Oleh: Pius Rengka
Perang narasi di media sosial atas tarung politik Deno Kamelus versus Heri Nabit, belakangan ini kian keruh. Bahkan kabur air. Malah perang narasi media sosial jauh lebih riuh seru dibanding perang riil di lapangan.
Puja puji atas basis kosong kerap menimbulkan ironi. Bahkan satire politik. Saling olok, tentu saja, tidak menghasilkan apa-apa kecuali menambah jumlah komplotan seteru. Tetapi, tak mengapa, karena politik di hari ini dan juga di sini, masih saja dipandang sebagai arena caci maki, saling hujat dan bahkan saling kurung. Peradaban mulia Manggarai, sebagaimana dikenalkan para leluhur, tampak tak berjejak, malah direndahkan dalam kondisi tercabik dalam urusan makan minum semata. Memperbanyak jumlah bapak perjanjian dan perjamuan. Janji tak juga kenyang, tetapi makan tak juga melahirkan perjamuan peradaban luhur.
Dalam hal gaya, sebagaimana kata Thomas Jeferson, ikutilah arus. Dalam hal prinsip, berdirilah bagai batu karang. Dan, juga sebagaimana nasihat Helen Keller, ketika dikatakan, saya hanya satu orang, tetapi saya tetap orang. Saya tidak dapat mengerjakan segalanya, tetapi saya tetap dapat mengerjakan sesuatu; saya tidak akan menolak untuk mengerjakan sesuatu yang dapat saya kerjakan.
Manusia Manggarai, sebelumnya, dikenal luas sebagai komunitas santun, bertabiat respect for the others person. Lenyapkah itu? Mungkin agak atau agak mungkin.
Politik, tentu saja, bukan jadi satu-satunya alasan untuk kita boleh tak sopan dengan sesama. Dalam politik itu, lawan tarung tidak lain adalah kawan main. Kawan main untuk apa? Kawan main, untuk mementaskan martabat diri. Martabat diri justru tampak dalam semua jenis permainan.
Sebagaimana lumrahnya sepak bola, yang di sepak itu bolanya, bukan kaki lawan tanding, apalagi kaki wasit. Lebih cilaka, bukan bola yang disepak dan dikejar-kejar, malah penonton yang diplototi dan dikejar seperti mengejar tikus sawahan. Bukan pula mengejar penonton dengan pelototan mata nanar ganas bagai serigala. Penonton politik adalah komunitas rindu dedikasi, mendambakan edukasi, dan memuliakan kehormatan, serta menghendaki rajut jejak peradaban.
Politik itu adalah pentas. Pentas peradaban. Pentas kehormatan diri. Juga pentas jangka pendek. Mungkin saja durasinya tak lebih dari tiga menit untuk penentuan nasib sejarah Manggarai lima tahun berikutnya.
Hanya saja, memang, politik butuh panggung, butuh nutrisi. Panggung untuk menggaungkan pesan peradaban, agar kita semua tidak masuk dalam kelompok kaum biadab. Nutrisi kebenaran agar kita senantiasa dalam sarung selimut kebaikan. Karena politik itu pada wajahnya terpantul peradaban dan terutama cita-cita pembebasan. Pembebasan dari seluruh jenis kekerdilan akal sehat, juga pembebasan dari dera derita kaum tertindas. Karena itu politik selalu harus dan . mestinya begitu, pro bonum commune.
Saya juga lihat narasi para mantan pejabat. Para mantan pejabat, rajin menarasikan tema pokok yang justru lebih bermakna pemercikan air kotor di dulang jabatan sendiri. Kena muka sendiri.
Narasi itu, bukan saja memilukan dan memalukan, tetapi juga menghina diri sendiri sejauh bila dimengerti apa makna penghinaan atas jabatan sendiri. Menuding yang lain sambil menghina diri pribadi. Bukan saja itu sial amat, tetapi malah naïf sekali.
Bukan saja itu, metode olok-olok dalam kempanye, tentu hanya menakar peradaban pengetahuan dan ilmu pengetahuan para tukang olok. Kita toh pasti tak serendah ucapan sendiri. Kehormatan diri adalah babak narasi pada puncak-puncak filsafat kebaikan. Atau dalam takaran Paul Recour, one self as another, diri sendiri sama dengan orang lain. Jika Anda sedang menghina orang lain sesungguhnya Anda sedang menghina dirimu sendiri. Sebaliknya jika Anda memuliakan reputasi dan prestasi serta cinta damai pada sesama, maka sesungguhnya semua itu didedikasikan bagi diri sendiri. JADI, DIRI SENDIRI SEBAGAI ORANG LAIN.
Saya juga melihat, para pendukung masing-masing pihak, membangun narasi tak hanya controversial tetapi juga konfliktual. Mungkin itulah alasan masuk akal sampai-sampai Uskup Manggarai, Mgr. Sipri Hormat, segera menggelar misa suci khusus untuk kedua kandidat bupati. Keduanya duduk bersimpuh di tikar besar yang sama, di dalam kisah kasih penuh khusuk hasrat cinta sejati.
Pesannya jelas, kempanye damai. Rebut kuasa itu dengan cara biasa-biasa saja. Toh hasrat berkuasa itu memang niscaya sangat biasa, sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak pra Masehi. Tetapi hasrat kuasa itu tak harus dikurung dalam gempur sempit demi kuasa itu sendiri dan, persis berhenti di situ. Kuasa itu sekadar alat main dalam silat pembangunan. Pembangunan untuk apa, pembangunan untuk pembebasan. Pembebasan apa dan untuk siapa, semestinya sudah lumrah dalam ilmu yang sangat biasa.
Pujian justru datang mengalir ke Penjabat Sementara Bupati Manggarai, Dr. Zeth Sonny Libing. Putra kelahiran Alor ini, menyiram air relasi damai. Dia tidak hanya ahli di bidang politik pemerintahan, tetapi juga dia piawai merajut relasi sejuk nan teduh. Dia tidak hanya santun melantunkan pesan perbaikan, juga setia pada panggilan suci kompetisi politik.
Dr. Sonny Libing, justru fenomenal di tengah deru campur debu politik Manggarai hari ini. Bahkan ada di antara sementara rakyat yang menyebutkan bahkan mungkin mendambakan, jika sebaiknya jabatan sementara itu diperpanjang dengan waktu sementara lebih lama, lantaran Sonny Libing sanggup menyiram harapan pada rakyat yang sangat biasa sahaja di sana.
Namun, dari serambil lain, Deno Heri, terutama para team sukses, sangat sengit mengomentari titik lemah, dan mengagungkan titik kuat masing-masing kandidat. Titik kuat sesungguhnya tak sekuat yang didambakan khalayak jika kita sanggup melihat ke dunia lain di luar sana. Titik kuat adalah harapan, bukan kenyataan. Sedangkan titik lemah adalah medan perang tempat di mana dan dari mana mereka wajib jujur berkata lurus.
Bosan
Kata ini, kata sifat. Tetapi itu kata tidak hanya dikenakan pada Deno semata yang telah berkuasa 15 tahun di sana. Heri pun kena. Deno berhadapan dengan bosan dan kebosanan karena ia telah berkuasa amat lama 15 tahun, tetapi Heri juga dikenal bosan karena kalah amat sering dalam kompetisi jenis yang sama.
Karena itu keduanya, bukan saling melawan satu dengan lainnya, melainkan menghadapi diri sendiri, dihakimi diri sendiri tanpa seorang pun di antaranya yang tak dihantui kosa kata yang sama yaitu bosan itu.
Meski demikian, keduanya harus terus berlangkah. Mengapa? Karena bagi rakyat Manggarai tak ada pilihan lain kecuali memilih pilihan serba terbatas hanya pada dua orang itu saja. Tentu saja, pertanyaan umum yang diletakkan di kepala massa pemilih, siapa di antara manusia membosankan ini yang layak dipilih dan mengapa?
Bagi Deno, agak sedikit perlu membuktikan prestasi dan reputasinya. Sedangkan bagi Heri, wajib meyakinkan khalayak bahwa dirinya sanggup melampaui prestasi dan reputasi petahana. Tetapi, untuk meyakinkan manusia pemilih Manggarai, yang terbiasa kembeleisen (gemar menyindir dan anggap remeh orang), jalan yang ditempuh Heri tentu saja jauh lebih ruwet dibanding Deno yang tinggal menunjukkan catatan kecil perubahan seperlunya di Manggarai.
Mungkin saja cara tafsir atas keduanya berbeda arah, tetapi satu hal yang pasti keduanya berhadapan dengan kata yang sama setiap hari di lubuk harinya masing-masing. Bosan.
Bagaimana pula menghadapi kata ini untuk para pemilih yang terlanjur tahu dentang sejarah masing-masing? Peran penting team sukses justru terletak di sini. Team sukses Deno berusaha sekuat daya pikir dan kadang otot tenggorokan untuk meyakinkan massa pemilih tentang kepantasan Deno untuk dipilih kembali. Tim sukses harus sanggup membangun narasi bahwa tak perlu bosan memilih Deno karena dia memiliki reputasi dan prestasi yang patut terus dirajut untuk khalayak Manggarai. Mungkin saja hanya seketul. Tak mengapa tetapi harus.
Deno digugat, misalnya, soal pembagian dan distribusi proyek-proyek. Apakah distribusi proyek di Manggarai memberatkan atau cenderung didedikasikan untuk kalangan kaum sendiri, adik kakak sendiri atau pengerjaaan proyek didistribusi secara merata untuk khalayak ramai sesuai hukum-hukum distribusi obyek proyek itu. Juga mungkin, Deno diganggu perihal seleksi dan placement birokrat di birokrasi Pemerintahan Manggarai. Apakah birokrat semasa pemerintahan Deno, tidak menjadi predator untuk urusan proyek. Cara gampang untuk menelisik kasus ini ialah dengan memeriksa fasilitas pribadi para birokrat dibanding dengan pendapatan yang mungkin diperoleh dalam level kekuasaan masing-masing.
Dua hal itulah, yang selalu menjadi alasan rakyat sungguh bosan memilih dia lagi. Tetapi dua hal itu pun selalu genit pada dirinya sendiri justru karena dua topik itulah yang biasanya menjadi ajang comelan dan omongan tak betul di antara khalayak ramai. Gosip berkembang, seolah-olah menjadi data.
Sebagaimana namanya, khalayak ramai, ya orang ramai-ramai mencari kelemahan Deno di dua soal itu saja. Tetapi team sukses, harus sanggup mengemasnya dengan tepat dua isu ini agar dua obyek comelan itu tak selalu muncul ke permukaan. Sebagaimana gossip yang pernah diucapkan salah satu mantan pejabat penting di birokrasi Manggarai yang, saya duga, dia juga asal omong di kali lalu itu. Tanpa berpikir panjang.
Disebut asal omong, karena seharusnya mantan pejabat begitu, tidak boleh omong bahwa Deno gagal. Haram hukumnya. Mengapa? Karena dia itulah juga menjadi bagian dari rombongan rejim Deno yang disebutnya gagal itu. Artinya, dia sendiri mau mengatakan: “Ya saya ikut menyumbang banyak hal kegagalan Pemerintahan Deno Kamelus karena saya adalah orang sangat penting di rombongan birokrat Deno saat dia sedang berada dalam arena politik birokrasi. Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa”.
Sebaliknya, khalayak Manggarai juga bosan dengan Heri Nabit. Bagaimana itu mungkin? Heri sudah kali ketiga maju menjadi calon bupati, tetapi dia selalu gagal dalam dua kali pencalonan. Apakah pencalonannya yang ketiga kali ini, dia sanggup menghapus pengalaman buruk gagal untuk kesekian kali?
Heri menghadapi dilema dalam politik untuk dirinya. Dilema paling dekat ialah usahanya untuk menjawab kepantasannya memimpin Manggarai, dan kedua kesanggupannya untuk menghilangkan kegagalan berkali-kali.
Untuk urusan kepantasan, saya kira tidak terlalu sulit nan pelik. Karena urusan ini memiliki raut sejarah sangat panjang dalam seluruh kepemimpinan di Manggarai sejak zaman Raja Baruk, Raja Ngambut dll, hingga sekarang.
Sedangkan perihal kegagalan berkali-kali, tidak hanya ditentukan oleh postur mobilisasi voters, tetapi juga ditentukan perihal mengkawal voting sampai ke titik paling akhir. Bukankah perihal menang pilkada yang terfenomenal adalah kemenangan administrasi belaka? Bukankah para aktor pengurus administrasi kemenangan itu adalah juga manusia sangat biasa, yang merasa biasa-biasa saja untuk melakukan hal buruk yang sudah terbiasa. Atau para pengurus administrasi kemenangan di atas kertas itu, dicurangi dengan cara sangat luar biasa.
Tantangan Heri Nabit adalah tantangan administrasi kemenangan. Jangan pernah lengah dengan panggung dan pentas sosial, juga tidak perlu silau dengan gelombang dukungan gerakan sosial. Karena fenomena itu hanyalah jawaban lumrah dari massa politik Manggarai yang masih suka hiburan dan keramaian, gerak gerombolan, gossip, dan juga makan dan naik oto gratis ala Pilkada.
Media Massa
Tugas mulia seorang jurnalis itu sesungguhnya adalah memaparkan fakta, bukan memperkirakan fakta. Sedangkan tugas politisi ialah menjelaskan fakta dan membenturkan fakta dengan ideologi kebebasan dan kesejahteraan agar rakyat kian terbebas dari belenggu derita kegelapan.
Tetapi jika politisi hanya sanggup bercuap dengan motif membebaskan dirinya sendiri dengan cara mengurus dirinya sendiri sambil merias dirinya dengan sejumlah ornamen untuk penumpukkan harta baginya, maka dia sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan predator busuk serupa zombi yang menjadikan politik sebagai media sosial untuk mengerjakan serial kejahatan sambil tersenyum.
Maka, tugas jurnalis ialah menyiarkan fakta sebagaimana adanya, tanpa harus memompa fakta menjadi fiksi, atau menjadikan fiksi pribadinya menjadi fakta. Sedangkan politisi, memaparkan fakta dengan data, sambil berjuang mengeluarkan fakta buruk menjadi sesuatu yang indah, menyenangkan dan terutama menyejahterakan rakyat.
Selama ini kita pahami demokrasi sebagai system politik pemerintahan yang dimengerti diperoleh dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pengalaman empiric, dua urusan pertama sudah sangat jelas yaitu dari rakyat dan oleh rakyat. Tetapi, term untuk rakyat selalu menjadi tidak jelas dalam perjalanannya, sehinggga rakyat tetap miskin, bodoh, terbelakang dan naïf. Bukankah demokrasi hanya bermakna manakala kehidupan rakyat kian membaik, kian sejahtera? Demokrasi hanya boleh dianggap berhasil baik manakala keluhan dan tuntan rakyat terpenuhi semuanya. Begitulah!!