(Refleksi Hari Kebebasan Pers Sedunia)
Oleh: Kris Ibu
Perihal Hari Kebebasan Pers 2021
Setiap tanggal 3 Mei, kita memeringati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Kita diajak untuk merefleksikan sejauh mana pers saat ini bebas dari hambatan dan tekanan demi memberitakan kebenaran.
Dikutip dari en.unesco.org, Hari Kebebasan Pers 2021 yang mengangkat tema “Information as a Public Good” ini pada dasarnya adalah sebuah alarm bagi pemerintah tentang perlunya menghormati komitmen mereka terhadap kebebasan pers.
Serentak hari refleksi di kalangan media tentang masalah kebebasan pers dan etika profesional, perayaan atas prinsip-prinsip dasar dari kebebasan pers, mengevaluasi kebebasan pers di seluruh dunia, membela media dari serangan kemerdekaan pers, dan memberikan penghormatan kepada jurnalis yang telah kehilangan nyawa dalam menjalankan profesinya.
Selain itu, tema yang diangkat UNESCO ini bertujuan untuk menegaskan pentingnya informasi demi kebaikan bersama, mengeksplorasi apa yang dapat dilakukan dalam produksi media, distribusi dan penerimaan konten untuk memperkuat tiang dalam bangunan jurnalisme, memajukan transparansi, dan pemberdayaan bagi semua orang.
Prinsip Kebenaran
Dunia saat ini sedang berada dalam pusaran globalisasi. Arus baru ini menawarkan berbagai macam perubahan gaya hidup manusia. Salah satunya adalah informasi.
Seseorang akan dianggap kolot dan tradisionalis apabila tidak mengetahui berita-berita yang menjadi tren atau viral di media sosial.
Kemodernan seseorang dikurung dalam konsep “up to date”: sejauh ia mengetahui sebuah informasi aktual ia adalah orang kekinian.
Akibatnya, banyak orang berburu informasi, mengumpulkan informasi, serentak membagi informasi yang menjadi hot news.
Di tengah surplus informasi inilah, oknum-oknum tertentu memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan: mereka memroduksi berita-berita bohong.
Berita tersebut dikemas sedemikian bombastis dan disuguhi berbagai bumbu untuk meyakinkan pembaca seolah-olah berita tersebut benar.
Nahasnya, ketika seseorang tidak memiliki penyaring rasional untuk berpikir kritis terhadap berita tersebut, ia rentan menjadi korban.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO menegaskan bahwa tema yang diangkat untuk memeringati Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun 2021 ini hendak menggarisbawahi pentingnya sebuah informasi yang terverifikasi dan andal yang tak terbantahkan.
Jurnalis dituntut untuk bebas dan profesional dalam memproduksi dan menyebarkan informasi (ibid.).
Pernyataan Audrey ini mau menegaskan bahwa jurnalis (dan insan pers) dituntut untuk menjunjung tinggi prinsip kebenaran dalam pemberitaan, pun penyebarannya. Jurnalis yang profesional dalam bidangnya, mampu membedakan mana informasi yang benar, dan mana informasi yang masih diragukan kebenarannya.
Dengan itu, pemberitaan yang diungkapkan ke media adalah pemberitaan yang mengandung kebenaran.
Hal ini penting. Mengapa? Silvester Ule dalam bukunya Terorisme Global. Tinjauan, Kritik, dan Relevansi Pandangan Jean Baudrillard, menulis tentang Jean Baudrillard, seorang filsuf Perancis, yang dalam salah satu karyanya, The Evil Demons of Images (1987) menegaskan bahwa pelbagai citra di media massa adalah iblis jahat dan kotor di dalam masyarakat.
Hal ini beralasan, citra di media massa merupakan penciptaan realitas baru yang tidak sesuai dengan realitas konkret masyarakat sekitar. Akhirnya, media menampakkan keangkuhan dan ketakpedulian (Ule: 2011, hlm.30).
Jurnalis sepatutnya menghindari “cap buruk” dari Baudrillard pada media ini dengan cara memberitakan kebenaran.
Hal ini penting karena menurut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam diskusi publik di Jakarta pada 11 Februari 2019 bertema: “Memberantas Jurnalis Abal-Abal”, hanya 2400 media yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi dari 47 ribu media massa (43.300 media online, 2000-3000 media cetak, dan sisanya radio dan stasiun televisi.
Itu artinya, media abal-abal berjumlah hampir 79% di mana berbagai berita yang ditulis/dimuat, tak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (mediaindeonesia.com, 11/2/19).
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apa itu kebenaran?
Dalam ilmu filsafat, kebenaran dipahami sebagai kesesuaian antara apa yang dipahami dengan kenyataan (veritas est adequatio rei et intellectus).
Oleh karena itu, jurnalis profesional adalah mereka yang mampu menyesuaikan apa yang ada dalam pikirannya dengan realitas yang terjadi.
Maka, basis fundamental dari jurnalis adalah mereka yang bersikap benar sejak dalam pikiran.
Hal ini senada dengan Pesan Paus Fransiskus (Pemimpin tertinggi Gerej katolik) untuk memeringati Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 Tahun 2021 yang jatuh pada tanggal 16 Mei 2021. Paus menegaskan pentingnya menyebarkan berita kebenaran di tengah banyaknya maraknya berita bohong.
Paus menulis, “Sejak lama kita sudah mengetahui bagaimana berita dan bahkan gambar mudah dimanipulasi, dengan pelbagai alasan. Kadang-kadang hanya narsisme belaka.”
Paus Fransiskus juga mengharapkan kita semua (khususnya para insan pers) untuk selalu bijaksana menciptakan sebuah cerita (berita).
Cerita itu mesti mengandung kebenaran di dalamnya. Paus menulis, “Kita semua bertanggung jawab atas komunikasi yang kita buat, atas informasi yang kita berikan, atas kontrol terhadap berita palsu dan bersama-sama melatih menyingkap yang benar.” Itu semua bisa dibuat jika kita berani menjadi saksi kebenaran, dengan “pergi, melihat dan berbagai”.
Kita yang hidup di era di mana setiap infomasi yang palsu dibungkus semakin canggih, di Hari Kebebasan Pers Sedunia ini, kita dituntut dua hal: Pertama, untuk para jurnalis, kita diajak untuk merefleksikan sejauh mana penerapan spirit kebenaran dalam setiap pemberitaan yang dibuat. Kedua, para pembaca/pendengar dituntut untuk memiliki penyaring rasional agar mampu menolak cerita-cerita palsu dan jahat, sebaliknya menebarkan berita yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, meski berada di era yang serba instan, kita tetap menjadi nabi yang terus mewartakan dan menyerukan kebenaran.***
Penulis adalah Alumnus STFK Ledalero, Maumere. Tinggal di Ledalero