*Oleh: Vayan Yanuarius
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dalam sidang paripurna pada 5 Oktober 2020. Pengesahan RUU Cipta Kerja kemudian menghasilkan kontroversial. Forum buruh, aliansi masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi protes nasional menolak Omnibus Law.
Meskipun di tengah ancaman pandemi Covid-19 masyarakat tetap turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasinya. Menurut para demonstran bahwa RUU Cipta Kerja memuat pasal-pasal yang dapat merugikan masyarakat (tirto.id, 5 Oktober 2020). Pasal-pasal kontroversial itu misalnya pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
Pasal 88C. RUU Cipta Kerja menambahkan pasal 88C yang menghapus upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini UMK sama untuk semua wilayah. Padahal setiap wilayah memiliki perbedaan biaya hidupnya masing-masing.
Pasal 88D. Pasal ini membicarakan soal inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upaya minimum. Konsekuensinya ialah banyak pekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari.
Pasal 91. Pasal 91 dari RUU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 93 ayat 2. RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 RUU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a), RUU menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, membaptis anak, istri melahirkan, hingga anggota keluarga dalam suatu rumah meninggal dunia (b). dan yang lainnya ialah menjalankan kewajiban terhadap Negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Selain itu, beberapa pasal bermasalah tentang lingkungan hidup. Pasal 88 misalnya pemerintah menghapus UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pemerintah menghapus pasal 93 yang menyatakan “setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara”. Hal ini berarti pemerintah mengakomodasi kepentingan bisnis
Pasal lain yang bermasalah ialah tentang Pers. RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam kebebasan pers. Perubahan ini sebagaimana yang dikatakan oleh Harry Siswoyo bahwa berpotensi kembali kepada UU Pers tahun 1999. Tentunya perubahan ini bertujuan mengontrol sistem kerja Pers. Dan dalam dunia pendidikan, pasal yang bermasalah terdapat dalam pasal 51 ayat (1) yang berbunyi Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 62 ayat (1) syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. Pasal 71 yang membicarakan soal perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 62 ayat (1) dipidana paling lama 10 tahun dan denda sebesar 1 miliar.
Kematian Demokrasi
Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt) membicarakan tentang bagaimana proses demokrasi itu mati? Penulis buku ini mencoba mengangkat sebuah persoalan krusial yang terjadi di Venezuela. Di Venezuela ada seorang tokoh politik-Hugo Chavez yang terjun ke dunia politik dan menentang secara keras para elite pemerintah yang korup dan berjanji kepada masyarakat untuk membangun iklim demokrasi yang ideal.
Karena misinya yang membangun iklim demokrasi ideal maka ia terpilih sebagai Presiden pada tahun 1998. Namun dalam perjalanan waktu, Chavez seorang pemimpin yang demokratis berpaling menjadi pemimpin yang otoritarianisme. Hal ini cukup terbukti ketika Chavez menutup satu stasiun televisi besar, menangkap dan mengasingkan politikus oposisi, hakim dan tokoh media dengan tuduhan-tuduhan tak jelas serta menghilangkan batasan masa jabatan presiden supaya ia bisa berkuasa selamanya. Jadi, kematian demokrasi di Venezuela terjadi ketika watak seorang pemimpin berubah dari demokratis ke otoriter dan membajak seluruh institusi demokrasi.
Dalam konteks Indonesia sekarang hemat saya, demokrasi kita sedang berjalan menuju kematian. Kematian demokrasi kita terbukti dengan terciptanya Undang-Undang yang merugikan kepentingan masyarakat. Omnibus Law yang sangat gencar ditolak oleh masyarakat hemat saya tidak sebatas memperjuang hak-hak kaum buruh saja tetapi juga memperjuangkan asas kebebasan masyarakat pada umumnya dan institusi demokrasi (media sosial) dalam mengontrol roda kepemimpinan (check and balance).
Setahun masa kepemimpinan Jokowi dalam evaluasi beberapa hari yang lalu mencacat bahwa teror siber sering kali terjadi. Berdasarkan keterangan Tempo teror siber selama setahun berjumlah lima kali yang terdiri dari, pertama, September 2019, sejumlah akademikus penolak revisi UU KPK mendapat teror berupa panggilan telepon dari nomor yang tak kenal. Saat panggilan dijawab, penelpon mengajak berdebat supaya sang pengajar menerima revisi. Selain itu, nomor ponsel sejumlah dosen diretas.
Kedua, April 2020, peneliti sekaligus pegiat keterbukaan informasi, Ravio Putra, mendapat serangan berupa peretasan akun WhatsApp. Peretas juga mengirim pesan bernada penghasutan. Ketiga, Mei 2020, sekelompok mahasiswa anggota Costitutional Law Society FH UGM mendapat teror karena menyelenggarakan diskusi pemakzulan presiden. Sejumlah panitia acara dan narasumber mendapat ancaman pembunuhan dan teror berupa layanan pesan-antar fiktif. Akun instagram CLS juga diretas.
keempat, Juni 2020, warga kepulauan Sula, Maluku Utara, bernama Ismail Ahmad diperiksa polisi pada 17 Juni karena mengunggah status di media sosial. Ismal mengutip lelucon yang pernah disampaikan Presiden RI keempat, Gus Dur, Komedian Bintang Emon mendapat serangan di media sosial karena mengunggah video kritik terhadap sidang penuntutan penyiraman air keras ke penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Kelima, Agustus 2020, pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, melaporkan peretasan akun Twitter miliknya. Selama pandemi, Pandu dikenal kerap mengkritik kebijakan penanganan Covid-19 pemerintah. Situs tempo.co diretas pada 21 Agustus. Pelaku mengganti tampilan depan laman tempo.co menjadi gelap dan menuliskan kalimat-kalimat bernada negatif. Dan masih banyak lagi teror siber lainnya yang dialami oleh masyarakat, aktivis, mahasiswa, para pejuang demokrasi sampai sekarang.
Karena itu, hemat saya pemerintah kita sekarang sulit dipercaya. Masyarakat kehilangan “jaringan” untuk menyalurkan segala aspirasi kepada pemerintah. DPR yang dianggap sebagai perpanjangan “lidah” masyarakat rakyat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat sekarang malah “seranjang” dengan pemerintah. Mereka bermain bukan lagi demi kepentingan masyarakat tetapi kepentingan mereka sendiri.
Memang hal ini sejak dari awal sudah dibaca ketika Presiden mengangkat “pembantunya” dari ketua partai yang memiliki anggotanya di kursi DPR. Sehingga ketika Pemerintah membuat kebijakan baru, DPR tinggal mengeluarkan suara “sepakat” atau “setuju”. Kalau pun ada, sidang dan penolakan yang terjadi di parlemen itu hanya sebuah “adegan siluman” yang dipertontonkan kepada masyarakat agar masyarakat tetap mempercayai kerja para dewan perwakilannya. “Aroma tipu muslihat” ini sudah tercium oleh masyarakat dengan membaca spanduk para demonstran tolak Omnibus Law “DPR, Dewan Pengkhianat Rakyat”.
Karena itu, hemat saya untuk mengembalikan sistem demokrasi yang menuju kematian itu pemerintah merefleksikan kembali kebijakan-kebijakan yang dibuat ( terkhusus soal Omnibus Law) dan membuka ruang diskursus. Saya kira dalam ruang dikursus, masyarakat mengambil bagian secara aktif dalam menentukan kebijakan karena masyarakat adalah subjek dari kebijakan itu sendiri. Dengan kata lain, keterlibatan masyarakat dalam mengambil kebijakan dengan maksud supaya kebijakan pemerintah itu tepat sasaran yakni kesejahteraan umum (Bonum Commune).
Lebih dari pada itu, kepincangan kebijakan Omnibus Law menjadi cerminan bagi pemerintah di tingkat Provinsi dan Daerah untuk lebih bijaksana lagi dalam membuat kebijakan. Dan, partisipasi masyarakat sangat perlu dalam mengambil dan mengontrol kebijakan itu sendiri. sebagaimana yang dikatakan oleh Beetham, demokrasi adalah control popular terhadap urusan publik dan politik berbasis persamaan hak warga Negara. Persoalan penting demokrasi ialah menjamin agar publik dapat mengontrol pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, termasuk juga mengontrol para pembuat keputusan tersebut. (Caroline Paskarina, dkk., 2015: 4)
Penulis tinggal di Ritapiret