Borong, Vox NTT- Gelombang sorotan terhadap kinerja CV Oase hingga kini terus mengalir.
Pasalnya, perusahaan konstruksi yang mengerjakan proyek peningkatan ruas jalan Benteng Jawa-Heret-Bawe (Segmen: Wae Nenda-Kp Bawe) di Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur itu hingga kini tidak kunjung membayar harian orang kerja (HOK). Padahal proyek tersebut sudah selesai dikerjakan akhir 2020 lalu.
Selain soal HOK, kualitas pekerjaan lapen senilai Rp964.976.049,61 dari APBD II Matim tahun 2020 itu dinilai sangat buruk.
Politisi PDIP Matim Wilibrodus Nurdin menyatakan, seharusnya begitu diangkat media massa soal upah pekerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) harus turun tangan.
Disnakertrans, kata dia, harus melakukan penyelidikan dan memanggil CV Oase untuk mempertanggungjawabkan upah pekerja.
“Begitu diangkat di media mereka (Disnekertrans) harus selidiki dan panggil, itu memang tugas mereka, bagaimana menjaga tenaga kerja atau buruh, jangan sampai tenaga kerja diperas,” tegas Wili melalui sambungan telepon, Selasa (16/02/2021).
Wili bahkan tidak tanggung-tangung meminta agar Disnakertrans Matim segera dibubarkan, jika tidak menyelesaikan persoalan upah pekerja.
“Jadi, kalau mereka tidak laksanakan itu, ya bubarkan saja mereka, jangan tampung manusia yang tidak berperan dalam tugas pokok dan fungsi. Tidak memahami itu. Jadi, jangan biarkan masyarakat untuk menunggu,” ujar mantan Anggota DPRD Matim itu.
Ia menjelaskan, upah merupakan hak pekerja, sebab mereka sudah bekerja. Karena itu, Disnakertrans Matim segera menfasilitasi para pihak agar bisa mencari solusi.
BACA JUGA: Tidak Bayar Upah Pekerja, Dinas PUPR Matim Didesak Panggil CV Oase
“Kepada pihak yang telah menggunakan tenaga (pekerja), wajib bayar, tidak ada pilihan (lain),” imbuh Wili.
Terkait polemik tersebut, ia juga meminta Bupati Matim Agas Andreas agar tidak boleh menjadi penonton. Bupati tidak boleh membiarkan persoalan upah pekerja berlarut-larut.
“Saya lihat bupati ada pembiaran, saya lihat itu masalah diributkan orang, seolah-olah mereka orang super padahal mereka itu pelayan masyarakat, itu harus dipikirkan,” tegas Wili.
Risiko Dikerjakan Tim Politik
Di mata Wili, persoalan pembangunan infrastruktur yang berkualitas buruk di Matim selalu saja ditemukan dari tahun ke tahun.
Persoalan yang selalu muncul ini, menurut dia, merupakan risiko karena proyek dikerjakan oleh tim pemenangan Pilkada.
“Sehingga kalau hasilnya seperti begitu (kualitas buruk), ya itu sudah! Jadi siapa ngawas siapa maupun kontraktor siapa, karena mungkin mereka adalah satu tim bagian dari tim pemenangan dalam politik kemarin,” tegas Wili.
BACA JUGA: DPRD Desak Dinas PUPR Matim Panggil CV Oase
Ia menilai, pengawasan yang melekat pada pembangunan di Matim sangatlah rendah. Pengawasan tersebut, baik dari kepala daerah sendiri maupun dinas yang menangani, khususnya Kimpraswil.
Tidak hanya itu, persoalan lain yang ditemukan Wili yakni terkait seleksi para mitra kerja oleh eksekutif di bidang jasa konstruksi juga sangat minim.
Seleksi para mitra kerja tidak pernah melihat kinerja baik. Yang berlaku adalah memilih mitra kerja hanya karena faktor kedekatan saja.
“Ini juga dampak negatif yang sangat menonjol situasi saat ini di daerah. Jadi memang hal yang paling penting itu, bagaimana masyarakat mengkritisi dan tidak takut untuk bersuara, jika ada hal-hal seperti ini,” ketus Wili.
“Karena ini uang rakyat, bukan uang pribadi oknum tertentu. Tidak! Uang rakyat yang digunakan untuk kepentingan rakyat, kemakmuran rakyat. Jadi kalau mereka salah menggunakan tugasnya, tugas pemerintah sebenarnya yang memegang kekuasaan penuh dalam kaitan dengan distribusi anggaran, itu harus ada pengawasan. Pengawasan yang melekat,” imbuhnya.
Pengawasan melekat, jelas Wili, tentu saja mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Sebelum dibayar oleh pemerintah, kata dia, seharusnya pihak ketiga mengerjakan proyek dengan baik, dengan mengedepankan aspek kualitas.
“Nah, bukan ikut aturan yang mengatakan setiap tahap pertama termin ini tahap kedua termin ini. Jangan! Tetapi pencairan itu harus dilihat dari aspek kualitas pekerjaan yang sesuai dengan prospek,” tegas Wili.
“Oleh karena itu dalam kaitan dengan rendahnya mutu pekerjaan sebenarnya kuncinya di aparatur pelaksana yaitu Kimpraswil yang memang melaksanakan tugas ini,” sambung Wili.
Wili pun mengajak Kepala Dinas Kimpraswil agar tidak boleh banyak menghayal dan bermimpi besar, sedangkan eksekusi malah kurang.
Sebab menurut dia, proyek berkualitas rendah di Matim juga merupakan akibat dari lemah dan tidak tegasnya Kimpraswil.
“Nah, karena kurang tegas itulah, sehingga terjadi mereka berlindung di balik aturan yang mengatakan bahwa nanti ada biaya pemeliharaan, mereka belum selesai pekerjaan, ya nggak bisa. Itu termakan waktu, jadi yang harus ditekankan adalah bagaimana pengawasan itu sejak awal dilakukan,” tegas Wili.
Wili menambahkan, mekanisme pengawasan yang dilakukan selama ini oleh pemerintah daerah cendrung tidak dilakukan secara maksimal.
Konsultan pengawas kerap tidak berada di tempat pada saat pekerjaan sedang berlangsung.
Akibatnya, saat konsultan pengawas turun untuk memeriksa proyek, kontraktor pelaksana malah sudah terlanjur mengerjakan.
BACA JUGA: CV Oase Harus Masuk Blacklist
“Nah, untuk disuruh dibongkar lagi, ini kan butuh waktu, orang sudah berkorban, berarti di sini pasti terjadi negoisasi. Kalau sudah terjadi negoisasi bahwa mereka konsultan pengawas mengamini pekerjaan yang salah,” jelas Wili.
Pertanyakan Jumlah Tenaga Pengawas
Problem lain yang ditemukan menurut Wili, ialah kurangnya tenaga pada
komposisi perusahaan pengawasan.
“Apakah dia memiliki perangkat cukup banyak, jangan sampai satu perusahaan mengawasi 20 proyek di tempat berbeda-beda. Nah, kalau itu terjadi, kalau dia punya pengawas hanya lima orang, bagaimana dia menyaksikan pekerjaan yang lain dari hari ke hari?” tukas Wili.
“Di titik inilah sebenarnya kelemahan pemerintah, kelemahan eksekutif dalam mendisposisikan pengawasan,” imbuhnya.
Ia menegaskan, jika persoalannya pada total tenaga pengawas yang kurang, maka tidak boleh menyalahkan sepenuhnya kepada kontraktor pelaksana. Yang dipersalahkan tentu saja sistem yang diterapkan oleh pemerintah.
“Ini kan kelalaian, tahu tapi pura-pura tidak tahu, menunda pekerjaan, menunda pengawasan, kan begitu!”. Saya mau mereka harus bisa mendengarkan kritikan, masukan kita untuk kebaikan mereka, sehingga uang negara itu tidak hambur-hambur,” tegasnya.
Harus Soroti Peran DPRD
Di balik polemik HOK dan proyek yang berkualitas buruk, Wili juga mengajak untuk menyoroti peran DPRD.
DPRD, tegas dia, tidak boleh ikut mengerjakan proyek pembangunan karena dilarang aturan.
Jika DPRD ikut mengerjakan proyek pembangunan, maka tentu saja bakal berdampak pada pengawasan yang sangat sulit dilakukan.
“Siapa ngawas siapa,” tegas Wili.
Tidak hanya itu, ia juga meminta
pemerintah desa dan kecamatan agar tidak boleh menjadi penonton. Mereka harus melakukan pengawasan agar ada pencegahan dini terkait keberadaan proyek. Jika ditemukan adanya indikasi bermasalah, maka segera melakukan komunikasi dengan dinas terkait.
“Walaupun itu anggaran itu anggaran proyek dari pusat, provinsi dan kabupaten, pemerintah tingkat bawah, tanpa diperintah secara otomatis untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan itu, jangan tunggu dilapor, di kecamatan itu harus mendata, bahwa proyek kabupaten yang turun ke wilayah saya ada berapa, jadi harus tahu itu,” ujar Wili.
Dikabarkan sebelumnya, proyek peningkatan ruas jalan Benteng Jawa-Heret-Bawe (Segmen: Wae Nenda-Kp Bawe) di Kecamatan Lamba Leda belakangan mencuat persoalan.
Pasalnya, selain upah harian orang kerja (HOK) belum dibayar, proyek senilai Rp964.976.049,61 dari APBD Matim tahun 2020 itu juga disinyalir berkualitas buruk. Proyek tersebut berlokasi di Desa Golo Nimbung, Kecamatan Lamba Leda.
Yan Salim, salah satu pekerja mengaku upah mereka sebesar 20-an juta rupiah belum dibayar kontraktor. Padahal mereka sudah mengerjakan Tembok Penahan Tanah (TPT) sebanyak tiga (3) titik.
Salim mengaku, ia dan lima rekannya bekerja membangun TPT seharga Rp150.000/meter kubik. Sayangnya, proyek sudah selesai dikerjakan, hingga kini upah mereka tidak kunjung dibayar kontraktor.
“Memang belum diukur semua tiga titik itu. Tapi kami pekerja, bisa tahu perkiraannya sekitar 20-an juta lebih,” kata Salim kepada VoxNtt.com, Sabtu (13/02/2021) malam.
Setelah gambaran angka uang itu muncul di kepala Salim, ia pun mulai memikirkan pembelajaan prioritas agar keluarganya bisa bertahan hidup. Salah satunya ialah beras untuk kebutuhan makanan.
BACA JUGA: Proyek di Lamba Leda: Dari Upah Pekerja Tidak Dibayar hingga Aspal Rusak Parah
Sayangnya, gambaran dan asa itu semu. Harapan mendapatkan uang di balik “keringat” mereka ternyata tidak berbuntut mulus. Tenaga mereka hanya dibalas dengan rasa kecewa. Pasalnya, sudah dua bulan setelah pekerjaan selesai, hingga kini uang mereka tidak kunjung dibayar kontraktor.
Salim sendiri mengaku bingung mengadu ke siapa atas ulah CV Oase, kontraktor pelaksana yang tidak kunjung membayar upah mereka.
Tidak hanya soal upah pekerja, fakta miris yang meyelimuti proyek tersebut ialah kondisi lapisan penetrasi macadam (lapen) yang tampak rusak parah. Padahal, proyek baru saja selesai dikerjakan akhir 2020 lalu.
Pantauan VoxNtt.com, Jumat (12/02/2021) lalu, proyek lapen tersebut sudah rusak di beberapa titik.
Kerusakan paling parah terdapat di beberapa pendakian dan tikungan. Di titik ini aspal sudah rusak dan pecah-pecah.
Konstruksi batu kerikil yang direkat dengan semen aspal tampak sudah terkupas. Bahkan, di tengah badan jalan tampak berlubang.
Tidak hanya itu, tampak satu TPT yang tidak dilanjutkan pengerjaannya. Sementara sebagaian yang lain sudah selesai dibangun setinggi badan jalan.
Parahnya, di lokasi proyek tidak ditemukan papan informasi. Padahal papan informasi proyek penting dipajang. Hal itu agar publik bisa mengakses informasi seputar proyek yang sedang dikerjakan.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kabupaten Manggarai Timur, Ibrahim Mubarak, mengatakan, proyek peningkatan ruas jalan Benteng Jawa-Heret-Bawe (Segmen: Wae Nenda-Kp Bawe) sudah selesai dikerjakan dan masuk pada masa pemeliharaan.
Terkait kondisi aspal yang rusak, Ibrahim menegaskan, kontraktor masih mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya selama masih dalam masa pemeliharaan selama satu tahun ke depan.
“Kerusakan yang terjadi masih menjadi tanggung jawab dari kontraktor dan itu jelas tertuang dalam kontrak,” tegas Ibrahim saat dihubungi, Sabtu (13/02/2021).
Secara umum pekerjaan kontruksi, jelas dia, diuji atau dihitung secara kuantitas maupun kualitas.
Sedangkan terkait, papan informasi yang tidak terpasang di lokasi proyek menurut Ibrahim, karena sudah lewat masa kontruksinya.
“Kecuali masih dalam proses konstruksi atau konstruksi dalam pekerjaan (KDP), itu wajib terpasang,” imbuh Ibrahim.
Sementara itu, Direktur CV Oase Karolus Ndoi Jewaru menjelaskan, awalnya proyek tersebut bukan berada di Desa Golo Nimbung melainkan di Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda.
Di lokasi awal dalam rancangannya, kata dia, ada tembok penahan tanah termasuk lapen dan bakal digarap dengan nomenklatur rehabilitasi.
Namun demikian, jelas Karolus, dalam perjalanan ada perubahan dari Dinas PUPR Manggarai yakni lokasi proyek ada di Desa Golo Nimbung. Hal itu dikarena dalam nomenklatur ada segmen dan peningkatan.
“Karena di situ peningkatan, ada telford, saya ajukan keberatan kemarin kalau ada tembok penahan. Uangnya tidak pas,” jelas Karolus kepada VoxNtt.com melalui sambungan telepon, Sabtu malam.
Sebab itu, CV Oase berkosentrasi pada peningkatan jalan dari telford ke lapen untuk memenuhi jangkauan, sesuai kebijakan Pemda Manggarai Timur 10 km/kecamatan.
Menurut dia, jika memaksa harus membuat TPT, maka bisa berdampak pada volume jalan berkurang.
“Tapi kalau ada sisa dana maka bisa buat TPT,” imbuhnya.
Ia berjanji akan memperbaiki kerusakan jalan tersebut, karena saat ini memang masih dalam masa pemeliharaan dan masih menjadi tanggung jawabnya sebagai rekanan.
Soal Upah
Karolus mengaku pihaknya sudah memberitahukan kepada Agus, sub kontraktor bahwa memang ada pembangunan TPT, tetapi menunggu dana sisa.
Setelah koordinasi tersebut kemudian bersepakat untuk konsentrasi ke pekerjaan lapen.
Belakangan entah mengapa Agus menyuruh masyarakat sekitar membuat TPT. Karolus sendiri mengaku tidak mengetahui kesepakatan antara Agus dan pekerja dalam membangun TPT tersebut.
“Akhirnya sampai di tengah perjalanan kami bingung, tiba-tiba ada tembok penahan, dari mana?” tukas Karolus.
Sejauh ini, lanjut dia, sebenarnya proyek tersebut masih menjadi tanggung jawab Agus sebagai sub kontraktor.
Pihak Karolus kemudian mengambil alih pekerjaan tersebut karena selama tiga minggu sebelumnya, tidak kamajuan pekerjaan fisik di lapangan.
Padahal uang, kata dia, sudah diterima Agus. Sedangkan uang pekerjaan TPT, Karolus menimpal bahwa hal itu merupakan kesepakatan Agus dan pekerja. Termasuk dirinya pun merasa tertipu oleh ulah Agus.
Sebab itu, ia berjanji bakal menempuh jalur hukum, jika persoalannya bersama Agus tidak bisa diselesaikan. Apalagi, kata dia, sudah ada kesepakatan hukum antara dirinya dengan Agus sebagai sub kontraktor.
Sementara itu, hingga berita ini dirilis Agus belum berhasil dikonfirmasi.
Penulis: Leo Jehatu
Editor: Ardy Abba