*Oleh: Inosensius Sutam
Umat Kristen pada hari ini merayakan hari Kamis Suci atau sering disebut juga Kamis Putih. Salah satu acara yang dilakukan pada saat ini adalah membasuh kaki dua belas wakil umat.
Mungkin pada hari dibatalkan karena alasan covid-19. Acara membasuh kaki ini sesuai dengan kisah dalam Injil Yohanes 13:1-15 di mana Yesus membasuh kaki keduabelas rasulNya.
Tentu ada banyak makna yang dijelaskan berkaitan dengan cuci kaki ini.
Pertama, kerendahan hati dalam pelayanan yang total. Yesus adalah guru dan Tuhan namun Ia mau membasuh kaki para muridNya. Sebesar apa pun jabatan dan kedudukan kita, kita harus bisa melayani sesama yang lebih kecil dari kita. Kita harus berani turun, dan merendah di hadapan sesama untuk melayaninya.
Kedua, solidaritas dan persaudaraan, terutama dengan lemah, kecil, miskin, dan terpinggir. Kaki adalah bagian badan yang paling rendah, mungkin yang paling tidak diperhatikan, dan yang paling banyak bersentuhan dengan kotoran atau hal-hal yang menjijikkan.
Tindakan membasuh kaki adalah tindakan bersatu dan bersolidaritas dengan yang lemah, kecil, dan miskin dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga, membantu untuk membersihkan sesama dari hal negatif. Tindakan membasuh kaki secara tradisional adalah sebuah penghormatan terhadap tamu yang datang ke rumah.
Membersihkan kotoran atau debu selama perjalanan adalah tanda hormat. Tentu juga membebaskan tamu dari rasa pegal dan memberikan rasa segar.
Secara kultural atau spiritual, kotoran atau debu yang menempel pada badan atau kaki bisa juga menjadi simbol dari kesalahan dan dosa.
Membasuhkan kaki oleh Yesus berarti membersihkan dosa dan kesalahan sekaligus memberikan kesegaran dan kekuatan jiwa. Atau menjaga para murid supaya jangan jatuh dari dosa dan menjadi sadar dan awas terhadap dosa dan kesalahan.
Keempat, mengingatkan kita akan pentingnya air sebagai dimensi ekologis dan spiritual dalam perayaan Kamis Putih. Yesus adalah sumber air hidup (Yoh 4:10-26; 7:37-39).
Ia menghidupkan dan menyegarkan jiwa kita dari segala macam kelelahan dan kehausan.
Kelima, wasiat, pelestarian, dan pewarisan iman dalam ketulusan dan contoh yang hidup nyata. Membasuh kaki adalah wasiat Yesus untuk para rasulNya, agar mereka melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Yesus dalam perjamuan terakhir tidak hanya berbicara tetapi juga berbuat. Sebuah pepatah Latin berbunyi “verba docent, exempla trahunt” yang berarti kata-kata mengajar, tindakan yang memberi contoh atau teladan. Yesus melakukan hal tersebut.
Ia tidak hanya berkata-kata, tetapi juga bertindak secara nyata untuk sesama terutama yang lemah, kecil, dan tersingkir.
Pewartaan iman bukan hanya dilakukan dengan berbicara tetapi juga dengan berbuat dan bertindak secara nyata.
Berkaitan dengan membasuh kaki ini, di Manggarai ada satu sungké (tindakan untuk menghindari yang jahat dan memperoleh yang baik), yang disebut “koso wa’i weda le waé” (melap telapak kaki dengan air). Hal ini dilakukan ketika seorang anak sudah bisa duduk (lonto) atau merangkak (hopi) di mana pada saat itu kaki sang anak sudah bisa menyentuh tanah.
Pada suatu pagi yang cerah, orang tuanya biasanya membawanya ke halaman rumah dengan muka menghadap jalan, lalu kedua telapak kakinya dilap dengan secarik kain songké yang dicelupkan dalam air yang diambil dari waé téku (sumber mata air ritual) atau waé cemok (mata air yang dipercaya sebagai sumber di mana orang tuanya bermimpi menimba air sebelum anak ini dikandung).
Kebiasaan ini rupanya sudah tidak atau jarang dipraktekkan sekarang ini. Saya melihat beberapa ibu di Poco Leok melakukan hal ini akahir tahun 70-an dan awal tahun 80-an.
Apa makna tindakan melap telapak kaki ini?
Pertama, menghindari anak dari lumpuh (boto péko), dan supaya anak bisa berjalan lebih cepat (kudut gélang lakon).
Kedua, supaya kelak anak itu bisa mandiri, berdiri pada kakinya sendiri (berdikari: oné lobo watu mosé), dan tidak menjadi beban bagi sesama (boto ciri mendo latang asé-ka’é, pandé meha waé racang kopé).
Ketiga, supaya sang anak bisa membuat jejak hidup, jejak sejarah yang bagus, dan tidak menyesatkan banyak orang. Hidup adalah ziarah, dan baik-buruknya kita tergantung jejak yang telah kita tenun dalam sejarah hidup kita.
Anak itu diharapkan meninggalkan atau mempunyai rekam jejak (curriculum vitae) yang bagus. Dengan kata lain anak ini jauh dari kesalahan dan dosa yang menyesatkan orang lain (tadang oné sala agu ndékok ata pandé weleng agu wéléng ata do).
Keempat, perlindungan bagi anak dalam perjalanan hidupnya supaya dijauhkan dari kecelakaan dan rintangan (kudut néka timpok wa’in, néka duncul wukun/tu’us, néka coco lolos, néka cako salongn).
Kelima, sejalan dengan yang ketiga, sang anak diharapkan bisa membersihkan kotoran (saki) dan debu (kebok) dalam kehidupan bersama (waci saki oné nai, nul kunu oné pucu, koso jogot ka’éng golo, wégo ndékok ka’éng béo). Untuk anak ini harus rendah hati (merik nai).
Keenam, anak itu bisa ingat akan waé téku-nya (sumber air). Artinya ia ingat akan sumber kehidupannya, yaitu Tuhan (Mori Keraéng), orang tua, sesama, dan kampung halamannya. Ia kiranya tidak menjadi kacang lupa kulit (néka ného koja hémong loké).
Ketujuh, kaki itu menyentuh jalan atau meretas jalan. Jalan (salang) bagi orang Manggarai adalah sebuah relasi persaudaraan, sebuah solidaritas (pandé salang te mosé cama).
Ada banyak masalah, dan setiapnya harus ada jalan keluarnya. Setiap warga masyarakat diharapkan mengatasi masalah dalam hidup indvidu dan bersama (caca mbolot kaéng golo).
Kedelapan, melap kaki adalah sebuah tradisi, sebuah wasiat kehidupan yang harus diwariskan dan dilestarikan bukan saja kegiatan fisiknya tetapi terutama isi dan maknanya. Di sini perlu ada keselarasan antara kata dan tindakan.
Setelah melihat kedua tindakan ritual di atas: membasuh kaki para murid dan melap telapak kaki anak yang baru merangkak, kita bisa melihat beberapa hubungan yang mungkin dibangun dari keduanya, dan menjadi inkulturasi dalam kehidupan Gereja.
Pertama, kedua tindakan ini menggarisbawahi pentingnya persaudaraan dan solidaritas berdasarkan kasih. Menolong yang lain adalah sebuah kebajikan kehidupan.
Kedua, menempatkan air sebagai unsur kehidupan yang penting, bukan saja secara fisik tetapi juga secara spiritual. Air kehidupan yang abadi adalah Tuhan sendiri.
Ketiga, kedua tindakan ini menekankan pentingnya hidup yang bersih bukan saja secara fisik tetapi secara spiritual. Hidup bersih, suci dan kudus berarti selalu mau bertobat, menyesal, meminta maaf, dan memberikan maaf.
Keempat, kedua tindakan ini menekankan pentingnya sikap rendah hati.
Kelima, keduanya menekankan pentingnya pelestarian sebuah wasiat kehidupan yang bermakna. Untuk itu perlu pengajaran (toing), pendampingan (titong) dan toming (contoh, teladan).
Selamat merayakan hari Kamis Putih. Semoga mengambil makna dan hikmahnya.
Penulis adalah rohaniwan katolik dan dosen di UNIKA Santu Paulus Ruteng