Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
“Bukan dunia yang menentukan takdirmu, tetapi pilihan dan keputusan Anda yang menentukan nasib Anda sendiri, karena takdirmu ditulis oleh tanganmu sendiri”…Anonim
“Non Scholae, sed vitae discimus”…Seneca
Ungkapan Seneca yang adalah seorang filsuf dan pujangga Romawi, memiliki arti “belajar bukan untuk sekolah , melainkan untuk hidup”.
Inilah makna sesungguhnya dari pendidikkan, yang secara etimologi berasal dari bahasa latin “educare”, yakni dari kata ducare, berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan “e”, berarti “keluar”.
Jadi, pendidikkan berarti kegiatan “menuntun keluar”, dari kegelapan menuju terang, dari awidya menuju widya, dari tidak/kurang berpengetahuan menuju berpengetahuan, dari kebodohan menuju kepandaian atau kepintaran.
Dengan demikian, ketika seseorang pandai atau pintar, maka ia bisa hidup. Mengapa? Sebab dengan belajar, seseorang menjadi pandai atau pintar, dan dengan kepandaian atau kepintarannya, maka ia bisa hidup (vitae).
Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikkan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifest) berikut: (1) mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah (vitae); (2) mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat; (3) melestarikan kebudayaan; (4) menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Oleh karena itu, dengan memaknai pendidikkan yang demikian, maka bagi semua satuan pendidikan, mau tidak mau harus berubah mindset dalam proses pendidikkan yang dilaksanakan selama ini, yang lebih mengedepan pada pertama-tama untuk mengejar angka atau nilai dalam rapor atau ijazah saat UN (olah pikir), melainkan harus mengedepankan karakter (olah hati, olah rasa dan olah raga), tentunya karakter yang baik, positif.
Sebab, menurut hemat penulis kunci kesuksesan dalam hidup, bukan terletak pada angka atau nilai yang tertulis pada rapor atau ijazah, melainkan pada karakter yang baik, positif.
Maxwell seorang ahli berpendapat, bahwa karakter jauh lebih baik dari sekedar perkataan. Lebih dari itu, karakter merupakan sebuah pilihan yang menentukan tingkat kesuksesan, Hal ini diperkuat oleh unsur-unsur karakter itu, yakni: (a) sikap (attitude); (b) emosi (emotion); (c) kepercayaan (trust); (d) kebiasaan dan kemauan (habits and wills); (e) konsep diri (self-conception). Jadi, seseorang akan meraih kesuksesan, jika ia membangun atau memiliki karakter yang baik, positif.
Pada abad ke-19, seorang sejarahwan Irlandia , William Edward Lecky mengatakan: “one of the most important lessons that experience teaches is that, on the whole, success depends more upon character that upon either intellect of fortune”, yang artinya “salah satu pelajaran berharga mengajarkan kita bahwa secara keseluruhan kesuksesan tergantung pada karakter, daripada kecerdasan maupun keberuntungan.”
Namun, untuk meraih kesuksesan tidaklah mudah, sebab dibutuhkan semangat, kerja keras, dan dalam konteks peserta didik berarti belajar yang tekun, rajin, dan tentu saja fondasi karakter dalam diri diuji. Karena, kerap kali banyak orang yang tidak tahan uji, dan enggan mengalami proses yang harus dilalui untuk meraih kesuksesan yang diimpikan.
Terkadang juga kita terinspirasi orang-orang yang sukses dan terkagum akan keberhasilan mereka. Namun, di balik keberhasilan mereka sesungguhnya mereka telah mengalami jatuh bangun dan rasa sakit sebagai suatu harga yang harus dibayar atas kesuksesan yang mereka raih (No Pain, No Gain atau Per Aspera Ad Astra).
Oleh karena itu, benarlah ungkapan Thomas Alva Edison bahwa: “ kesuksesan itu 1% adalah hasil inspirasi dan 99% adalah hasil kerja keras, keringat (perspiration).
Jadi, dengan demikian ada hubungan yang linear antara kesuksesan dan karakter. Mungkin karena itulah, maka di masa kepemimpinan Nadiem Makarim, sebagai Mendikbud, UN yang sebelumnya lebih diperuntukkan bagi seluruh peserta didik yang berada di tingkat akhir seperti kelas 6, 9 dan 12, kini tidak lagi.
Mendikbud Nadiem tidak ingin pendidikkan di Indonesia hanya mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, yang membuat UN selalu menjadi momok bagi peserta didik, para pendidik dan orang tua.
Mendikbud ingin fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, pengajaran, juga layanan dan lingkungan pendididikkan.
Maka kebijakan yang diambil adalah mengubah UN (Ujian Nasional), menjadi AN (Assessment Nasional). Ada 3 aspek yang diuji dalam AN, yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, Survei Lingkungan Belajar. Pada AKM, yang akan diukur adalah capaian peserta didik melalui pembelajarannya diranah kognitif, yakni literasi dan numerasi.
Menurut National Institut for Literacy, yang dimaksud literasi adalah kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, bahkan menghitung dan memecahkan masalah.
Sedangkan numerasi adalah sebuah kecakapan dan pengetahuan seseorang dalam menggunakan berbagai macam angka serta simbol yang terkait dengan matematika dasar.
Lalu, survei karakter dirancang untuk mengukur capaian peserta didik berdasarkan hasil belajar sosial emosional, yang berupa pilar karakter untuk mencetak profil pelajar pancasila.
Atau mengukur sikap, kebiasaan, nilai -nilai (values) sebagai hasil belajar nonkognitif. Ada 6 indikator, yakni: (1) bertaqwa kepada TYME dan berakhlak mulia; (2) berkebhinekaan global; (3) mandiri; (4) bergotong royong; (5) bernalar kritis; (6) kreatif.
Dan komponen yang ketiga adalah survei lingkungan belajar, yakni untuk mengevaluasi dan memetakan aspek-aspek pendukung kualitas pembelajaran dilingkungan sekolah. Atau mengukur kualitas pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran.
Dan yang perlu diketahui pula bahwa dalam pelaksanaan AKM, responden atau pesertanya adalah kelas ditengah yakni kelas 5, 8 dan 11. Namun, tidak semua peserta didik, kelas 5, 8 dan 11, melainkan dipilih secara acak dengan jumlah maksimal 30 orang peserta didik SD/MI, 45 orang peserta didik SMP/MTs, serta 45 orang peserta didik SMA/SMK/MA.
Pertanyaanya adalah mengapa kelas di tengah? Ada dua alasan: pertama agar peserta didik dapat merasakan perbaikan pembelajaran, sebab mereka masih berada di sekolah tersebut.
Kedua untuk memotret dampak dari proses pembelajaran di setiap satuan pendidikkan atau sekolah.
Selain peserta didik, juga para guru dan kepala satuan pendidikan akan melakukan assesment yang berkaitan dengan Survei Lingkungan Belajar.
Pelaksanaan AN, menurut rencana akan dilaksanakan pada bulan Maret. Namun karena pandemi Covid-19 yang semakin meningkat, maka AN diundur ke bulan September atau Oktober.
Perlu diketahui, bahwa AN, bukan untuk menentukan peserta didik LULUS atau TIDAK, melainkan hanya untuk memetakan mutu pendidikan disatuan pendidikkan.
Oleh karena itu, ada 3 tujuan utama dari AN, yaitu: (1) mendorong guru mengembangkan kompetensi kognitif yang mendasar sekaligus karakter peserta didik secara utuh.; (2) menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama sekolah, yakni pengembangan kompetensidan karakter peserta dididik; (3) memberi gambaran tentang karakteristik esensial sekolah yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut (dikutip dari akun twiter balitbang kemendikbud @libangdikbud, Jumat (12 Februari 2021).
Dieja lebih jauh, jika AN (Assesment Nasional) respondennya adalah kelas di tengah tiap jenjang, maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan kelas terakhir, misal kelas 6, 9 dan 12? Ternyata untuk kelas terakhir, kelas 6, 9 dan 12, akan melaksanakan US (Ujian Sekolah).
Namun, baru-baru ini Mendikbud mengeluarkan SE (Surat Edaran) No. 1 tahun 2021, tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan Serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid – 19), yang intinya, sbb:
1. Ujian Nasional (UN) dan ujian kesetaraan tahun 2021 ditiadakan.
2. Dengan ditiadakan UN, dan ujian kesetaraan tahun 2021 sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka UN dan ujian kesetaraan tidak menjadi syarat atau seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
3. Peserta didik dinyatakan LULUS dari satuan /program pendididikkan sekolah:
a. Menyelesaikan program pembelajaran dimasa pandemi covid 19 yang dibuktikan dengan rapor tiap semester.
b. Memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik; dan
c. Mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikkan
4. Ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan, sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c, dilaksanakan dalam bentuk:
a. Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dsnya).
b. Penugasan;
c. Tes secaea daring atau luring; dan / atau
d. Bentuk kegiatan penilaian yang ditetapkan oleh satuan pendidikkan.
5. Selain ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikkan sebagaimana dimaksud pada angka 4, peserta didik SMK juga dapat mengikuti uj kompetensi keahlian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
6. Penyetaraan bagi kelulusan program paket A, B, dan C, dilakukan sesuai ketentuan sbb:
a. Kelulusan bagi peserta didik pendididikkan kesetaraan sesuai dengan ketentuan pada angka 3;
b. Ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c, bagi peserta didik pendidikkan kesetaraan berupa ujian tingkat satuan pendidikan kesetaraan diakui sebagai penyetaraan kelulusan.
c. Ujian tingkat satuan pendidikkan kesetaraan dilakukan dalam bentuk ujian sebagaimana dimaksud pada angka 4;
d. Peserta ujian tingkat satuan pada pendidikkan kesetaraan adalah peserta didik yang terdaftar didaftar nominasi peserta ujian pendidikkan kesetaraan pada data pokok pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikkan menengah; dan
e. Hasil ujian tingkat satuan pendidikkan kesetaraan harus dimasukkan dalam data pokok pendidikkan.
Sesungguhnya sudah sejak tahun ajaran 2019/2020, UN ditiadakan, lantaran pandemi Covid-19.
Hal yang sama ditahun ajaran 2020/2021 ini, UN kembali ditiadakan juga akibat pandemi Covid-19, sebagaimana yang tertulis di atas. Kalau dilhat syarat kelulusan, seperti yang tertera pada SE Mendikbud di atas, kelihatannya gampang-gampang susah.
Namun, dalam kenyataanya semua sekolah rata-rata mengalami kendala yang sama di tengah masa pandemi Covid-19.
Kendalanya adalah jaringan internet bagi yang sekolah atau peserta didik yang mengunakan model daring, terkadang error menyebabkan banyak peserta didik yang tidak atau jarang bergabung dalam tatap muka virtual. Demikian juga yang melalui Google Class Room (GCR).
Dan peserta didik yang memang motivasinya belajarnya rendah menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk menutupi kemalasannya. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak memiliki nilai PH, atau nilai tugas atau penilaian yang sejenis.
Demikian juga dengan sekolah atau peserta didik yang menggunakan model luring. Banyak peserta didik ataupun orang tua yang enggan datang ke sekolah dengan alasan pandemi Covid-19.
Jika demikian situasinya, tentunya setiap sekolah akan mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian kepada peserta didik, sebagaimana yang tersurat dalam SE mendibut No.1 tahun 2021 terkait syarat kelulusan peserta didik yang berada di kelas akhir.
Untuk mengatasi kendala ini, maka sekolah harus sebijak mungkin melakukan pendekatan personal (personal approach) kepada peserta didik atau orang tua yang putra/i-nya jarang atau tidak pernah bergabung lewat tatap muka vitual via zoom dan/atau GCR.
Pendekatan personal yang dimaksud misalnya melalui kunjungan rumah bagi yang dalam kota (home visit).
Sedangkan yang di luar kota, diupayakan untuk ditelepon peserta didik atau orang tua peserta didik, agar menyelesaikan dan mengumpulkan tugas yang diberikan oleh bapak dan ibu guru. Sebab, konsekwensi kalau tidak ada nilai, maka tidak lulus.
Akhirnya, sebagai kesimpulan bahwa walau UN ditiadakan, namun diharapkan semangat belajar tetap hidup dan berkobar dalam nubari peserta didik.
Sebab, belajar bukan hanya sekedar untuk dapat angka atau nilai, melainkan untuk hidup, untuk masa depan, sebagaimana ungkapan Seneca di atas. Dan untuk bisa lulus ada 3 syarat yang sudah ditetapkan Kemendikbud di tahun 2021, yaitu (1) Nilai Rapor: wajib menyelesaikan program pembelajaran yang dibuat sekolah, karena itu peserta didik harus selalu mengikuti KBM tatap muka secara virtual dimasa pandemi Covid-19 ini.
Juga harus menyelasaikan dan mengumpulkan tugas yang diberikan oleh para guru. (2) Sikap dan perilaku minimal baik, yang dinilai selama KBM. (3) mengikuti ujian yang diselenggarakan satuan pndidikkan.
Ujian yang dimaksud pada poin ini, dilaksanakan dalam bentuk: (a) portofolio atas evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap/perilaku, dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dsnya). (b) Penugasan; (c) Tes secara daring atau luring; dan / atau (d) Bentuk kegiatan penilaian yang ditetapkan oleh satuan pendidikkan.
Penulis adalah Ka SMPK Frateran Ndao