Oleh: Agustinus Rahmanto, M.Ed
Pemerintah telah secara resmi menghentikan Ujian Nasional yang telah dijalankan bertahun-tahun di seluruh sekolah di Indonesia. Mulai 2021, asesmen siswa secara nasional akan dilakukan melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengevaluasi kompetensi literasi dan numerasi siswa.
Di sejumlah negara seperti Australia, ujian yang berbasis literasi dan numerasi sudah lama diberlakukan meskipun pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut masih saja bergulir.
Karena terstandarisasi, jenis assessment seperti ini biasa disebut ujian terstandarisasi atau standardized testing.
Dalam implementasinya, terdapat dua jenis standardized test yaitu high-stakes dan non high-stakes standardized testing.
Ujian terstandarisasi tersebut bisa berskala nasional (nation-wide standardized tests) seperti Ujian Nasional (UN) di Indonesia dan internasional seperti Program for International Student Assessment (PISA).
High-stakes standardized testing adalah jenis assessment atau ujian yang bertujuan untuk membuat keputusan terkait siswa, guru dan sekolah atau distrik dan menentukan konsekwensi berupa hukuman, penghargaan atau kompensasi berdasarkan hasil ujian tersebut (The Glossary of Education Reform, 2014).
Di sejumlah negara dan di beberapa negara bagian di Amerika, konsewensi bisa bersifat punitive atau menghukum karena hasil ujian tersebut dapat menentukan kelulusan siswa, karir guru dan kepala sekolah, keberlangsungan sekolah dan alokasi dana yang diterima sekolah dari pemerintah.
Di Indonesia, Ujian Nasional juga masuk dalam kategori high-stakes standardized testing karena hasil ujian tersebut menjadi salah satu komponen penentu kelulusan siswa.
Sedangkan non high-stakes standardized testing tidak berimplikasi hukuman bagi siswa, guru dan sekolah karena data hasil ujian hanya digunakan untuk melakukan pemetaan kualitas pendidikan dalam rangka melakukan intervensi dan menyusun kebijakan pendidikan.
Salah satu contohnya adalah National Assessment Program-Literacy and Numeracy (NAPLAN) di Australia yang diberlakukan untuk siswa kelas 3, 5, 7 dan 9.
Ujian ini bersifat opsional karena siswa boleh memilih untuk tidak mengikuti test tersebut dan tidak berimplikasi negatif terhadap siswa.
Di Indonesia, AKM masuk kategori non-high stakes standardized testing karena hasil AKM tidak berdampak punitive atau menghukum baik bagi siswa, guru maupun institusi sekolah.
Data hasil AKM digunakan pemerintah untuk membuat pemetaan kualitas literasi dan numerasi siswa dalam rangka menyusun kebijakan perbaikan kualitas pembelajaran di sekolah.
Tulisan ini akan berfokus pada high-stakes standardized testing dan implikasinya pada kurikulum, suasana psikologis guru dan siswa serta dampak social yang ditimbulkan.
Penyempitan Cakupan Konten Kurikulum
Kurikulum menjadi salah satu aspek yang terkena dampak negatif high-stakes standardized testing.
Tuntutan standardized test mengharuskan sekolah mengalokasikan lebih banyak waktu untuk matapelajaran-matapelajaran yang berhubungan dengan materi ujian terstandarisasi.
Hal ini berdampak pada penyempitan konten kurikulum dan terabaikannya sejumlah matapelajaran yang tidak masuk dalam materi standardized testing seperti Kesenian, Kewarganegaraan, Olahraga dan Sejarah.
Implikasi lanjutannya adalah kesempatan untuk mengasah kreativitas dan implementasi pembelajaran individual (individualized/differentiated learning) potensial hilang dari praktik-praktik pembelajaran di kelas (Thompson & Harbaugh, 2013).
Guru dan siswa menghabiskan lebih banyak waktu untuk malakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat artifisial seperti melatih dan mempraktekan strategi mengerjakan soal (test taking strategies) dan meningkatkan kemampuan menghafal dan mengingat.
Hal ini menyebabkan terabaikannya cooperative learning dan penerapan pembelajaran yang berorientasi high order thinking skills dari proses belajar mengajar di kelas.
Di samping itu, penyempitan kurikulum juga berdampak pada fragmentasi pengetahuan.
Konten pengetahuan dan pelajaran tidak lagi diajarkan secara terintegrasi dengan matapelajaran lain tapi diisolasi dan dipisahkan satu sama lain untuk mengantisipasi soal-soal yang muncul dalam ujian terstandarisasi tersebut.
Akibatnya adalah proses pembelajaran menjadi terpusat pada guru (teacher-centred learning) karena dialog yang interaktif, diskusi dan pembelajaran kooperatif tidak terfasilitasi.
Dampak lain dari pengkerdilan kurikulum adalah banyak waktu yang seharusnya dialokasikan untuk praktek pembelajaran reguler dikorbankan dan didedikasikan untuk mempersiapkan siswa agar sukses dalam ujian terstandarisasi (teaching for the test).
Meningkatnya Stres dan Kecemasan Guru dan Siswa
Selain penyempitan cakupan konten kurikulum, high-stakes standardized testing juga dapat menimbulkan kecemasan dan tekanan psikologis bagi guru dan siswa di sekolah.
Implementasi jenis test tersebut membebani guru karena mereka mendapat tugas tambahan untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian terstandarisasi tersebut.
Selain itu, sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap berhasil tidaknya siswa dalam ujian terstandarisasi, gurulah pihak pertama yang akan disalahkan jika siswa gagal atau mendapatkan nilai yang tidak memuaskan dalam ujian.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Abrams, Pedulla & Madus (2003) di Amerika menemukan 80% guru yang mengajar matapelajaran yang berhubungan dengan materi standardized test mengalami tingkat stress yang tinggi karena tuntutan sekolah dan distrik untuk meningkatkan nilai ujian siswa.
Di samping itu, guru merasa tertekan karena harus mengubah gaya dan strategi mengajar yang sudah dirasa nyaman dan terbukti efektif meningkatkan kualitas pembelajaran karena harus menyesuaikan dengan tuntutan standardized test.
Hukuman yang dialami oleh guru sebagai konsekwensi rendahnya nilai ujian siswa menambah beban dan tekanan psikologis bagi guru.
Di Amerika, sejumlah distrik menggunakan hasil ujian terstandarisasi untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja guru dan bahkan memberhentikan guru (Russel, 2005).
Selain guru, siswa juga mengalami stress dan tekanan psikologis akhibat ujian terstandarisasi. Pertama, mengkategorikan siswa berdasarkan hasil ujian dapat menimbulkan stigma negative bagi siswa. Hal ini terutama dialami oleh siswa yang mendapatkan nilai ujian yang rendah atau tidak memuaskan.
Seperti yang dijelaskan Butler (2003), siswa cenderung membuat perbandingan hasil test dengan sesama temannya dan hal ini tidak menguntungkan bagi siswa dari kelompok minoritas atau kelas ekonomi rendah yang cenderung mendapat nilai lebih rendah dari teman-teman mereka yang berasal dari kelompok yang mapan secara ekonomi.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya stress dan beban psikologis bagi siswa yang dapat melemahkan motivasi belajar dan berimbas pada meningkatnya jumlah siswa drop out di sekolah.
Kedua, stress dan tekanan yang dialami siswa juga berasal dari orang tua yang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anaknya dan juga sistem pendidikan yang membuat standar yang tinggi bagi kelulusan siswa (Fulton, 2016).
Siswa merasa cemas bahwa hasil ujian yang rendah akan berdampak negative bagi masa depan mereka.
Selain itu, siswa merasa bahwa ujian terstandarisasi tidak fair karena mereka beranggapan pihak yang menyusun soal dan mengevaluasi mereka melalui ujian yang terstandarisasi tidak peduli dengan kebahagiaan hidup mereka (Kearns, 2011).
Dampak lain bagi siswa adalah ujian terstandarisasi dapat memperkuat marginalisasi siswa dari latar belakang ekonomi dan social yang tidak menguntungkan.
Siswa yang hidup dalam kondisi kemiskinan cenderung mendapat nilai ujian yang lebih rendah dibandingkan dengan sebaya mereka dari keluarga yang mapan secara ekonomi.
Hal ini berdampak pada menguatnya marjinalisasi karena mereka dipersepsikan sebagai generasi muda yang tidak punya masa depan yang baik.
Kesenjangan yang Melebar Antar-siswa
Selain berdampak negatif terhadap kurikulum dan suasana psikologis guru dan siswa, ujian terstandarisasi juga dapat memperlebar kesenjangan antar siswa.
Hal ini terjadi karena guru cenderung menggunakan metode pengajaran yang seragam atau pendekatan “one size fits all” untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian terstandarisasi.
Pendekatan “one size fits all” tidak dapat memenuhi kebutuhan siswa yang sangat beragam karena berasal dari latar belakang ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda serta minat dan kebutuhan yang berbeda.
Di Australia, misalnya, pendekatan tersebut tidak menguntungkan bagi siswa dari kelompok minoritas seperti Aborigine, siswa berkebutuhan khusus, siswa imigran dari negara yang bukan penutur Bahasa Inggris serta siswa yang berasal dari keluarga kelas ekonomi bawah karena kelompok siswa tersebut cenderung memperolah nilai ujian yang lebih rendah dari kebanyakan siswa-siswa lainnya (Lange & Meaney, 2011).
Seperti yang dikemukakan Ozturgut (2011), dalam prakteknya ujian terstandarisasi sering kali tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi obyektif siswa yang berasal dari latar belakang yang beragam secara ekonomi, sosial, budaya, kondisi siswa berkebutuhan khusus, ketimpangan infrastruktur, fasilitas pendidikan serta kualitas guru.
Kondisi ini diperburuk dengan fakta bahwa kehadiran ujian terstandarisasi berimplikasi pada kebutuhan untuk menyediakan program bantuan atau pengayaan akademik bagi siswa seperti bimbingan belajar dan kursus yang hanya dapat diakses oleh siswa dari keluarga menengah ke atas.
Layanan pendidikan akhirnya cenderung menjadi elitis karena hanya melayani siswa-siswa kaya dan mengabaikan siswa-siswa miskin.
Alasan lain mengapa ujian terstandarisasi dapat memperlebar kesenjangan antar siswa adalah bahwa ujian tersebut biasanya tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan sering kali bias secara budaya.
Studi yang dilakukan Roberts (2007) menemukan bahwa soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam ujian terstandarisasi sering kali tidak otentik dan bermakna karena tidak berhubungan dengan kehidupan nyata siswa dan karenanya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak merefleksikan keanekaragaman budaya dan geografis serta kondisi actual kehidupan siswa dan lingkungan sekitarnya.
Chomsky and Robichaud (2014) menunjukkan bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang bias secara budaya (culturally biased questions) dalam ujian terstandarisasi berdampak pada siswa. Pada suatu ujian Science, siswa diminta untuk memilih dari beberapa opsi yaitu celedri, jeruk, labu dan apel yang bukan buah-buahan dengan mengidentifikasi pilihan-pilihan yang tidak mengandung benih atau biji.
Siswa yang sudah mengenal dan terbiasa dengan opsi-opsi tersebut dengan mudah memilih celedri. Namun bagi siswa yang tidak familiar dengan celedri karena orang tua mereka tidak pernah membeli jenis sayuran tersebut kesulitan menjawab pertanyaan dengan benar.
Hal ini dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan yang cenderung lebih mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan kelompok mayoritas dan tidak peka terhadap aspirasi kaum minoritas.
Asesmen sebagai Instrumen Perbaikan Proses Pembelajaran
Menjadi jelas bahwa high-stakes standardized testing berpotensi mengkerdilkan kurikulum, menimbulkan tekanan dan kecemasan bagi guru dan siswa serta berdampak pada marginalisasi dan melebarnya ketimpangan atau gap antar siswa dari latar belakang yang berbeda.
Namun demikian, untuk pemetaan kualitas pendidikan terutama kompetensi-kompetensi esensial yang dibutuhkan siswa dalam kehidupan sehari-hari serta kebutuhan data dan informasi dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan, ujian terstandarisasi masih tetap dibutuhkan.
Akan tetapi ujian terstandarisasi yang bersifat punitive baik bagi siswa, guru maupun sekolah seperti Ujian Nasional (UN) sudah tepat ditinggalkan.
Sudah saatnya guru-guru diberikan kemerdekaan dan kepercayaan penuh untuk melakukan evaluasi atau assessment terhadap siswanya karena merekalah yang paling memahami kondisi dan perkembangan siswa hari demi hari.
Tentu hal ini hanya dapat dilakukan jika para guru memiliki kompetensi yang baik terutama dalam melakukan evaluasi secara obyektif dan independen dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip asesmen yang benar yaitu keandalan, validitas, otentisitas, inklusivitas, transparansi dan fairness.
Karena itu, sebagai komponen penting dalam pembelajaran, guru-guru harus secara terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merancang perangkat penilaian atau evaluasi siswa yang berkualitas.
Selain itu perspektif yang cenderung memandang asesmen atau ujian sebagai alat untuk mengevaluasi capaian siswa secara punitive mesti diubah menjadi ujian sebagai instrumen untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa agar dapat diberikan treatment atau bantuan yang diperlukan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan performa belajar siswa.
Kebijakan Kemendikbud yang mengganti format Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum yang berbasis literasi dan numerasi tentu harus mengantisipasi pelbagai dampak negatif yang mungkin saja terjadi.
Kita berharap penilaian kompetensi tersebut tidak berimplikasi negatif atau bersifat menghukum (punitive) bagi siswa, guru dan sekolah namun tetap konsisten pada tujuan utamanya yaitu untuk mengukur kompetensi literasi dan numerasi (aspek kognitif) siswa serta sebagai basis data dan informasi dalam rangka memetakan kualitas pembelajaran di sekolah dan menyusun program dan kebijakan demi perbaikan proses belajar mengajar di sekolah.
Di samping itu, pemerintah dan stakeholders lain yang terlibat dalam pengambilan kebijakan pendidikan harus membuat terobosan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendidikan secara merata ke sekolah-sekolah, penyelenggaraan pengembangan profesionalisme guru yang berbasis zonasi atau sekolah, peningkatan manajemen, kepemimpinan dan tata kelola pendidikan bagi kepala sekolah dan administrator, mendorong sekolah untuk menumbuhkan suasana akademik dan ekosistem pembelajaran di sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru honorer dan membangun relasi yang kolaboratif antara sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar.
Selain itu tugas-tugas adiministratif guru dan kepala sekolah dibuat lebih sederhana dan mereka dibebaskan dari urusan-urusan yang tidak relevan dengan pembelajaran seperti kegiatan swakelola pekerjaan proyek fisik di sekolah.
Dengan demikian, semua stakeholders pendidikan akan berkonsentrasi meningkatkan kualitas pembelajaran yang akan berdampak pada perbaikan outcomes (performa) belajar peserta didik.
Jika semua kondisi obyektif tersebut dibenahi dan ketimpangan antar sekolah semakin kecil, ujian terstandarisasi tidak lagi diperlukan. Karena, seperti yang diingatkan esais kawakan Goenawan Muhammad, sekolah dan instrumen pendukungnya termasuk asesmen bukan penentu gagal tidaknya seorang anak; ia tidak berhak menjadi perumus masa depan.
Penulis adalah ASN Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai Timur, Alumnus Beasiswa Australia Jurusan Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan di Flinders University, Australia