*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
Saat itu di tepi pantai, entah hari apa aku sudah lupa. Engkau membacakanku sajak luka lalu mencoba mengartikannya. “Luka adalah bagian dari cinta seperti kematian adalah bagian dari hidup. Seperti halnya kematian adalah bagian dari hidup, luka itu seperti warna yang menghiasi perjalanan cinta,” demikian katamu.
Aku terdiam mendengar omelan sajak-sajakmu. Kadang aku tersenyum kecil saat mendengar arti cinta yang coba kau rangkai. Engkau tidak mengetahui gelagatku yang duduk diam di sampingmu sebab pandangmu jatuh juah di ujung bibir lautan. Sepertinya definisi ini berlebihan, gumanku dalam hati.
Sesaat kemudian engkau menghembuskan nafas sebelum engkau melanjutkan ocehanmu itu. “Hanya saja, kematian itu berarti waktu terakhir untuk hidup di dunia ini. Luka bukan sekejam kematian sebab luka bukan berarti akhir dari cinta. Luka hanyalah setetes embun agar cinta itu bertumbuh menuju keabadian,” demikian engkau mengakhiri sajakmu dan ceramahmu tentang cinta kepadaku saat itu.
Harus kuakui bahwa seberapa dalam luka adalah tentang seberapa jauh hal yang perlu disadari. Seberapa banyak luka yang menghias ziarah cinta adalah seberapa jauh sebuah kesetiaan dipahami. Luka adalah cara agar perjuangan dapat dimengerti meski hanya sebagian. Luka adalah cara untuk mengerti bahwa kita adalah dua hal rapuh dan akan lapuk jika waktu telah tiada.
Dinda, kita adalah sepasang badan yang menyukai dan tidak menyukai hal-hal yang sementara. Kita tertawa untuk sementara bagi kebahagiaan yang sebentar saja. Kita menangis untuk sesaat bagi luka yang sesaat pula. Mungkin benar, melukai dan dilukai dalam diri dua orang yang saling mencintai adalah bagian dari sebuah perjuangan menuju hal-hal yang abadi.
Kita menyukai dua hal yang tidak sama dan juga tidak menyukai dua hal yang tidak sama. Engkau selalu merindukan datangnya hujan, sedang aku selalu mengharapkan senja tanpa awan. Engkau selalu ingin mengakrabkan diri pada rintiknya hujan sedang aku selalu saja menghindari gerimis yang tibat-tiba lebat. Tapi kita selalu mempertahankan semuanya itu. Aneh bukan?
Engkau memaksaku menyukai hal-hal yang tidak aku suka. Engkau mengajakku menari di antara rintik hujan. Engkau tertawa melihatku kedinginan. Engkau mencibir pipiku lalu menarik kerak bajuku hingga nafas kita bersentuhan. Lalu tiba-tiba engkau kembali melepaskannya dan terus menari. Akh, apakah cinta bagimu tumbuh dari hal-hal seperti itu?
Dinda, apakah engkau tahu perjalan seperti apa yang paling panjang bagi seorang yang sedang mencintai? Perjalanan paling panjang itu adalah perjalanan menuju cara terbaik mencintai seseorang yang dicintainya. Begitu pula denganku. Perjalanan paling panjang dalam hidupku adalah memahami hal-hal tidak engkau suka.
Mungkin engkau tak tahu bagaimana gelagatku sebelum dan saat bertemu denganmu. Aku selalu mengharapkan dan menunggu waktu untuk berada di sampingku. Dan ketika berada di sampingmu aku mencoba sebaik-baiknya agar aku menjadi seperti yang engkau inginkan, meskipun itu terkesan memaksa bagi diriku, atau bahkan juga melukaiku.
Tapi terkadang mencinta dengan tulus itu belum cukup. Kesetiaan yang paling suci pun itu belum sempurnah bagi seorang yang mencintai. Hingga pada akhirnya engkau menghukum aku dengan perasaanku sendiri. Engkau memenjarakan aku di dalam jiwamu. Engkau pergi membawa sebagian diriku. Aku tidak memaksamu untuk bertahan. Mengapa? Karena aku tidak berhak untuk menahanmu. Aku hanya memiliki kewajiban untuk memiliki mencintaimu dengan seluruh tetapi tidak berhak memaksamu bertahan di sampingku, apalagi memaksamu agar mencintaiku.
Dinda, apakah engku tahu bagaimana aku setelah kepergianmu? Hari-hariku terasa sepih dan setiap detik yang terlewatkan terasa hambar. Aku ingin bahagia tapi aku tidak mampu merasakannya. Aku ingin tersenyum tetapi aku tidak bisa melakukannya. Seandainya engkau tahu bahwa betapa hebatnya diriku hancur karena kepergianmu.
Mungkin benar, kehilangan terhebat dari seseorang yang mencintai adalah kehilangan kekasihnya. Aku sungguh-sungguh merasa kehilangan tanpa dirimu. Apakah engkau tahu bahwa kehadiranmu membuat aku percaya tentang cinta?
Dinda, sebelum kita sejauh bumi dan langit kita pernah sedekat nadi. Begitu dekat hingga kita tidak pernah berpikir untuk pergi. Kita pernah begitu dekat, hingga nafasku dan nafasmu bercampur menjadi asap doa. Benar, persembahan tersuci adalah aroma kesetiaan dari dua insan yang sedang jatuh cinta.
Sebelum kita terpisahkan oleh luka, kita pernah bersatu dalam rindu. Kita sama-sama menyeruputi kisah pada ladang cinta yang sama, lalu bersama-sama memungut peluh pada jalan yang sama pula. Kau membuat aku tersenyum dan aku membuat engkau tertawa. Akh, mungkin hal-hal yang abadi lahir dari kisah-kisah seperti itu.
Dinda, di sini sajak-sajak tentang rupamu masih tersisah. Puisi-puisi tentang rinduku untukmu masih tergenang dalam benak. Haruskah aku menulis nama lain agar sajak-sajakku kembali menyala? Atau haruskah sajak-sajakku berupa rindu agar engkau dapat pulang? Akh, tentang sajak mungkin engkau lebih memahaminya.
Aku selalu menunggumu dari dan dalam palungku. Seandainya engkau tahu bahwa rindu terbesar dari palungku adalah palingmu. Ingin terbesar dari palungku adalah pulangmu. Sejujurnya paling dan pulangmu adalah obat terbaik untuk seluruh lukaku. Paling dan pulangmu adalah candu yang menawar setiap racun dari lukaku.
Di sini palungku merindukan pulangmu dengan sangat. Palungku menunggu palingmu bersama hati yang masih milikmu. Palungku sepih, sunyi menunggu hadirnya tawamu. Palungku menanti lelahmu bersama rindu yang masih teruntuk suka dan lukamu. Kembalilah jika langkahmu lelah, berpalinglah jika tapakmu telah bernanah.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero. Tinggal di biara Rogasionis, Maumere.