*Oleh: Yohanes Mau
Tentang perjumpaan itu tak persis soal hari dan tanggalnya. Namun dibawah matahari yang sama pada bulan September kita berpapasan di pancuran itu. Bersama sahabatmu Inez engkau basuh wajah di sana. Inez adalah adik tingkat kelasku di sekolah yang sama. Waktu itu kutak tahu siapakah namamu? Sedangkan Inez bukan asing lagi bagiku karena kosnya juga bersebelahan dengan kosku. Saat kulewati jalan itu Inez menyapaku dengan suaranya yang lembut, “Selamat pagi kak, kak mau ke mana?” “Pagi juga ade, saya mau pergi ke kampung sebelah.” Demikian jawabku.
Gadis mungil di sampingnya itu menatapku dengan diam. Cahaya matanya memanah kedua bola mataku dan biasan energi cinta mengalir ke seluruh tubuh. Aku pun tak bertanya banyak pada Inez tentang siapa nama gerangan gadis mungil itu. Selanjutnya saya berjalan terus menuju tujuan. Dalam perjalanan hatiku berdebar ingin mengenalnya lebih jauh dan lebih dalam dari beningnya lautan.
Aku tak tahu bagaimana harus mengenalnya. Dan jurus apa yang mesti saya lakonkan agar tatapannya itu hanyut dalam hatiku. Tak kusangka kami berjumpa lagi di kampung sebelah. Ternyata mereka bersama keluarga sedang melakukan arisan keluarga. Nuansa kampung itu nampak rame dan aku pun dengan berani memasukinya tanpa peduli banyak.
Aku mencoba beranikan diri dekati Inez dan tanya tentang gadis mungil bermata biru itu. Dari Inez aku dapat kabar lengkap tentang dia. Inez pun panggil dia dan kami jabat tangan erat. Tanganku terasa gemetar dan ia menyapaku, “halo namaku sarina”. Saat itulah kami mulai saling kenal. Hanya beberapa menit saja namun tatapan mata dan kehangatannya menyimpan seribu tanya.
Hari itu pun kami berpisah dalam waktu yang tak menentu. Karena ia harus kembali ke kota untuk melanjutkan studinya. Hanya ada satu pesan dariku yang sempat kutitipkan lewat Inez, “sampaikan salam hangat dari segala hangat dariku buat dia!” ”Iya kak nanti aku akan sampaikan.” Selanjutnya aku kembali ke rumah dengan hati berbunga dan sejuta harapan semoga kelak cintanya bersemi dan hanyut dalam rangkulanku.
Memang waktu terlalu singkat. Kami berjumpa hanya beberapa menit saja. Sarina pun pergi dan terbenam bersama matahari di bukit batu kampung itu. Padahal rasa ini belum kugoreskan pada hatinya yang polos situ. Ah biarlah ia pergi semoga suatu saat nanti kita bisa jumpa lagi. Sambil penuh harap pada sang waktu.
Tak terasa hari dan musim pun pergi tanpa pamit. Aku pun hanyut dalam studiku dan tak ada lagi pikir tentang Sarina. Ia telah pergi dan hilang dengan seribu bak cintanya. Namun aku fokus dengan studiku untuk petik bintang yang masih bergantung di bukit batu itu.
*************************
Kini kabar baru datang lagi dengan kisah unik. Kala suatu senja kududuk sendirian di emperan rumah sambil baca artikel dari sebuah majalah kusam. Inez sahabat Sarina datang dengan tawaran senyumnya yang unik, ia menyalamiku, “Kak Fonso selamat sore, “sore ade, apa kabar?” Aku pun balas menyalaminya. “kabar baik kak, aku antar titipan untuk kak. “Terima kasih ade.” Selanjutnya dia suguhkan sebuah amplop, “ini dari Sarina, kemarin kami sama-sama liburan di kampung dan dia titip salam rindu hangat buat kak, itu surat dari dia!” Selanjutnya Inez kembali ke kosnya.
Aku pun mulai melepas majalah kusam itu dan mulai buka amplop Sarina. Hati penuh penasaran dengan isi surat itu. Salam rindu hangat macam apakah yang gadis polos bermata biru itu gores dan bungkus di amplop ini? Berikut isinya:
Kak tersayang, awal pagi di pancuran itu aku terhipnotis oleh sapaan suara dialogmu bersama Inez. Kak Fonso bersama Inez saling menyapa sedangkan hatiku berdebar dan nurani bergejolak ingin menyelamimu lebih jauh. Setelah kak melewati jalan itu aku pun bertanya pada Inez tentangmu. Syukur karena lewat Inez kita saling kenal walaupun hanya beberapa menit saja. Memang kisah cinta kita berawal dari beberapa menit saja. Selanjutnya aku harus pergi untuk masa depan yang lebih baik. Aku terlepas bukan karena tidak sayang tapi karena rasa ini mesti berakhir karena waktu telah membatasi kita.
Salam hangat dan rindu yang Kak titipkan lewat Inez aku terima dan balut baik-baik di relung hatiku yang dalam.Hingga kini aku masih simpan dan abadikan itu. Semoga suatu saat nanti bila saat itu tiba kita akan berjumpa lagi dan berkisah tentang isi hati soal cinta, mencintai dan menjadi cinta.
“Kak, sebenarnya aku sangat sayang sama Kak. Aku yang lebih dulu merasakan getaran hati saat melihatmu di pancuran itu. Kalau boleh jadilah kekasih hatiku dan mari kita saling sayang dan merawat hati agar hati ini tak terbagi kepada yang lain. Aku ingin agar hati ini hanya milikmu dan hatimu hanyalah milikku. Memang jarak dan waktu tak mungkin menyatukan kita. Bila rindu membara tapi hati ini tetap kujaga dan kurawat agar hanyalah untukmu. Biar tawaran dan godaan datang tak mempan karena jabat tangan erat saat jumpa pertama itu masih hangat dan tak kan dingin oleh dinginnya musim-musim dingin yang datang silih berganti.
Kak, pintaku hanya satu; “jadilah pendampingku dan berjalanlah bersamaku agar hati ini tetap utuh hanya untukmu. Jaga dan rawatlah hatimu baik-baik karena suatu saat nanti kita bisa jumpa lagi.”
Sekian saja dulu kak. Terima kasih Kak sayang.
Surat itu ditutup dengan lukisan dua gambar jantung tertusuk tembus anak panah dan menyatu. Lalu tertulis di sana, “I Love You.”
Itulah isi rindu hangat dari Sarina yang terurai dalam goresan dan terbungkus dalam amplop.
Setelah membaca surat itu dadaku terasa legah. Malam datang dan bahagia itu pun tak hanyut bersama gelap. Nyala api cintaku malah semakin membara. Aneka pertanyaan muncul bersama fantasi malam; nanti kapan ketemu dia, di mana? Nanti bilang apa sama dia? Ah pokoknya banyak hal yang terlintas dalam pikiran untuk menggapai maligai jiwa. Malam semakin larut bahkan gelap enggan pergi. Biarkan aku hanyut dalam fantasi. Mungkinkah esok cinta kami bersenandung bersama awan?
******************
Beberapa bulan telah berlalu. Surat dari Sarina tersimpan rapi di Alkitab. Entah kenapa suatu hari mama ganggu, “Uhummmpp, dia dapat surat cinta ow”. “Ah Mama, tidak ada ew, aku menyangkalnya. “Lalu yang terselip di Alkitab itu apa ow? Dengan malu-malu aku menjawabnya, “Iya Mama”itu surat dari dia Sarina”. “Kenapa harus selip di Alkitab?” Mama lanjutkan pertanyaanya. “Supaya jangan ada orang yang baca to Mama.” Lalu Mama bilang, “Fonso ew Oh te urus pacar los deit ew, keta belajar, nia mak Oh kan masa depan diak los”.
Mendengar itu aku diam seribu bahasa. Kata-kata mama itu bagai pedang yang menembusi jantung. Dalam nuansa tenang aku pun insyaf. Aku akan tunjukkan yang terbaik. Hari-hari hidupku selanjutnya selalu aku gunakan untuk belajar dengan tekun supaya Mama tahu bahwa pacaran itu tidak membuat aku hanyut dalam bercinta.
Kisah cinta bersama Sarina sudah terajut dalam waktu cukup lama tanpa perjumpaan yang mendalam. Kini ia pun perlahan-lahan hilang dari ingatanku. Aku tak ada lagi rasa rindu pada Sarina. Tugas sekolah juga semakin menumpuk. Waktu dan pikiranku selesai bersama buku-buku pelajaran, diktat dan lainnya. Sarina tak lagi terbayang dalam pikiranku.
Perjuangan dan kerja kerasku yang tulus tak menghianati hasilnya. Syukur kepada Allah akhir seluruh studiku di bangku SMA dinyatakan lulus. Aku juga mendapat kabar kelulusan dari beberapa kampus untuk melanjutkan studiku di sana. Lulusan yang aku pilih adalah hidup membiara. Aku pun membiarkan diri hidup seturut aturan di dalam tembok biara untuk kelak menjadi seorang rahib.
Kedua orangtuaku merestuiku untuk melanjutkan masa studiku di dalam tembok biara. Di sana bertahun-tahun kuhabiskan waktu menata diri untuk menjadi rahib. Latihan rohani yang ketat serta bermati raga. Selama waktu itu tak ada satu dua sahabat kenalan yang datang mengunjungiku karena saat itu adalah saat sunyi. Begitu pun dengan Sarina tak pernah tahu entah ke mana aku pergi.
Sarina juga punya rindu untuk mencari tahu soal keberadaanku. Aneka cara telah diupayakan untuk bertemu. Pada akhirnya ia tahu dari salah satu anggota keluargaku. Bahwa aku sudah ada di dalam tembok biara. Ia juga mencoba mengunjungiku tapi tak sempat bertemu karena aturan hidup di biara sangat ketat. Rindu Sarina kandas bersama waktu dan ia pun sakit. Aku merasa bersalah dan dalam hati kecil bertanya, “Mungkinkah kami akan bersama merawat hati?
Suatu hari minggu ada kesempatan untuk kunjung keluarga. Aku bersama salah satu temanku kunjung ke rumah keluarga di sekitar kampung itu. Di sanalah aku dapat kabar lengkap tentang Sarina dan pergulatan hidupnya. Katanya, gadis itu pernah ditawarkan oleh orangtuanya untuk kuliah tapi ia tidak mau. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumah.
Beberapa pemuda kampung datang melamarnya namun ia tak pernah beri restu. Katanya yang ada di dalam hatinya itu hanyalah kamu Fonso. Selama enam bulan ia sakit dan hanya bergulat dengan penderitaannya itu.
Dengar kabar itu aku merasa sedih dan pikiranku tidak tenang. Bahkan setelah kembali ke biara bayangannya hadir tanpa diundang. Entah kenapa dia bisa hadir lagi padahal kami hanya berjumpa beberapa menit saja pada tiga tahun silam.
Namun rasa sakit bukanlah halangan bagi Sarina untuk bertemu denganku. Mungkin akulah obat mujarab bagi Sarina. Maka tibalah pada suatu kesempatan Sarina bersama kawannya kunjung ke biara untuk bertemu denganku. Pada saat itu kami sempat bertemu beberapa menit saja melepas rindu. Wajahnya Nampak pucat sedang menyimpan sakit akibat tertinggal tanpa kabar dalam waktu yang tak menentu.
Di ruang tamu biara itu dia menarik tanganku dan menyepi sejenak ke sudut tembok dan berbisik, “kak Fonso, hatiku sakit selama ini karenamu.” Dengar itu aku diam seribu bahasa. Beberapa sahabatku yang menyaksikan sandiwara itu pun turut diam menyaksikan kami. Dengan tenang aku bisik di telinganya, “sabarlah sayang, biarlah proses ini terus berjalan, entah sampai di mana saatnya tiba di sana kita akan berjumpa lagi. Selanjutnya kami pun saling jabat tangan dan Sarina bersama kawannya pamit pulang.
Saat jam makan malam tiba aku bersama kawan-kawanku menuju ruang makan. Di sana kami makan malam bersama. Namun sayangnya makanan malam ini tak terasa enak seperti malam-malam sebelumnya. Juga di dalam ibadat malam penutup, lantunan madah dan antiphon mazmur tak terdaras seperti biasanya.
Pada bait-bait doa hanyalah wajah Sarina yang nampak. Bahkan selesai lagu penutup pun aku masih hanyut di dalam kapela membanyangi wajah Sarina. Teman kosterku panggil, “Fonso mari kita pulang, aku mau padamkan lampu! Akhirnya kami pulang ke kamar di unit masing-masing. Di sana pun hati ini masih terus bergulat. Entah kenapa sampai begini.”Memang benar cinta itu bisa membuat gila.
Pada pojok doaku ada arca Bunda Maria, dan beberapa gambar kudus. Lalu kunyalahkan lilin dan mulai bermeditasi. Aku mencoba untuk masuk dalam hening dan hilangkan wajah Sarina dariku namun tak bisa juga. Malah ia datang dan membuat fantasiku semakin tak menentu. Aku padamkan lilin dan berhenti bermeditasi. Lalu ambil buku bacaan di rak buku dan membacanya. Itu pun kata-kata yang terbaca tak satu pun yang sangkut di dalam daya ingatanku. Masih saja Sarina dan wajahnya. Lalu aku protes, “Ah Tuhan, apakah dia itulah yang menjadi pilihanku?” Kalau demikian biarlah aku berpaling dari jalan ini dan izinkanlah aku untuk pergi menjumpainya dan kami berjalan bersama di jalan lain yang telah Engkau siapkan bagi kami!” Dalam hening itu tak ada jawab.
Aku melepas tubuhku di atas ranjang agar mataku nyenyak. Namun sampai di sana mata makin belalak tak mempan hanyut dalam tidur. Balik badan berulang kali pun mata enggan pejam. Yang ada hanyalah bayangan Sarina. Ah Sarina engkau menyiksa hati dan menggores rasa ini hingga selarut ini. Tikaman cintamu membuat hati ini lumpuh dan kapankah aku bisa sembuh?
Dalam hening mengalirlah percikan sejuk beristrahatlah agar besok engkau sembuh dari sakitmu. Aku hanyut dalam lelap panjang hingga gelap pergi. Syukur hari baru terdaras dalam ibadat pagi. Hatiku terasa legah dan damai. Aku sembuh dari pergulatan itu. Bayangan Sarina telah jadi persembahan terindah yang terdaras bersama ibadat pagi terbakar hangus bersama panasnya terik matahari.
Goresan perjumpaan beberapa menit itu membuat batinku tersiksa. Suatu malam setelah ibadat penutup aku mencoba mendekati pimpinan biara dan mengisahkan pergulatan hidupku bersama kekasihku Sarina. Setelah berkomunikasi dan lewat disermen selama beberapa waktu aku mendapat restu dari pimpinan biara untuk mengundurkan diri dan pergi menjumpai Sarina kekasih hati.
Pesan pimpinan biara, “Pergi dan bagikan cinta agar yang sakit bisa sembuh dan gapailah bahagia bersamanya!”
Aku pun pamit dan pulang menjumpai Sarina. Di sana kami berjumpa dan merajut cinta setia untuk abadi. Akhirnya aku dan Sarina menjadi satu menjamah dan merawat luka-luka kehidupan jadi bahagia. Kami bersatu merawat hati dengan cinta suci penuh hati-hati di tengah derasnya cinta zaman. Kekuatan cinta tak bisa dibentengi oleh tembok biara dengan tawaran aturan yang ketat. Jumpa pertama hanya beberapa menit saja tapi abadi tergores dan memiliki.
Catatan:
-
- Sarina, Inez dan Fonso bukanlah nama sebenarnya.
- Fonso ew Oh te urus pacar los deit ew, keta belajar nia mak Oh kan masa depan diak los”. (bahas tetun artinya)”Fonso, engkau hanya urus pacar saja ew, jangan belajar, nantinya masa depanmu akan cerah”!
- Alkitab: Kitab Suci Orang Kristen
- Koster: petugas di gereja
- Biara: tempat pertapa
- Rahib: Petapa dalam biara.
Penulis, Petualang hati, kini tinggal di Zimbabwe-Afrika