Oleh: Irvan Kurniawan
Sebagai orang NTT yang juga secara kebetulan mendukung Jokowi menjadi Presiden selama 2 periode, saya tak habis pikir mengapa protokol kepresidenan bisa kecolongan dalam mengantisipasi kerumunan di Sikka.
Kerumunan itu terjadi pasca merebaknya kunjungan kerja Jokowi dengan agenda peresmian bendungan Napun Gete pada Selasa, 23 Februari 2020.
Sebagai pendukung Jokowi, saya tentu tak rela presiden yang gencar membangun di daerah terpencil ini, diobok-obok di ruang publik. Apalagi narasi di media sosial menyebutkan kasus kerumunan itu, mirip dengan kasus yang menimpa Rizieq Shihab, pemimpin besar Front Pembela Islam (FPI). Akibat kasus tersebut, Rizieq kini mendekam dalam tahanan.
Hati saya gundah gulana . Kok Jokowi bisa disamakan dengan Rizieq? Serendah itukah Jokowi?
Di NTT, Jokowi memang lekat dengan persepsi ‘orang baik’. Apapun yang dilakukan Jokowi nyaris tak ada cacat celahnya. Sementara Rizieq dan berbagai pro-kontranya seputar FPI bagaikan momok yang menakutkan. FPI dan Rizieq dikenal sebagai perusak toleransi bahkan dicap sebagai perusak persatuan bangsa.
Lama saya bergelut dalam permenungan itu. Hingga akhirnya akal sehat harus bersuara. Sepertinya sulit membantah bahwa memang telah terjadi kesalahan fatal di Sikka.
Kehadiran Jokowi tidak saja menciptakan kerumunan massa, namun ada satu moment yang bagi saya susah untuk dibenarkan. Itu ketika presiden dua periode tersebut berhenti di tengah kerumunan, membuka atap mobil, melambaikan tangan, dan membagikan souvenir kepada khalayak massa.
Sekali lagi sulit dibantah bahwa tindakan itu adalah kecolongan besar bahkan terkesan sudah direncanakan. Tak hanya itu, pembagian souvenir kepada massa juga ibarat sinyal persetujuan Jokowi terhadap kerumunan tersebut.
Saya bahkan sempat berdiskusi dengan beberapa teman yang juga ikut mendukung Jokowi, agar mencari celah pembenaran sehingga kerumunan itu dapat dibenarkan.
Namun rupanya kami sampai pada kesimpulan yang sama. Kesimpulan yang memang harus jujur disampaikan kepada publik bahwa Jokowi memang melanggar protokol kesehatan. Pahit memang rasanya.
Memang ironi jika melihat kembali ke belakang di mana Jokowi menegaskan secara berulang-ulang untuk membubarkan kerumanan massa. Faktanya, dalam video yang beredar tersebut, aparat keamanan malah tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal seharusnya mereka dapat mengantisipasi kerumunan tersebut jauh hari sebelum Jokowi tiba. Aparat juga bisa membubarkan massa yang datang sebelum membentuk sebuah kerumunan besar.
Apa daya, kejadian itu sudah berlalu dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Andai saja peristiwa ini terjadi di masa normal, tentu momen itu menjadi simbol kecintaan rakyat kepada Jokowi. Bahkan simbol kedekatan relasi antara negara dan rakyat.
Sayangnya semarak kerumunan tersebut terjadi pada masa Covid-19. Bahkan terjadi pada saat angka infeksi covid-19 di NTT mengalami kenaikan pada beberapa minggu terakhir hingga mencapai 8.586 kasus.
Jokowi Sama dengan Rizieq?
Lalu bagaimana dengan penilaian publik bahwa kasus Jokowi di Sikka sama dengan kasus yang menimpa Rizieq Shihab?
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, membenarkan kerumunan masyarakat itu terjadi di Maumere pada Selasa kemarin. Bey menjelaskan, masyarakat saat itu memang sudah menunggu rombongan Presiden Jokowi di pinggir jalan.
“Benar, itu video di Maumere. Setibanya di Maumere, Presiden dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Bendungan Napun Gete. Saat dalam perjalanan, masyarakat sudah menunggu rangkaian di pinggir jalan, saat rangkaian melambat masyarakat maju ke tengah jalan sehingga membuat iring-iringan berhenti,” kata Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Selasa (23/2).
Bey sebagaimana dilansir dari republika.co.id mengatakan, masyarakat Maumere spontan menyambut kedatangan Jokowi. Jokowi pun, kata Bey, menyapa masyarakat dari atap mobil.
“Dan kebetulan mobil yang digunakan Presiden atapnya dapat dibuka, sehingga Presiden dapat menyapa masyarakat sekaligus mengingatkan penggunaan masker,” ujar Bey.
Sayangnya penjelasan ini terkesan dibuat secara buru-buru, padahal saya tak sabar menunggu penjelasan istana terkait perbedaan antara kerumunan massa Jokowi dan Rizieq sebagaimana yang ramai diperbincangkan netizen.
Satu-satu satunya alasan penampik adalah perstiwa itu terjadi secara spontanitas. Jika dibandingkan dengan kasus Rizieq dalam beberapa spot kerumunan beberapa waktu lalu, alasan yang terungkap juga sama yakni spontanitas warga.
Andai saja kita mencoba ngeles bahwa Jokowi dan Rizieq secara apple to apple berbeda di mana yang satunya presiden dan yang satunya lagi pemuka agama, lantas apakah covid-19 pernah pilih-pilih kasus?
Apakah virus korona hanya menjangkit pengikut Rizieq, sementara pengikut Jokowi yang bebas berkerumun tanpa menjaga jarak akan aman-aman saja?
Apakah Didi Nong Say yang membela Jokowi dalam kasus kerumunan itu akan bebas dari Covid meski tanpa memperhatikan protokol kesehatan? Sementara Benny K Harman yang mengkritik Jokowi dalam kasus tersebut akan terjangkit?
Oh ya, nama Didi Nong Say ini tenar hari ini gara-gara tulisannya dalam sebuah media lokal yang menyebut Benny menciptakan permusuhan gegara kritikannya terhadap Jokowi.
“BKH dengan gamblang mencoba menyejajarkan penyambutan spontan masyarakat NTT tersebut dengan peristiwa penyambutan Risieq Shihab. Itu sungguh naif dan cari panggung saja. Dengan pernyataan ini, entah disadari atau tidak, BKH telah membangun rasa permusuhan dan kebencian rakyat yang diwakilinya dengan dirinya sendiri,” demikian tulis Didi.
Membaca tulisan ini, jujur saja, saya ngakak sampai perut lemes. Kok lain gatal, lain yang digaruk ya? Padahal kalau mau jujur, kritikan Benny terhadap Jokowi adalah bentuk kecintaannya terhadap rakyat Sikka agar tidak terpapar korona.
“Luar biasa rakyat Maumere Flores sambut Presiden Jokowi. Mereka tumpah ruah ke jalan, rela terpapar Covid hanya utk melihat langsung wajah Presiden. Teringat saya dgn masyarakat sambut Habib Riziek di Bandara Soetta saat pulang dari LN. Seolah tdk percaya bahaya Covid. Monitor!” demikian tulis Benny dalam akun Twitternya.
Jika dicermat, bahasa Benny dalam tulisan bergaya sarkastik. Alih-alih memuji dengan menggunakan frasa “luar biasa” namun sebenarnya berisi sinisme terhadap Jokowi. Sebagai politisi oposisi tentu tujuannya baik yakni agar jangan terjadi diskriminasi perlakuan di tengah masyarakat. Makanya Benny menambahkan ingatannya tentang momen penyambutan Rizieq Shihab di Bandara Soeta yang dinilai mirip dengan kasus Jokowi di Sikka.
Kalau Didi Nong Say cukup peka saja dengan permasalahan negara-bangsa ini, tentu ia sadar bahwa akar dari semua riakan publik akibat matinya rasa keadilan. Pancasila hanya hidup dalam kata-kata namun mati dalam tindakan bernegara. Pancasila hanya dijadikan sebagai pemanis bibir di masa kampanye bahkan Pancasila itu sendiri dieksploitasi untuk mengkotak-kotakan masyarakat. Tentu Nong masih ingat bagaimana memanasnya ruang publik kita akibat saling sikut narasi Pancasila vs radikalis dalam Pilpres 2019.
Keadilan itu juga mati ketika jurang menganga antara kaya dan miskin makin melebar di negeri ini. Megawati Institute mencatat, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tiga kali lebih cepat dari pertumbuhan nasional selama tahun 2006 hingga 2016.
Penghasilan orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 36 juta per bulan atau sekitar Rp 400 miliar. Angka tersebut menjadi timpang, ketika penghasilan buruh tani di Indonesia hanya Rp 1,5 juta per bulan. Padahal, jumlah buruh tani di Indonesia sebanyak 37 juta orang. Itu artinya, penghasilan satu orang konglomerat di Indonesia, hampir sama dengan penghasilan 37 juta buruh tani se-Indonesia.
Masih ada 4 faktor lagi yang mendukung ketimpangan sosial sebagaimana disebutkan diulas dalam penelitian Megawati Institute.
Saya sengaja mencantumkan faktor ekonomi agar Nong Didy paham mengapa Bung Karno menekankan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam konsep sosio-demokrasinya. Bahwa jika hanya secara politik kita demokratis namun secara ekonomi sumber daya kita dikuasai oligarki, maka demokrasi itu adalah hanyalah milik segelintir orang.
Dampak lanjutannya tentu akan menciptakan jurang sosial yang menganga. Ketidakadilan ekonomi itu pun pada gilirannya akan menciptakan permusuhan dan rasa iri sehingga menjadi pemicu rusaknya harmonisasi kehidupan bernegara.
Saya tentu tidak sedang membela Benny Harman. Saya hanya ingin menegaskan bahwa tulisan Nong Didy berpotensi menghilangkan substansi kritikan terhadap kerumunan di Sikka. Padahal Jokowi sendiri baru-baru ini meminta untuk dikritik.
Kalau kita membaca keseluruhan tulisan Nong Didy, ia malah menggiring opini untuk menutupi persoalan kerumunan dengan dalil-dalil yang semerawut dan irrasional.
Alih-alih menggoncengi simpatik rakyat Sikka terhadap Jokowi, Nong terkesan menyanjungi kerumunan itu di tengah meningkatnya paparan covid-19 di NTT. Apa dampaknya? Tentu sangat fatal. Kerumunan yang disanjung akan menciptakan kesan di tengah masyarakat bahwa Covid-19 biasa-biasa saja.
Kalau terus dibiarkan, jangan heran jika sirene mobil Jenazah terus bergentayangan di jalanan dan kuburan massal terus menganga di tanah Nusa Cendana.
Salam Sehat dan Merdeka!!!