Oleh: Pius Rengka
Rizieq Shihab pulang kandang. Lalu kembali ke panggung membawa aneka masalah. Bahkan kepulangannya menyisakan misteri.
Tampaknya, aparat Negara tak sanggup membendung luapan massa yang menjemputnya hingga jalan tol menuju Bandara Soeta, untuk beberapa jam, macet total. Indonesia geger.
Imam akbar Front Pembela Islam (FPI) itu meninggalkan tanah air April 2017. Ia pergi ke Saudi Arabia, lantaran di tanah air dia diburu hukum menyusul kasus beraoma seks atas dirinya. Maka kepergiannya ke negeri jauh bukan sebuah jalan damai, atau ziarah kenabian, atau sebuah panggilan kerasulan awam atas dirinya, tetapi sejenis pelarian dari seorang oknum pelanggar hukum karena dia dikepung masalah.
Tetapi, dia menyatakan, rencana kepulangannya ke Indonesia itu mendapatkan banyak tantangan. Tantangan tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga tantangan mengalir dari kalangan politisi yang relatif tidak satu front dengan ragam narasinya tentang situasi di tanah air.
Dia menyebut Jokowi presiden lemah. Presiden bermasalah. Bahkan kaumnya juga menuding Jokowi dengan berbagai narasi berbau komunis. Jokowi diframing sedemikian rupa semacam satu front pembela China. Masih banyak tudingan lain yang sungguh bernada melecehkan Presiden Jokowi yang baik hati ini. Rakyat Indonesia, umumnya mengutuk Rizieq. Tetapi tak ada manfaat menggerutu Riziq, karena dia sesungguhnya hanya sejenis pion kecil yang gampang dijentik keluar dari arena permainan.
Dia mengibarkan bendera perang kepada siapa pun yang diduganya tak sealiran politik cultural dengannya. Dia merawat kebenciannya nyaris kepada semua orang beragama di tanah air, lantaran utopianya belum tampak dalam sejarah empirik Indonesia. Bahkan lebih jauh dari itu dia menilai Pancasila bukan dasar Negara yang layak dan pantas. Karena itu dasar Negara perlu diganti. Diganti dengan dasar yang lain, seperti Khilafah, misalnya.
Akibatnya, banyak hati anak negeri sakit. Sudah terluka pula. Banyak siar agama di negeri ini, sebelumnya damai nan teduh, kini terganggu sudah. Geliat kemarahan khalayak meluas, mungkin itu juga yang diharapkannya dan kaumnya atau komplotannya, tetapi aparat Negara sepertinya bergerak di tempat. Aparat tak bergerak bukan lantaran karena mereka lemah, tetapi karena mereka sedang menyaksikan drama kegelisahan total dari komplotan itu karena jantung pertahanan kian digerus terus-menerus oleh pemerintahan Jokowi.
Bahkan banyak rezim politik merasa ada sesuatu yang masih misterius dari perilaku sang maha agung dari FPI ini. Ada sesuatu yang patut diduga keras. Tetapi, saya kira tidak senaif yang dibayangkan, karena Rizieq hanyalah sebuah pantulan fenomen yang ada dari sebuah scenario.
Misteri pertama, tentu saja, terkait dengan seberapa besar pengaruh dan kapasitas politik Habib Rizieq. Meski dia sebelumnya muncul dari gubuk buruk di satu tempat di Jakarta itu, tak jauh dari Petamburan.
Siapa pula gerangan yang menjadikan (rekrut) mahluk ini kian membesar hingga seperti sekarang. Bahkan, dipertanyakan siapa pula yang menggalang kekuatan financial (funding) untuknya dan para cecunguknya. Bagaimana mobilisasi dana untuk menggalang gerakannya dan komplotannya. Memang ditemukan sejumlah gambar dengan senyum di kulum di rumah rejim lama yang terseok dalam politik, tetapi financial masih moncer.
Sejak kapan dan oleh siapa gerangan dia disebut Habib dan Imam Besar Umat Islam di tanah air, dan untuk kepentingan apa dan siapa?
Ragam tafsir pun mengalir bagai air bah. Tetapi, tafsir-tafsir itu, terkesan kandas membuih di tepi pantai kebaikan umat manusia di sini tanpa hasil pasti. Ada pula yang menafsir, Rizieq Shihab menjadi besar seperti sekarang karena dibekingi aparat Negara pada masa silam. Para pembeking itu frustrasi di dalam gelombang arus perubahan politik di tanah air.
Mereka terpinggirkan oleh pilihan-pilihan politik mereka sendiri. Kaum frustrasi terpinggirkan dari lingkaran arus utama politik Indonesia hari ini. Tetapi mereka masih sangat bernafsu untuk selalu kembali ke tengah. Sementara, diketahui, di ruang tengah kekuasaan sudah banyak dihuni kaum pengubah tanah air yang hendak memulihkan situasi dan kondisi yang telah rusak parah oleh rejim sebelumnya.
Jadi, riak yang terjadi merupakan atau semacam semburan ludah kerbau ganas nan liar yang telah terluka dan kian terjepit ke tepi semak berduri. Tetapi api hasrat mereka membara karena ingin selalu bertanduk membabi buta untuk sampai ke tengah ke pengatur laku kekuasaan negara.
Sikap membabi buta ini, perlu alat-alat (dalam konteks politik perlu partai politik). Mereka juga perlu makhluk lain untuk dijadikan actor. Aktor ini nantinya senantiasa bersenandung bernyanyi sepanjang waktu dengan lagu-lagu yang diaransir maestro di baliknya sesuai maunya maestro dan juga semaunya saja. Meski harus menggelontorkan cukup banyak anggaran.
Lainnya juga menduga, riak dan brisik Rizieq ada hubungan dengan macetnya demokrasi selama hampir 32 tahun semasa Soeharto. Ruang kebebasan selama hampir setengah abad di negeri ini, ditutup rapat atas nama stabilitas pembangunan. Tetapi risiko yang diambil untuk kepentingan itu ialah menutup semua kemungkinan saluran ekspresi yang ditimbulkan oleh kandungan cultural dan demokrasi di tanah air, semisal unsur-unsur SARA di negeri ini tak bergaul secara fair dan biasa-biasa saja.
Usai kepergian Soeharto, tentu saja karena didesak paksa kaum reformis dan mahasiswa, begitu tafsir sejumlah orang, luapan ekspresi demokrasi lalu kian liar dan bahkan tak dapat dibendung aturan main. Fenomena Rizieq lalu ditafsir sebagai bagian dari transisi demokrasi menuju kematangan (maturation) dan bermakna (meaningfull).
Namun, tafsir ini berlanjut, bahwa lingkaran istana lama, mulai gerah, ketika rezim Jokowi memporakporandakan semua sumber madu bagi kelompok lama yang tergusur reformasi. Kaum ini menyatu dalam satu barisan komando, lalu membentuk lingkaran setan yang terdiri dari para setan pembenci kebaikan, kebenaran dan ketulusan. Lingkaran para setan ini, selalu mencari jalan keluar meski dengan cara keluar jalan.
Mereka sudah lama dalam kepungan selimut kemakmuran, dengan memanipulasi dan bahkan mungkin merampok dan memeras rakyat, meski mungkin kemakmuran diperolehnya dengan cara-cara antilegal, sebagimana laku keserakahan rejim lama.
Maka, komplotan ini, mungkin tadinya berserak tak searah jalan, tetapi mereka terkonsolidasi dalam satu kepentingan, yaitu kepentingan melindungi diri sendiri sambil membentuk kelompok barisan sakit hati.
Mereka gerah, terutama ketika Jokowi mulai menertibkan semua jenis sumber dana yang mereka punya yang selalu mengalir bak air bah, tanpa diganggu. Kelompok ini yang mentautkan barisan, merapatkan hasrat, dan mencari figure yang dapat dipakai sebagai cecungguk untuk berteriak sesuka hati, sambil ingin membelokkan kapal haluan Negara.
Tafsir ini, kian mendapat konteksnya ketika didengar kuat sekali sikap Jokowi untuk mengambil duit yang disimpan di Bak Swiss senilai Rp. 11 ribu triliun. Uang sejumlah itu adalah uang yang disembunyikan selama ini oleh kelompok lama yang juga dihujani rejeki rezim pada masa Orde otoritarian. Maka para pemilik uang tidak mau tampil di depan publik, entah karena risih atau tak mau segera tampak, tetapi khalayak ramai sudah tahu siapa saja gerangan mereka itu.
Karena itulah, brisik Rizieq bukan tanpa sebab, dan bukan tanpa pembiaya atau penjamin nasib. Satu-satunya tugas Rizieq adalah berbuat brisik, untuk menimbulkan kegaduhan.
Memang cilaka, karena dunia internasional justru melihat game ini hanya mengganggu kunjungan wisatawan. Pada konteks Covid-19, kebrisikan selama ini, akhirnya perlu ditindak Negara agar kaum ini tidak mensosialisasikan sebuah kebudayaan kematian di tengah humanism budaya kehidupan. Salam.