Oleh: Tony Djogo*

Pembangunan  dan pertanian NTT mengalami pasang surut  namun perbaikan sistem produksi beberapa komoditi masih belum memberikan dapat dibanggakan. Setiap pemimpin baru pasti mempunyai pendekatan, program dan kegiatan baru di bidang pertanian. Ada hasil yang bisa diteruskan ada yang tidak.

Fakta menunjukkan bahwa semakin banyak program dan kegiatan, anggaran dan inovasi yang diterapkan, dengan hasil-hasil skala kecil dan tersebar ke mana-mana tetapi  tidak nyata secara kumulatif, tidak berkelanjutan dan belum bisa dibanggakan. Hanya beberapa komoditi saja yang lumayan. NTT bahkan kalah dari daerah lain yang dulunya  NTT pernah lebih unggul.

Dapat saya katakan bahwa pertanian NTT sedang mengalami masa kemerosotan yang serius sejak tahun 1970-an. Kita tidak hanya kalah dalam hal budidaya (produksi dan produktivitas) tetapi juga di industri pengolahan dan tata niaga. NTT menjadi produsen bahan baku yang murah. Kontribusi pertanian pada PDRB terus menurun sementara sector sekunder (industri/manufaktur) dan tersier (Perdagangan dan jasa) lemah.

Mengakui keunggulan orang lain  dan belajar dari orang yang  lebih maju dan lebih berhasil adalah salah satu langkah untuk membuat perubahan. Kita bisa belajar dari sejarah dan lihat bagaimana ada negara yang hancur lebur karena  perang kemudian  bangkit dan berhasil secara spektakuler.  Yang menarik juga adalah Vietnam yang dijajah ratusan tahun, dihancurkan, tertinggal dan kemudian bangkit.

Vietnam menjadi produsen, pengolah, penampung dan distributor  dan ekspotir berbagai komoditi pertanian dan perikanan yang menggeser posisi Indonesia dalam produksi dan perdagangan komoditi pertanian internasional. Bukan rahasia bahwa kita impor beras dari Vietnam.

Indonesia pernah  dijajah namun  pernah jaya dalam beberapa aspek atau sektor pembangunan  pertanian tetapi kemudian jatuh. Sebagian berhasil dibangun tetapi  sebagian sulit bangun kembali.  Kita tergantung pada impor berbagai komoditi termasuk pakan ternak. Dari diskusi saya di Sumba  dan Flores ternyata kita juga impor hortikultura dan dedak padi dari NTB dan Sulawesi Selatan.

Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dan Bupati Sikka, Robi Idong saat mengunjungi kebun hortikultur dengan Irigasi Tetes milik Yance Maring di Waikiti, Alok Barat, Sikka, Minggu 26 Juli 2020 (Foto: Are de Peskim)

Provinsi NTT pernah berhasil  dalam produksi beberapa komoditi pertanian antara tahun 1970-2000-an tetapi kemudian tertinggal. Misalnya kita pernah unggul dalam  bidang pertanian dan peternakan, IPM atau  Pendidikan, kemiskinan dsb  dibandingkan dengan  provinsi NTB  tetapi kemudian tertinggal dan kalah dari NTB. Persoalan ini seharusnya dimanfaatkan untuk bangkit dan membangun kembali pertanian kita. Kita juga tidak perlu malu mengakui keunggulan orang  lain.

Jika Jerman, Jepang, dan Vietnam bangkit setelah  hancur oleh  peperangan tetapi bangkit dengan cepat,  kita NTT hancur dan tertinggal karena tata kelola, koordinasi,  etos atau daya juang, SDM,  persoalan korupsi, keterampilan, kelembagaan, persoalan sosial dan politik dan lain-lain.  Kita bangkit dengan tetapi dengan  sangat lambat.  Tidak mungkin bandingkan NTT  dengan Jepang atau Jerman  atau Vietnam tetapi analogi ini saya pakai untuk menilai bagaimana  kita belum punya  rancang-bangun  dan business plan pertanian yang kuat, etos yang kuat, tata kelola  dan cara kerja serta alokasi dan pemanfaatan anggaran yang bermoral. Ada intervensi yang berhasil dalam skala kecil, tidak massif. Bahkan hasilnya terus menurun dibandingkan dengan provinsi lain seperti NTB.

NTT semakin kekurangan insinyur pertanian yang bisa bekerja di tingkat lapangan bukan yang bekerja di kantor. Pendidikan kita tidak kuat menopang pembangunan pertanian yang professional dan produktif, berkualitas dan bernilai industri atau ekspor. Pendidikan pertanian kita perlu dievaluasi seberapa besar kontribusinya bagi pembangunan pertanian di NTT. Semakin banyak model pendidikan  bidang pertanian yang di bangun di NTT demikian juga jumlah lulusannya. Apa kontribusinya? Pertanian NTT ternyata terus tertinggal.  Tulisan ini hanya membandingkan produktivitas beberapa komoditi pertanian  antara provinsi NTT dan NTB saja.

NTT vs NTB

Publik pasti ada yang menilai bahwa provinsi NTB lebih maju dalam banyak hal di bandingkan dengan NTT. Provinsi NTB mempunyai kemajuan yang lebih besar dan pesat dibandingkan NTT dalam bidang pertanian. Saya mencoba membandingkan NTT dengan NTB dalam beberapa capaian dan indikator pembangunan berdasarkan data statistik pusat baik dari BPS maupun dari Kementerian Pertanian. Kalau kita pelajari statistik ternyata ada beberapa target pembangunan yang menunjukkan kita (NTT) tertinggal dari NTB padahal kita pernah lebih unggul di tahun 1990-an.

NTT pernah unggul dari NTB kini NTT tertinggal. Kita tidak pernah perang dengan NTB tetapi kita sangat lambat dan kalah bersaing dengan NTB paling tidak di bidang pertanian. Kita belum bisa membuat perubahan yang radikal dan dramatis seperti yang dilakukan  dalam beberapa sektor di NTB.

Kita  menghadapi perubahan zaman  yang semakin cepat dan kebutuhan yang semakin tinggi dalam banyak hal dan persaingan yang semakin keras sama seperti NTB.  Kita juga perlu belajar dari keberhasilan atau keunggulan beberapa provinsi lain dalam bidang pertanian dan peternakan atau perikanan serta kehutanan.

Luas provinsi Nusa Tenggara Barat hanya 18.572  km2  dengan jumlah pulau  864 buah sedangkan Nusa Tenggara Timur Kupang 48.718 km2 dengan 1192 pulau. Jumlah penduduk 2020 diproyeksikan NTB mencapai 5.125.600 sedangkan NTT 5.541.400 (BPS Pusat).

Salah satu perubahan yang sangat jelas di bidang SDM adalah bahwa jika pada tahun 1999 IPM NTB berada di bawah NTT sekarang NTB di atas NTT. Dulu NTT lebih unggul dari NTB (paling tidak sampai tahun 1999) tetapi kini NTT merosot ke urutan ke tiga terbawah di Indonesia dalam konteks kemiskinan, SDM, korupsi, pendidikan dll.

Tahun 1999 itu IPM (Indeks Pembangunan Manusia) NTT berada dalam posisi 24 (ranking 3 dari bawah) sedangkan NTB berada pada posisi dari 26, ranking paling bawah, dari 26 provinsi di Indonesia. Tetapi kini kita sudah ketinggalan. Tahun 2017 misalnya IPM NTB mencapai 66.58 atau pada posisi 29 dari 34 provinsi sedangkan NTT berada pada posisi 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Tahun 2019 IPM NTB mencapai 68,14 sedangkan NTT 65,23.

Bangkai sapi yang mati di Pulau Mules, Mangggarai, NTT karena dilanda kekeringan beberapa waktu lalu (Foto: Tim Vox)

Dari sudut pandang ekonomi jumlah dan persentase penduduk miskin NTB pernah lebih tinggi dari NTT namun tahun 2019 Kemiskinan NTT lebih tinggi dari NTB. Kontribusi NTB pada perkonomian nasional lebih tinggi dari NTT walaupun kadang pertumbuhan ekonomi kadang NTB lebih rendah. Pengeluaran per kapita NTB di tahun 2019 mencapai Rp. 10.640.000 sedangkan NTT Rp. 7.769.000.- (Sumber Data BPS Jakarta). Di dalam masyarakat banyak dibahas bahwa orang-orang NTB masuk ke NTT dan berbisnis serta bertani dengan hasil yang sangat nyata. Tidak dapat disangkal bahwa orang NTB mulai dengan sewa lahan pertanian di NTT mengusahakan bawang, sayuran dan menjual mendapat uang banyak sementara orang kita termasuk pemilik tanah tertinggal ekonominya. Bukan rahasia lagi bahwa NTT juga mengimpor produk hortikultura dari NTB. Taktik dagang atau bisnis komoditi pertanian NTB Jelas lebih unggul dari kita. Kita juga “mengimpor” tenaga terampil dan pebisnis dari NTB.

Salah satu isu yang saya pikir penting untuk diangkat adalah membuat berbagai perbandingan di bidang pertanian.  Mudah-mudahan data dan informasi ini dapat dimanfaatkan secara positif dan konstruktif untuk segera mulai membangun motivasi, etos dan daya juang untuk membangun pertanian di NTT yang lebih produktif, berdampak, bernilai ekonomi tinggi.

Untuk itu perlu perbaikan yang fundamental dan agresif di bidang perencanaan, perancangan, inovasi teknologi, pendidikan dan pelatihan dan alokasi anggaran yang lebih berdampak di sektor pertanian. Isu kunci adalah SDM dan manajemen yang professional, modern dan berorientasi bisnis.

Tentu saja pembangunan pertanian adalah urusan publik bukan hanya urusan bisnis dan keluarga. Bagaimana pemerintah bisa punya perencanaan, design dan alokasi anggaran yang progresif dan agresif untuk membuat perubahan besar-besaran.

Bagaimana merubah etos, mentalitas dan daya juang serta keterampilan teknis petani kita. Masih banyak lahan-lahan kosong yang tidak diusahakan walaupun kadang ada air sekalipun. Saya menyaksikan banyak lahan-lahan potensial yang dibiarkan terlantar baik di Sumba, Timor atau Flores. Sementara di desa kita semakin kekurangan tenaga kerja produktif.

Perbandingan Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Provinsi NTB vs NTT (Data  2018 dan 2019)

Lihat beberapa perbandingan dengan provinsi NTB di bawah ini.  NTT pernah unggul dalam produksi jagung sejak tahun 1970-an. Tahun 1970 produksi jagung NTT 153.427 ton hampir lima kali lipat produksi jagung NTB hanya 31.965 ton.

Sampai dengan tahun 2013 produksi Jagung NTT (707.642 ton) masih diatas NTB (633.73 ton) tetapi tahun 2014 produksi Jagung NTB mengalami lonjakan yang sangat drastis  (785.864 ton) menyalip produksi Jagung NTT (647.081 ton) dan tahun 2017 dan seterusnya di mana produksi jagung NTT hanya 809.830 ton tetapi NTB mencapai produksi yang spektakuler yaitu 2.127.324 ton padahal luas tanamnya lebih kecil dari NTT.

Tabel 1. Perbandingan Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Provinsi NTB vs NTT

No. Parameter/Komoditi Indikator NTT NTB
1. Jagung
a. Luas Panen Jagung  Ha 341,264 306,899
b. Produktivitas Jagung Ton/ha 2,52 6,71
c. Produksi Jagung Ton 859.230 2.059.222
2. Padi
a. Produktivitas padi rata-rata Ton/ha 3,649 5,135
b.    . Produktivitas padi sawah Ton/ha 4,171 5,286
c Produksi padi Ton 1,213,760 2,059,222
3. Kedelai
a. Luas Panen Kedelai Ha 10,709 77.167
b. Produksi Kedelai Ton 16.827 91.724
c. Produktivitas Kedelai Kuintal/ha 15.71 11.89
4. Kacang Hijau
a. Produksi Ton 6.157 26.434
b. Luas Panen Ha 9.914 23,293
c. Produktivitas Kuintal/ha 6.21 11.35
5. Kopi
a. Luas tanam kopi Ha
64,800
11,732
b. Produktivitas kopi Kg/ha 513 622
c. Produksi kopi Ton 24.122 6.691
6. Jambu Mete
a. Luas tanam jambu mete Ha 171.169 46.557
b. Produktivitas jambu mete Kg/ha
580
 291
c. Produksi jambu mete Ton
 176,561
 46,557
7. Kelapa
a. Luas tanam kelapa ha
143,864
 58,195
b. Produktivitas kelapa Kg/ha 774 1.099
c. Produksi kelapa Ton 82.956 48.253
8. Bawang merah
a. Luas panen bawang merah Ha 1.738 16.688
b. Produktivitas bawang merah Ton/ha 4.75 11.28
c. Produksi Bawang Merah Ton 8.254 188.255
9. Bawang putih
a. Luas panen bawang putih Ha 358 2.771
b. Produktivitas bawang putih Ton/ha 2.43 10.99
c. Produksi bawang putih Ton 868 30.453
10. Produksi Cabai rawit Ton 8.816 164.773
11. Produksi Cabai besar Ton 2.920 17.679
12. Produksi Tomat Ton 9.950 29.215
13. Produksi Kol/Kubis Ton 4.251 10.344
14. Produksi Kentang Ton 530 1.503

Coba lihat produksi beberapa komoditi di atas. Luas lahan jagung NTT lebih besar dari NTB tetapi produksi jagung NTB dua kali produksi jagung NTT. Produktivitas juga kita kalah dan total produksi jagung NTB (2.059.222 ton) lebih dari dua kali produksi NTT (859.230 ton) padahal luas lahan jagung kita lebih besar.

Produksi bawang merah dan bawang putih juga kita kalah jauh. Tidak heran kalau orang NTB jual bawang ke NTT bahkan orang NTB cari lahan di NTT untuk tanam bawang merah. Produksi bawang merah NTB 188.255 ton bandingkan dengan NTT yang hanya 8.254 ton.

Luas panen bawang merah NTB 16.688 ha hampir sepuluh kali luas panen bawang merah NTT (1.738 ha) (data Kementerian Pertanian tahun 2019). Data 2019 juga menunjukkan bahwa produktivitas bawang putih NTB (10.99 ton per ha) lima kali produktivitas bawang putih NTT yang hanya 2.43 ton/ha.

Ada beberapa komoditi yang memang kita sudah kalah dari dulu seperti padi, bawang merah, bawang putih, kacang kedelai, kacang hijau, cabai, tomat, kubis, kentang dan beberapa produk hortikultura lainnya. Kita pernah unggul dalam produksi kacang hijau tetapi disalib NTB pada tahun 1995 dan seterusnya. Yang menyedihkan adalah bahwa produksi kacang hijau NTT terus menurun.

Tabel 2. Perbandingan Populasi Beberapa  Jenis Ternak Provinsi NTB vs NTT  (Data 2019)

No. Ternak Indikator NTT NTB
1. Populasi sapi potong ekor 1.087.615 1.242.749
2. Kambing kor 818.650 701.427
3. Kerbau ekor 174.903 124.527
4. Kuda ekor
 109.355
 47.576
5. Domba ekor 65.589 27.241
6. Babi ekor
2.432.501
58.899
7. Itik ekor 324.938 1.167.694
8. Ayam
a. Ayam Ras Pedaging ekor 10.137.936 11.976.099
b. Ayam Buras ekor 10.984.790 8.908.650
c. Ayam Ras Petelur ekor 225.389 808.969

 

Populasi sapi potong juga menyedihkan. NTT yang sering dideklarasikan sebagai provinsi ternak ternyata pada tahun 2019 populasi sapi potong kita hanya 1.087.615 ekor dibandingkan dengan NTB yang jumlahnya 1.242.749 ekor. Menyedihkan karena dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2008 NTT selalu unggul dari NTB dalam jumlah atau populasi sapi potong. Tahun 2008 sampai 2019 kecuali tahun 2011 populasi sapi potong NTB lebih tinggi dari populasi sapi NTT sampai sekarang.

Kita sedikit unggul populasi beberapa jenis ternak di sektor peternakan (hanya kambing, kerbau, domba dan Ayam Buras). Populasi sapi potong NTB lebih tinggi dari NTT dan populasi ternak ayam ras petelur NTB lebih dari tiga kali populasi yang ada di NTT.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa daya juang orang kita cenderung lemah apalagi kalau kerja di kampung sendiri dibandingkan dengan pendatang. Ada banyak persoalan serius yang harus dihadapi dalam keluarga, adat, urusan-urusan sosial yang tidak bisa dihindari dengan konsekuensi biaya baik sosial maupun ekonomi yang tidak sedikit.  Urusan adat sangat mahal.

Yosualdus Jurdin (51), peternak sapi asal Lingko Lolok (Foto: Ardy Abba/ Vox NTT)

Salah satu tantangan berat bagaimana merubah cara berbisnis di kampung sendiri karena kita harus berurusan dengan banyak persoalan sosial. Pendatang memusatkan perhatian pada bisnis. Karena itu mereka kerja keras.

Ketika berlibur dan tinggal di Bajawa setelah pensiun selama setahun lebih antara  tahun 2017-2018 saya menyaksikan bagaimana etos kerja orang NTB (dan  pendatang lain) dalam pertanian dan bisnis. Hampir setiap pagi ketika terbangun pukul 4.30 saya mengintip lewat jendela bagaimana orang Bima dan pendatang lain sudah bergegas ke pasar atau tempat usaha mereka, bahkan ada yang berjejal naik mobil pickup terbuka, sementara mungkin sebagian besar orang kita masih tidur.  Hanya sedikit uge-uge kita yang bergerak lewat depan rumah saya pada jam segitu.

Kita bisa saksikan bahwa banyak kampung di Flores dan Sumba yang kekurangan orang muda karena merantau keluar daerah sementara orang luar merantau ke daerah kita dan berbisnis termasuk menyewa tanah dan menanam tanaman hortikultura.

Persoalan-persoalan etos kerja masyarakat lokal dan adat juga menjadi salah satu masalah yang saya sudah saksikan di Sumba dan Flores. Kita tidak bisa merubah adat tetapi bagaimana kekuatan adat diarahkan untuk memacu pembangunan pertanian. Juga persoalan pencurian ternak di Sumba dan bagaimana pencurian komoditi pertanian (seperti vanili di Flores) menjadi masalah serius.

Persoalan-persoalan etos kerja masyarakat lokal dan adat juga menjadi salah satu masalah yang saya sudah saksikan di Sumba dan Flores. Kita tidak bisa merubah adat tetapi bagaimana kekuatan adat diarahkan untuk memacu pembangunan pertanian. Juga persoalan pencurian ternak di Sumba dan bagaimana pencurian komoditi pertanian (seperti vanili di Flores) menjadi masalah serius.

Mudah-mudahan ini informasi dan analisis sederhana ini bisa menjadi motivasi untuk memacu pembangunan pertanian NTT untuk bisa ngebut lebih cepat. Apakah kita bisa berubah dalam 3 – 5 tahun ke depan, atau kita hanya bisa bangun fondasi, bangun SDM, revolusi mental , inovasi teknologi dan bisnis yang lebih jelas dan terarah, merubah tatanan kelembagaan yang kuat lalu hasilnya baru bisa dilihat setelah itu?

Dari Mana kita Mulai Lagi?

Persoalan pembangunan pertanian NTT tidak mudah diatasi.  Kita mempunyai terlalu banyak program dan kegiatan yang  harus dilakukan dengan anggaran sedikit yang harus dialokasikan untuk  banyak kegiatan. Mengapa tidak kita fokus pada komoditi-komoditi tertentu yang esensial yang mempunyai nilai  ekonom i tinggi. Apa yang akan terjadi jika anggaran terbatas harus digunakan untuk berbagai kegiatan.  Mengapa tidak kita alokasikan anggaran dalam disain bersama antara Pemerintah Desa, Kabupaten, Provinsi dan Pusat untuk komoditi yang sama?

Sebenarnya sudah ada banyak  inovasi dan intervensi di  bidang kebijakan, anggaran,  teknologi,  sarana dan prasarana atau komoditi pertanian  tetapi belum memberikan hasil kolektif  yang  berdampak  besar dan kuat. Kita juga tidak bisa fokus pada budidaya saja tetapi harus ditopang dengan  rencana bisnis dan tata niaga yang kuat yang didukung oleh perubahan yang besar di bidang pendidikan dan keterampilan teknis, kelembagaan dan tata kelola pertanian. Koordinasi dan sinkronisasi pusat, provinsi, kabupaten dan desa juga sangat krusial untuk menghasillkan dampak kolektif  yang besar.

*Penulis adalah Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Pertanian dan Peternakan