Oleh: Maria Olivia Inas, S.Pd
CORONAVIRUS Disease 2019 atau Covid-19 yang muncul pertama kali di Wuhan, China akhir tahun lalu telah menjadi pandemik dan dirasakan hingga di pelosok negeri ini. Kehadiran wabah global ini telah merepotkan setiap sektor kehidupan manusia.
Bidang pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat direpotkan oleh pandemi ini. Tidak ada pilihan untuk bertahan dengan kebiasaan lama. Kita dipaksa untuk memikirkan hal-hal baru yang sesuai untuk dijalankan.
Virus mematikan yang bisa menular dalam kerumunan ini, memaksa setiap satuan pendidikan untuk menghentikan proses pembelajaran konvensional. Sekolah-sekolah meminimalisir bahkan meniadakan tatap muka di ruang kelas demi menjaga jarak sosial (social distancing).
Kepala sekolah bersama guru-guru dipaksa untuk mencari solusi agar peserta didik tidak kehilangan kesempatan belajar. Pandemi Covid-19 tidak boleh memunculkan apa yang dahulu disebutkan Ernest Hemingway sebagai generasi yang hilang (lost generation).
Di wilayah perkotaan, sekolah-sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau dalam jaringan (daring). Konon belajar daring bukan hal baru karena sudah muncul di tanah air sejak 1980-an melalui program Indonesia Global Development Learning Network dan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT) yang menyasar lembaga perguruan tinggi.
Namun inovasi dunia pendidikan yang mendapatkan momentumnya saat pandemi ini, ternyata bukan hal yang mudah untuk diterapkan sebagai satu-satunya saluran pembelajaran. Apalagi bila selama masa sebelum pandemi, guru dan siswa tidak akrab dengan pembelajaran jenis ini. Atau terdapat disparitas akses terhadap listrik, sinyal, perangkat gawai, dan sebagainya.
Terlebih lagi untuk konteks kita di NTT yang tidak seberuntung sekolah-sekolah di daerah maju. Masih banyak tempat yang tak terjangkau sinyal internet, tidak semua desa terjangkau listrik, dan masih banyak peserta didik yang tak memiliki perangkat gawai.
Setelah sempat meliburkan siswa, mayoritas sekolah terpaksa menerapkan pembelajaran luar jaringan (luring). Pembelajaran luring dilakukan dengan cara, guru mengunjungi siswa dalam kelompok kecil sesuai zona tempat tinggalnya. Atau siswa tetap masuk sekolah tetapi secara bergantian (shift) dengan rombongan belajar (rombel) yang diperkecil. Pilihan kedua ini diambil pasca penerapan adaptasi kebiasaan baru (new normal).
Penerapan kelas luring ini memang cukup berisiko karena dikhawatirkan akan muncul klaster baru. Untuk itu, pembelajaran harus tetap mematuhi protokol kesehatan (prokes) untuk pencegahan penularan Covid-19. Salah satunya dengan cara memperkecil jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar demi mencegah kerumunan dan mengatur jarak sosial.
Sebagai guru yang turut dalam penerapan dua cara pembelajaran luring ini, saya merasakan betapa sulitnya memaksimalkan pemanfaatan kesempatan yang tersedia. Misalnya, tempat tinggal peserta didik yang berpencar dan berjauhan, menyulitkan guru-guru untuk menjangkaunya ketika melakukan kunjungan rumah.
Saat pembelajaran dilakukan kembali di sekolah pun, guru dihadapkan pada keterbatasan waktu karena rata-rata setiap rombel hanya berkesempatan dua kali tatap muka setiap pekan. Terbatasnya waktu dan daya jangkau yang rendah membuat pembelajaran luring belum cukup efektif.
Sambil terus berupaya maksimal di dalam kondisi yang minimal ini, kita tentu berharap agar laju penyebaran virus ini segera berakhir. Meski di beberapa daerah, termasuk NTT, kasus Covid-19 masih mengkhawatirkan, namun berbagai perjuangan di dunia kedokteran, termasuk kabar tentang penemuan vaksin oleh pasangan ilmuwan yang juga suami istri, Profesor Ugur Sahin – dr Özlem Türeci dari BioNTech, Jerman, setidaknya memberi harapan bahwa badai pandemi ini akan berlalu.
Baca Juga: Guru di Tengah Badai Pandemi
Sambil berharap akan kembalinya kondisi ideal itu, tentu kita sudah mendapat pelajaran berarti dan cukup diuji selama masa pandemi ini. Kesempatan tatap muka yang sangat terbatas selama ini mengajarkan kepada guru dan peserta didik untuk lebih menghargai waktu dan menggunakannya secara lebih efektif.
Selain itu, literasi digital yang terasa dipaksakan selama masa pandemi ini menjadi bekal berharga untuk selanjutnya guru dan peserta didik berkreasi dalam memadukan pembelajaran tatap muka sekaligus menggunakan platform digital melalui aplikasi pembelajaran dan media sosial. Dengan demikian, pembelajaran pasca pandemi Covid-19 pasti lebih menyenangkan dan diharapkan sektor pendidikan akan mengalami banyak perubahan dan kemajuan.
Penulis adalah guru SMPN 7 Ruteng, Kabupaten Manggarai