip serupa ini bukan tanpa ongkos.
Satu-satunya ongkos yang harus dibayar ialah kelelahan fisik. Team pengikut rombongan Victor Jos, selalu mengeluh penat mengikuti langkah dua tokoh ini. Sedangkan anggaran yang digelontorkan untuk kunjungan ke bawah harus terbukti konkrit juga di lapangan.
Anggaran mengkonstruksi jalan provinsi di sejumlah kabupaten, misalnya, harus tampak dalam panjang ruas jalan dan mutu jalan. Jika ditemukan ada kontraktor yang bekerja asal-asalan, dan hanya mencari untung tidak masuk akal, pasti ditegur keras. Bahkan mungkin dihukum dengan tidak lagi boleh diikutkan dalam tender proyek berikutnya. Lainnya akan menerima bentakan Victor Jos, tanpa perlu peduli romantisme perasaan. Tetapi, mengapa gaya kepemimpinan dua tokoh itu begitu?
Jawabannya ditemukan begini. Selain keduanya, tidak korup atau tidak menghisap dana dari para Kepala Dinas atau para kontraktor, Victor Jos sangat meyakini beberapa hal berikut ini.
Pertama, VBL Jos yakin NTT tidak miskin. Tetapi realitas miskin yang teralami selama ini disebabkan kekejian structural. Kekejian structural menidih provinsi ini selama puluhan tahun. NTT miskin juga karena mendapatkan tekanan budaya masyarakat itu sendiri, semisal pesta adat yang mempertontonkan wibawa palsu. Demi gengsi social, pesta digelar dengan uang pinjaman. Maka selepas pesta berlangsung, tuan pesta tidak lagi menjadi tuan, malah berubah menjadi hamba kredit berbunga besar. Menurut Victor, solusinya harus tegas yaitu Pemda memikirkan dan memutuskan untuk adanya peraturan yang melarang pesta cultural dengan uang pinjaman. Jadi, jika mau pesta yak arena sesuai dengan kekuatan sendiri, bukan kekuatan uang pinjaman.
Kedua, NTT satu dari sedikit provinsi di Indonesia yang memiliki sumberdaya pariwisata, laut dan ternak yang sangat kuat. Tetapi, selama ini sumberdaya itu tidak diurus tuntas. Jika pun toh sumberdaya itu diurus tetapi selalu dihujani imajinasi dan anasir koruptif, kolutif. Maka NTT yang dikenal luas sebagai provinsi ternak justru nyaris kurus ternak. NTT provinsi pariwisata, tetapi destinasi pariwisata tidak dikelola maksimal, apalagi para pemimpinnya tanpa imajinasi yang kuat. Semua destinasi pariwisata itu hanya dikenang sebagai potensi belaka. Belum menjadi benda ekonomi. Pantai indah, kultur hebat dan unik, hanya dipandang sebagai kebiasaan terberi alami tanpa mengalami sentuhan imajinasi para pemimpinnya. Bahkan pujian pada potensi pariwisata hanya selesai di meja seminar, diskusi elitis yang menghasilkan tumpukan kertas dan paper, dan menghabiskan waktu untuk debat semantic tanpa pemantik perubahan multidimensional.
Sekali lagi, Mancur Olson dipakai dalam tulisan ini, sesungguhnya karena saya hendak mencermati postur orientasi politik perubahan Victor Laiskodat dan Josef Nae Soi dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Bung Victor atau VBL, demikian Beliau biasa disapa kalangan dekatnya, mengimpikan NTT berubah begitu lekas, seiring dengan kuatnya hasrat VBL mengeluarkan NTT dari aneka jenis dan bentuk derita kemiskinan. Sementara Josef Nae Soi, dalam skala relasi politik nasional sangat dekat dengan sumber-sumber kekuasaan. Sehingga proposal pembangunan NTT mendapat reaksi positif lebih lekas. Dana hasil lobby pusat dapat cair dalam waktu relative singkat.
Meski demikian, tetap patut dicatat rakyat ialah bahwa para wakil rakyat NTT di pusat, beberapa di antaranya sungguh sangat membantu suasana dan kondisi politik pembangunan di NTT. Mereka itu antara lain apa yang dilakukan Ibu Julie Sutrisno Laiskodat dari Partai Nasdem, Ansy Lema dari PDIP dan Melki Lakalena dari Golkar. Gelontoran perhatian dan dukungan pembangunan ke NTT dalam bidang yang sesuai dengan komisi tiga angota dewan ini, sungguh tampak menyata di lapangan. Tentu saja, para anggota dewan lainnya sangat khusuk kuat berjuang di level wacana substantive terkait produksi regulasi di bidangnya masing-masing sambil tampil di televisi berucap beberapa yang patut dan meluas. Dapat disebutkan di sini, misalnya, besarnya peran Benny K Harman dari Partai Demokrat dalam perjuangan dan kritiknya terhadap proses dan substansi undang-undang Omnibus Law.
Sebagai hasrat, tekad, dan impian, kritik sosial tentu saja, tak buruk. Dalam satu bagian pandangan Mancur Olson tentang inequalility, discrimination and development, tampaknya relevan juga untuk membaca perubahan NTT di tangan Gubernur Victor Laiskodat dan Josef Nae Soi, sambil tak boleh lupa untuk mengkritisi sejauh mana gerangan kemajuan yang ditimbulkan dari wacana politik mereka yang meluas.
Namun, dua tokoh kunci ini, betapa pun telah menjadi pemimpin penggerak perubahan NTT ke depan. Tercatat sejak keduanya dilantik dua tahun lalu, gempuran narasi, tindakan dan style kepemimpinan keduanya saling memperkaya perspektif.
Dalam konteks hubungan antarpemerintahan, terutama dalam batas dan luas kewenangan Gubernur Wakil Gubernur, dapat diperiksa postur relasi percabangan politik dan konsekuensi politis (political ramification), governance (tatakelola pemerintahan) dan otonomi daerah (autonomy). Hubungan keduanya ke kabupaten dan desa mencair. Akibatnya, kesombongan otonomi daerah yang ditimbulkan pembilahan regulasi cair karenanya. Hal itu mungkin terjadi karena mimpi bersama ditetapkan sebagai harapan dan gerakan bersama.
Satu pertanyaan yang diikutkan dalam pembahasan ini ialah kapan pemimpin menentukan tindakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kapan pemimpin melakukan reformasi atas rombongan politiknya dalam skema cita-cita perubahan sosial politik NTT itu?
Reformasi institusional, tampaknya sebagai langkah pertama yang dilakukan VBL Jos seiring dengan konsolidasi kekuatan di lapisan bawah, terutama di kabupaten dan desa. Para bupati dan walikota terkonsolidasikan untuk melakukan gerakan yang sama dan setara untuk kepentingan perubahan NTT.
Pada titik itu, kita pasti akan menyaksikan bagaimana nasib pikiran Mancur Olson sebagaimana tertuang dalam bukunya The Logic of Collective Action (1965). Kita terus mencermati dan mengikuti dengan tepat. Tetapi karya Mancur Olson berbasis pada risetnya di beberapa Negara yang relative berpengalaman cultural yang sama. Sekian.