Oleh: Bernadinus Steni
Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HUMA-Jakarta
Secara alamiah, Flores adalah wilayah ekosistem semi-arid yang berlahan kering, sehingga alokasi tata ruang pun seharusnya disesuaikan. Pertanian adalah salah satunya (Mulyani et al, 2013). Topografi Flores yang berbukit-bukit dan tanahnya dangkal menyebabkan tangkapan air pada musim hujan tidak maksimal.
Akibatnya, daya tampung untuk air tanah secara alamiah relatif kecil. Pada musim kering yang berdurasi lebih panjang, kelembaban sisa pada musim hujan segera menguap dan tanahnya cepat kering.
Di samping itu, tekanan eksternal dari pemanasan global memperparah kondisi ini dimana siklus hidrologi makin cepat dan air permukaan segera menguap yang mengakibatkan lahan akan makin kering.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change 2018 memperkirakan dampak itu makin parah di pulau kecil dan sedang serta berlahan kering. Sayangnya, Flores memenuhi kriteria itu.
Studi dampak perubahan iklim memproyeksikan dampak-dampak serius pada pertanian. Kopi adalah salah satunya. Kajian terbaru mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap komoditas kopi telah dikeluarkan oleh beberapa peneliti terkemuka.
Salah satunya adalah Götz Schroth dkk pada pada 2015. Mereka menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi arabica di beberapa daerah: Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Flores (Ngada dan Manggarai).
Menurut para peneliti, bilamana semua wilayah produksi ini mengalami kenaikan temperatur mencapai 1.7 °C, maka akan terjadi perubahan curah hujan yang berbeda antara pulau-pulau besar bagian utara seperti Sumatera dan Sulawesi yang diperkirakan akan lebih basah antara 5-14 %, sementara di pulau-pulau yang lebih kecil sebelah selatan seperti: Jawa, Bali, Flores diproyeksikan lebih kering.
Para peneliti lebih lanjut memperkirakan pengaruh signifikan perubahan iklim adalah pada kesesuaian lahan tanam. Seperti yang diutarakan pada tabel, di Flores, total luas lahan produktif kopi arabica pada 2015 mencapai 16.518 hektar dan masih dapat dinaikkan hingga 24.128 hektar.
Akibat perubahan iklim maka pada 2050 luas itu berkurang menjadi 230 hektar lahan yang efektif dan hanya bisa ditambahkan seluas 85 hektar dari lahan yang saat ini belum ditanami arabica (lihat tabel). Situasi yang lebih beruntung dialami oleh Sulawesi Selatan dimana perubahan ilkim mengkondisikan iklim wilayah itu lebih cocok dengan budidaya kopi arabica.
Sementara untuk Flores, para peneliti menyimpulkan bahwa perubahan iklim akan menempatkan Pulau Flores dalam kategori pulau yang secara efektif tidak lagi cocok untuk kopi arabica. Banyak wilayah yang sebelumnya cocok dengan budidaya arabica, pada 2050 hampir semuanya lenyap (lihat peta).
Apa yang Seharusnya Dilakukan
Beberapa ahli dalam negeri telah mengidentifikasi tantangan iklim terhadap pengembangan kopi arabica. Rekomendasi antisipasinya pun sudah sering didiskusikan. Syakir dan Surmaini (2017), misalnya, menganjurkan persiapan dini berupa introduksi budidaya kopi yang memperbanyak tanaman pelindung dan memperkuat konservasi tanah.
Dua peneliti ini menegaskan bahwa berbagai teknologi budi daya kopi yang adaptif perubahan iklim sudah dikembangkan, namun tingkat adopsinya oleh petani sangat lambat. Oleh karena itu, upaya percepatan adopsi teknologi perlu segera dilakukan sebagai strategi adaptasi.
Penerapan teknologi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan sistem usaha tani kopi yang toleran perubahan iklim. Kedua peneliti menganjurkan agar para ahli dan pengambil kebijakan harus berpacu dengan waktu untuk mengakselerasi adopsi inovasi teknologi oleh petani karena dampak perubahan iklim telah dirasakan dan akan terus berlangsung. Jika adaptasinya terlambat maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar dan kerugiannya tidak akan tertutupi.
Di samping peluang adaptasi, perlindungan ekosistem yang menjadi rumah budi daya kopi haruslah sejalan. Makin banyaknya pembukaan hutan alam di Flores akan mengancam fungsi hutan sebagai salah satu penyerap utama air permukaan di wilayah itu. Ancaman ini menjadi beban ekstra bagi ekosistem lokal. Akumulasi semua persoalan ini tentunya sangat menyulitkan penggunaan teknologi adaptasi lokal sebagaimana dianjurkan para ahli.
Selain itu, bukaan hutan yang makin lebar tanpa disertai rehabilitasi yang serius mengintensifkan longsor di beberapa wilayah yang meninggalkan struktur tanah yang tidak stabil dan curam, sehingga mempersempit ruang untuk mencari model kombinasi antara pertanian dan hutan di masa depan.
Trajektori pembangunan saat ini juga menunjukan bahwa alih-alih melindungi hutan, Pemerintah Daerah berkecenderungan untuk memilih pembangunan ekstraktif seperti pertambangan. Ke depan pilihan seperti ini akan menambah beban ekologis terutama intrusi polutan yang akan mengganggu daya tahan ekosistem yang sudah terlanjur rentan.
Konsumsi air untuk pertambangan juga akan berkompetisi dengan budidaya pertanian dan juga kebutuhan warga sehari-hari. Karena itu, rencana pembangunan daerah harus berbenah jika ingin Pulau Flores tetap bertahan secara efektif menghadapi gempuran dampak perubahan iklim.