Oleh: Yohanes Jimmy Nami
Dosen Ilmu Politik Fisip Undana
Pelaksanaan pemungutan suara pada pilkada serentak 9 Desember 2020 tinggal menghitung jam. Institusi penyelenggara pemilu pada berbagai level sudah dan sedang bekerja keras menjalankan tupoksinya agar perhelatan demokrasi pada tingkat lokal tersebut dapat terselenggara dengan baik, aman dan damai.
Idealnya agenda politik lokal ini menjadi agenda bersama seluruh elemen masyarakat yang terlibat didalamnya, bahwa menegakan azas pemilu dan memastikan demokratisasi masyarakat pada level daerah dapat berjalan secara berkualitas merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat. Nah, salah satu hal yang kemudian dapat men-down grade kualitas proses demokratisasi adalah politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi pada berbagai level.
Survey yang pernah dilakukan oleh LIPI, 40% masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019. Informasi ini tentunya sangat meresahkan, menganggu cita-cita demokrasi di tengah perjuangan seluruh elemen masyarakat dalam menghadirkan pesta demokrasi yang bermartabat pada level lokal. Politik uang merupakan embrio dari prilaku koruptif dalam politik dan mempunyai efek domino pada aspek kehidupan masyarakat yang lainnya.
Fatalnya ada sebagian masyarakat yang menganggap jika politik uang itu merupakan hal yang wajar dalam politik. Pemahaman ini jika terus dibiarkan akan mempengaruhi iklim demokrasi pada level lokal, masyarakat perlu untuk diberikan pemahaman bahaya dari politik uang dalam pilkada akan berefek jangka panjang.
Berantas Korupsi
Melawan politik uang sama dengan melawan prilaku koruptif. Pilkada tentunya merupakan salah satu instrumen dalam melakukan regenerasi kepemimpinan. Melalui pilkada kita memilih siapa yang layak menjadi pemimpin kita di masa yang akan datang. Ruang ini kemudian menjadi sangat strategis untuk melakukan evaluasi serta proyeksi terhadap proses kepemimpinan dan pemenuhan kebutuhan publik. Ini tentunya menjadi semangat dari semua komponen bangsa ini tanpa terkecuali.
Masyarakat tentunya tidak menghendaki pemanfaatan potensi yang ada dalam daerah disalahgunakan hanya karena ada proses pada hulu regenerasi kepemimpinan yang telah dicederai dengan politik uang. Kekayaan alam dan sumber daya lainnya yang menjadi potensi daerah harusnya menjadi hak semua masyarakat. Jangan kemudian hanya dimanfaatkan secara ilegal oleh individu atau kelompok tertentu bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompoknya.
Dampak yang paling nyata dari ulah oknum yang melakukan korupsi di daerah adalah rendahnya kemandirian ekonomi daerah, degradasi budaya dan supremasi masyarakat di daerah yang juga menurun. Realitas sosial yang terjadi selama ini menunjukan perlawanan terhadap terhadap prilaku koruptif cenderung hanya menjadi diskursus publik, masih parsial, menanggapi kasus per kasus saja, agendanya belum secara komprehensif menyentuh pokok persoalan sehingga belum mampu memadamkan niat oknum untuk tidak korupsi.
Teladan Kepemimpinan
Kepemimpinan yang menjadi teladan. Ini yang harus menjadi platform dalam menjalankan proses relasi antara pemimpin dan masyarakat, mungkin saja proses regenerasi kepemimpinan berjalan dengan baik akan tetapi tidak begitu form menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan masyarakat. Demokrasi terus berkembang maju. Namun, perkembangan pembangunan politik masih dirasakan fals ketika di saat yang bersamaan, masyarakat masih dengan muda terbuai dengan politik uang saat pelaksanaan pilkada. Jadi jangan heran ketika korupsi secara nyata membebani masyarakat di daerah yang masih didominasi masyarakat miskin, ketika proses hulunya bermasalah.
Berikut beberapa konsep yang dapat dijadikan rujukan sebagai gerakan sosial dalam menata kebiasaan dan gagasan kolektif menghadapi bahaya korupsi bagi kepemimpinan lokal pasca pilkada; Pertama, lawan politik uang pada setiap perhelatan pilkada dalam bentuk apapun. Dalam pilkada pola interaksi yang dibangun antara pemimpin dan masyarakat harus bebas dari indikasi KKN. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada kehidupan masyarakat dalam jangka panjang, fungsi kontrol terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat di level lokal harus dapat mengafirmasi keadilan sosial. Tekad antara pemerintah dan masyarakat terhadap korupsi menjadi perlawanan kolektif.
Kedua, memahami fungsi pilkada sebagai ruang regenerasi kepemimpinan, kultur yang dibangun adalah pembangunan politik yang akomodatif terhadap persoalan yang muncul dalam masyarakat secara holistik. Situasi ini kemudian harus dikelola sebagai energi bagi penguatan demokrasi, kemaslahatan masyarakat secara umum.
Ketiga, demokrasi yang beradab merupakan hasil dari proses yang berkualitas. Jangan sampai pilkada hanya disederhanakan sebagai pergantian kepala daerah semata, namun jauh daripada itu, pilkada dipandang sebagai proses pembangunan peradaban manusia, harus dijalankan dengan mekanisme yang bermartabat.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat strategis dalam mendistribusikan nilai-nilai demokrasi itu sendiri sampai pada unit yang paling kecil dalam masyarakat. Kepemimpinan dalam level lokal harus bisa menjadi panglima dalam mengawasi atau menekan prilaku koruptif yang tentunya ditunjukan dalam bentuk kepemimpinan yang menjadi teladan, bekerjasama dengan masyarakat dalam fungsi partisipatif.
Masyarakat harus berperan aktif melalui penguatan supremasi sipil, sehingga masyarakat tidak menjadi penonton atau bahkan terseret dalam prilaku koruptif. Pemimpin harus menjadi teladan melalui unsur-unsur yang terkait didalamnya dalam mengambil langkah konkret menyatukan semua komponen masyarakat untuk melawan prilaku dari individu maupun kelompok yang masih hendak melanggengkan aktifitas korupsi. Mari Menjalankan Pilkada 9 Desember 2020 secara demokratis.