Entalah Sampai di Mana?
Pelukannya tak hangat bagai mentari
Namun hangat hatinya menembusi
sekat-sekat karang batu yang sedang menempel di tepian pantai
Hamburan pasir di telaga hanya diam
Lautan biru membentang luas
tembusi lara
entalah sampai di mana.
Bising gulungan riuh ombak
terus menerpa karang tanpa henti
basahi setiap cela yang tak tercelah
agar semakin menyatu
dan kelak abadi bersama
gulungan badai
yang tak pernah kenal musim.
Sta. Theresia Mision, 04/05/2021
Tiada Lagi Senyum
Jalanan sepi tak ramai seperti kemarin
Aku masih berjalan menuju kepadamu
Namun ku tak tahu
entah sampai kapan
saat itu tiba
Namaku setia
bermuzafir di tengah padang ilalang
dan semak belukar
sunyi tanpa desahan
mencari kekasih hati
dicarinya dia
tanpa hari
tanpa senja
tanpa malam
di segala sudut waktu
di tengah belantara
kujumpai seorang anak
sedang menjamah duri
mengemis sesuap nasi di tengah ilalang
sayangnya tiada satu pun tadahan sejuk
Keringat dan darah menyatu bersama debu
Enggan terbang karena tiada lagi senyum
tiada lagi tenaga
untuk berkisah seperti kemarin
yang telah pergi
Lantas kepada siapakah
desahan hati ini berpaut?
Elite politik masih hanyut dalam lelap panjang
aku tak tahu
Sampai kapan hati meleleh
melebur dalam deraian air mata negeri ini?
Mater Dei, 06/05/2021.
Hari Ini dan Esok Masih Indah
Meninggalkanmu sendirian
Di tengah belantara
Bukan kutak sayangimu
Namun kasih masih berkeliaran
dan sedang jalan menuju
dengan hati yang penuh hati-hati
karena kutahu
setelah malam-malam panjang ini berlalu pasti segalanya tinggal sisa kisah
dan aku ingin kepadamu
jangan ada sesal karena esok masih ada
kemarin hanyalah jalan menujunya
jangan kandas
hari ini dan esok masih indah.
Ilizwi Biclical Centre-Zimbabwe, 08/05/2021.
Titip Rindu
Ibu sudah lama sekali kita tidak bercerita seperti kemarin-kemarin yang telah pergi.
Aku telah pergi menjauh darimu beratahun-tahun lamanya. Yang ada diantara kita hanyalah rindu dan rindu itu pun tak temu karena terhalang oleh samudra dan awan gemawan yang tak berujung. Begitu pun dengan rindu ini yang melampaui sekat-sekat batas untuk temu dan rasakan hangat pelukmu seperti yang dulu lagi. Tapi sayangnya rindu ini kandas dan apa dayaku.
Satu hal yang kuyakini bahwa di balik rindu yang dalam ini doa ibu masih saja tiada henti agar anaknya setia bertapak jelajai belantara semak belukar hingga menggapai kekasih hati. Dan dalam setiap mazmur hari-hari hidupku nama ibu selalu kudaraskan bersama ayat-ayat antifon pada setiap gelap dan terang waktuku.
Ibu janganlah hanyut dalam rindu karena setiap lantunan doaku adalah obat rindu untuk Ibu dan setiap hembusan napasmu adalah bahagiaku untuk setia bertapak menjangkau dan menjamah belukar-belukar yang setia menantiku.
Ibu salam hangat dan rinduku untukmu dan para pencinta sekalian yang setia mengalirkan hangat cinta hingga detik ini. Balutan rasa rindu itu menembusi ruang dan waktu menjamah relung hati terdalamku.
Di sana cinta setia mengalir basahi setiap resah yang menggajali tapak kaki musafir menuju pulang yang sebenarnya.
Ilizwi Biclical Centre-Zimbabwe, 07/05/2021.
Bila Nanti Seperti Dulu Lagi?
Dulu yang terbalut dalam rasa
Tersentak bersama detak jantung
Rasa mengalir bersama darah
Jelajahi sekujur tubuh
di malam panjang rindu bertamu
tak terbendung oleh dingin winter
Jelita sketsanya menggelabui mata
Hingga aku lupa lepas malam
terasa seolah gelap pergi
sebelum mentari terbit
dan terabik dari malam adalah rindu
untuk temu yang terpisah kala itu
Mungkinkah bila nanti
kembali seperti dulu lagi?
Ilizwi Biclical Centre-Zimbabwe, 08/05/2021.
Detak Jantungmu
Tenanglah dalam sepimu
tak perlu galau
Cukup hitung dan rasakan
hadirku di segala detak jantungmu.
Bila senja menjemput
daraskan namaku dalam ibadat cinta
agar sepi tidak membunuhmu
Karena pergiku adalah cara lain
jalan pulang menuju hatimu
yang sedang kelopak.
Harare, Mei 2020.
Yohanes Mau adalah salah satu penulis buku Antologi Puisi, “Seruling Sunyi untuk Mama Bumi.” Kini ia sedang bertualang di Zimbabwe-Afrika