Oleh : Ferdy Hasiman
Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Sikka (Maumere) untuk meresmikan bendungan Napun Gate menuai kontroversi mulai dari tingkat lokal-nasional. Sumber kontroversi tentu bukan pada peresmian bendungan untuk menjadikan NTT sebagai lumbung pangan, tetapi pada kerumanan massa yang berdatangan menyaksikan langsung dan berjabatan langsung dengan “Presiden Tercinta” di tengah dunia dan Indonesia sedang berperang melawan penyebaran Covid-19.
Banyak kalangan termasuk politisi mencibir kunjungan Presiden yang melibatkan kerumanan tersebut. Bagi mereka, presiden telah melanggar protokol kesehatan yang dibuat Presiden dan protokol baku di tengah Covid-19 adalah menjaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan. Pertemuan tatap muka berdekatan tak diperbolehkan karena rentan terpapar Covid-19. Singkat cerita, di tengah Covid-19, kita harus menjaga jarak dan menghindari kerumunan agar menjaga sesama kita jangan sampai terpapar Covid-19.
Politisi asal NTT dari Partai Demokrat, Beny K. Harman (BKH) paling lantang mengkritik soal ini. BKH adalah juga politisi asal NTT (Dapil I) yang paling konsisten mengkritik pemerintah. Posisi dan budaya politik BKH juga mendukung karena Partai Demokrat adalah oposisi di tengah kerumunan partai politik yang berebutan berkoalisi hanya untuk mendapat jatah. Kita tentu butuh oposisi dalam politik. Menyitir teolog politik Carl Smith, politik tanpa oposisi adalah apolitis. Artinya, politik itu tak menarik tanpa oposisi. Permainan menjadi datar dan apa yang dikatakan pemimpin cenderung patuh, taat oleh warga negara.
Dalam kritikannya, BKH mengatakan, kehadiran Jokowi dan kerumanan di Sikka justru melanggar protokol kesehatan. BKH mengatakan, dirinya teringat dengan masyarakat yang menyambut Habib Rizieq di Bandara Soekarno-Hatta saat pulang dari luar negeri. Seolah tidak percaya bahaya Covid-19. BKH kemudian tak segan-segan mengatakan, peristiwa tersebut telah memperlihatkan masyarakat NTT rela terpapar Covid-19 hanya untuk melihat Presiden Jokowi. Yang penting bertemu presiden, tak peduli setelah kembali berpotensi terpapar Covid-19. Urusan rumah sakit belakangan, yang penting bertemu dan melihat langsung Presiden dulu.
Masyarakat NTT pun tak segan-segan merespons pernyataan BKH. Ada yang menulis melalui pesan berantai, menulis status di media sosial. Isinya hampir mirip, membela Jokowi mati-matian, seolah benar dengan sendirinya. BKH menurut mereka belum berbuat apa-apa untuk NTT. Komentar yang agak aneh dan tak menyentuh substansi tentunya. BKH itu DPR. Konstitusi hanya memberikan tiga kewenangan kepada DPR, yaitu, legislasi, budgeting dan pengawasan.
Tiga tugas itu penting agar terjadi check and balance dalam demokrasi. Kalau mau bicara tugas legislasi, peran BKH di komisi III (Bidang Hukum) pasti sangat jelas. Dia termasuk politisi NTT yang berkontribusi besar terhadap produk legislasi di negeri ini. BKH juga menjadi motor penggerak aksi protes terhadap pengesahan UU Omnibus Law yang cenderung pro-pasar itu. Ini juga pekerjaan mulai dalam demokrasi, sebagai oposisi di tengah banyak partai berkerumun masuk ke gerbong koalisi hanya untuk mendapat jatah. Ketika BKH menginterupsi kegiatan Presiden yang tak mematuhi protokol kesehatan, itu juga adalah tugas DPR sebagai pengawas eksekutif. DPR menginterupsi presiden jika tak mematahui protokol kesehatan karena di tengah Covid-19, tatapan langsung berpotensi besar terpapar Covid-19.
Tidak ada yang keliru dari kritik BKH terhadap Jokowi. Substansi masih oke dan masih dalam batas kewenangan sebagai DPR. Yang jadi soal adalah, masyarakat yang tak mau disiplin menjaga jarak dan protokol keamanan Presiden yang tak bisa menertibkan kerumunan itu. Saya kira, sudah jauh-jauh hari sebelum Presiden tiba di Sika, semua protokol keamanan selalu terjaga. Masa susah sekali menjaga jarak satu meter saja untuk melihat presiden dari dekat.
Perlakuan Berbeda
Perlakuan masyarakat NTT terhadap sesama warga NTT dan Presiden Jokowi sangat berbeda. Ini miris. Warga NTT masih ingatkan di awal-awal Covid-19 menyebar luas di Indonesia? Pada bulan-bulan awal, di Flores masyarakat ramai-ramai menolak kedatangan para perantau yang pulang kampung karena kesulitan ekonomi akibat pandemik corona (Covid-19) di kota-kota besar. Meskipun sudah ada himbaun pemerintah untuk diam di rumah, jangan mudik, namun kesulitan hidup memaksa mereka pulang dengan risiko ditolak warga.
Kronologi Penanganan Lambelu: Sempat Ditolak, Penumpang Loncat ke Laut, Akhirnya Berlabuh
Di kabupaten Sika-Maumere (7/4/2020), masyarakat mendesak bupati melarang kapal KM Lambelu yang mengangkut ratusan penumpang dari Tarakan, Kalimantan Timur bersandar di Pelabuhan Sika-Maumere. Warga menolak karena mendengar informasi ada tiga (3) anak buah kapal (ABK) tersebut terjangkit Covid-19.
Sementara di Ruteng-Manggarai, masyarakat berdemonstrasi menolak upaya bupati melakukan karantina terpusat para perantau dari daerah episentrum Covid-19 di sebuah wisma. Mereka takut jangan sampai karantina terpusat bisa menularkan virus. Karantina seperti ini memang berfek negatif jika mengabaikan prosedur tetap (protap), seperti penjarakan fisik.
Dua contoh di atas mewakili berbagai penolakan masyarakat Flores terhadap kedatangan para perantau di saat Covid-19 menjadi darurat kesehatan. Warga takut menyaksikan jutaan warga dunia dan ribuan warga Indonesia positif Covid-19. Negara memang tak memberi rasa aman bagi warga negara. Warga menjadi takut jangan sampai para perantau datang membawa virus dan maut. Jangan sampai berpapasan wajah dengan orang lain membawa maut bagi saya. Warga memilih jalan sendiri, menolak para perantau melawan kematian.
Lantas apa bedanya jika Presiden datang dan masyarakat berkerumun yang menyebabkan sesamanya terpapar Covid-19. Jika terpapar, bukan hanya keluarga yang terdampak, tetapi sesama yang pernah berdekatan dengan yang terpapar menjadi rentan Covid-19. Penyebaran Covid-19 membutuhkan disiplin diri, mulai dari pemimpin sampai warga negara. Justru karena tidak disiplin, maka penyebaran Covid-19 menjadi sulit. Percuma juga Presiden Jokowi menetapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Pembatasan Sosial Berskala Mikro jika pemimpin sendiri tak disiplin? Lalu apakah kita masih membela dan membenarkan itu?
Kritik BKH sangatlah tepat jika kita kaitkan dengan kondisi fasilitas kesehatan di NTT. Di NTT, banyak pemimpin daerah tak siap. Fasilitas kesehatan sangat sulit. Alat Pelindung Diri (APD) dan fasilitas kesehatan tak lengkap. Masker dan hand sanitizer sulit diperoleh. Di Flores, hasil laboratorium test swab membutuhkan waktu dua minggu. Jika terpapar, fasilitas rumah sakit, berupa obat-obatan dan ventilator sulit. Kesulitan fasilitas rumah sakit seperti itu perlu dibantu melalui disiplin diri, social distancing.
Metafor Neraka
Kritik BKH terhadap Presiden Jokowi dan kerumunan massa yang hadir di tengah pandemik Covid-19 ini mengingatkan saya pada sebuah matafor tentang “neraka” filsuf eksistesialis Prancis Jean Paul Sartre (1905-1980).
Bagi Sartre, sesamaku adalah neraka, karena dia mengintai kebebasanku. Saya tak pernah bisa bebas menentukan nasib dan masa depanku. Bahkan kematianku ada pada tangan orang lain. Neraka itu juga adalah kematian. Saya sudah tak bebas menentukan sendiri hidupku, lalu datang musibah kematian. Neraka mencegah saya menjadi penguasa hidup saya.
Bagi Sartre, hidup di dunia ini terasa absurd. Segala sesuatu lahir tanpa alasan jelas, tetap bertahan karena kelemahan dan akan mati secara kebetulan. Kematian bagi Sartre adalah puncak tertinggi absurditas. Kehidupan ini tak ada apa-apanya dan banyak cobaan. Manusia akan berhadapan dengan sakit dan penyakit. Hidup harus menderita, sakit, mengalami cobaan dan akan mati. Kematian harus diterima begitu saja.
Sartre memandang psimis perjuangan manusia untuk hidup lebih lama di tengah virus. Bagi Sartre hidup dan kematian sudah diatur. Manusia tak beriktihar mengupayakan hidup lebih lama. Kematian adalah situasi batas yang mau tak mau harus dihadapi manusia. Inilah yang disebut nihilisme dalam memandang hidup. Hidup itu percuma dan tak ada artinya. Gagasan serupa pernah diungkapkan Leo Tolstoy, seorang filsuf sekaligus sastrawan Rusia yang hidup pada revolusi Rusia tahun 1905. Tolstoy mengatakan, hari ini atau besok, sakit atau kematian siap menjemput orang-orang yang aku cintai bahkan aku sendiri. Tidak ada yang tersisa, kecuali hanya cacing-cacing dan ulat-ulat kecil. Cepat atau lambat keakrabanku dengan sesama dan orang-orang yang aku cintai hilang, karena kematian sedang mengintaiku.
Meskipun Sartre jatuh dalam nihilisme, namun, penting menarik makna positif berhadapan dengan Covid-19. Metafor neraka Sartre memberi peringatan agar di tengah pandemik Covid-19, kita harus mengikuti protokol kesehatan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Kita tak boleh santai, taat aturan dan disiplin menjaga jarak. Kita harus melawan absurditas. Posisi BKH ada di sini.
Gagasan Sartre juga penting bagi pemerintah agar menghadirkan surga, berupa rasa aman kepada warga negara. Pmerintah perlu melakukan intervensi kesehatan memadai. Pemerintah juga perlu melakukan rapid test masal secara cepat, melakukan deteksi dan memeriksa history perjalan pasien dan memperbanyak laboratorium Covid-19 dan menambah peralatan medis dengan cara bekerjasama dengan negara-negara yang memiliki healthcare system-nya terbaik, seperti Jerman atau Taiwan.
Jadi, perjalanan Jokowi ke Sikka yang memicu banyak kerumunan penting untuk dikritisi. Begitupun perjalan Jokowi melihat lahan untuk pertanian seluas 5000 hektar di Sumba Tengah. Kita harus kritik, karena gagasan Food Estate yang hendak di bangun di Sumba Tengah dan NTT, bukan untuk rakyat, tetapi untuk para konglomerat. Wasalam….