Oleh: Marselinus Koka
Nadia berdiri di tepi jalan dengan hati setengah gelisah. Dia tahu bahwa hanya beberapa menit lagi akan telat tiba di kantor tempat ia bekerja.
Kemarin, saat senja menjelang remang, ketika kakinya hendak meninggalkan kantor, ia sempat ditegur dengan amat keras oleh pimpinannya.
“Satu kali lagi kamu telat, akan saya keluarkan kamu dari kantor ini! Percakapan selesai. Nadia pulang rumah dengan hati separuh berantakan.
Kata-kata itu membuat dia susah tidur sepanjang malam. Mematahkan semangat, merontokkan niat serta menghilangkan motivasi hidupnya.
Sejak teguran itu, Ia habis cakap, hilang kata. Dia tahu bahwa pekerjaannya adalah mata air yang sudah sejak lama menyegari dahaga ayah dan ibunya.
Sebagai anak tunggal, ia merasa bahwa pekerjaannya adalah rahmat juga hadiah bagi kedua orang tuanya. Dan kebahagiaan bagi dirinya. Tak tergantikan.
Namun sejak mendapat peringatan itu Ia merasa seperti akan mengengam pasir, semuanya akan jatuh pelan-pelan dari gengamannya sendirinya.
Pagi ini, mentari semakin tinggi, namun tak satu pun taksi yang mampir di depannya. Dia sudah setengah jam di tempat itu, berdiri menunggu. Sendirian. Berdua gunda dan bertiga dengan gelisah di hatinya.
Berempat dengan pagi yang semakin meninggi. Jam kantor sudah semakin mendekat. Namun belum satu pun taksi yang mampir. Dia sungguh tidak mencintai suasana pagi ini.
“Tuhan, kasih saya kesempatan satu kali lagi” Batinnya sesekali dan beberapa kali.
Pertolongan Tuhan datang tepat waktu. Dua menit berlalu. Sebuah mobil dari arah timur meluncur dan berhenti tepat di depannya.
Ayo naik, kata sopir sambil cepat-cepat membuka pintu mobil mempersilahkan Nadia. Ia masuk. Pintu ditutup dan mobil mulai melaju.
Dalam taksi percakapan tidak banyak. Mungkin karena keduanya sama-sama asing. Nadia tak kenal sang sopir. Juga sebaliknya.
Mereka berada dalam mobil yang sama namun serentak menganggap sebagai yang berbeda. Berhadapan dengan orang asing memang kadang memaksa kita untuk tidak berkata banyak.
Apalagi yang asing itu tidak dilihat sebagai aku dalam dirinya. Tak heran jika orang asing sering tetap dilihat sebagai yang lain. Dia berbeda dari saya.
Dia bisa menjadi kawan kalau ada keberanian untuk jujur berinterkasi tetapi selebihnya menjadi musuh jika kedua belah pihak sudah saling mencurigai. Terhadap hal ini, prinsip kehatian-hatian biasanya jadi prioritas.
Sudah lima menit dalam taksi, Nadia lebih memilih diam dan bergumul dengan gelisah hatinya. Walau begitu, sang sopir coba membangun percapakan.
Kadang dengan nada guyon. Kadang dengan sedikit serius. Namun itu tidak dihiraukan. Dia hanya minta agar segerah menghantar ke kantor tempat ia bekerja.
Sebagian hatinya disesaki cemas dan resah. Selebihnya harapan yang semakin samar-samar bahkan mengambang.
Hari itu bisa saja menjadi saat terakhir ia menginjakan kaki di kantornya. Juga bisa saja menjadi saat terakhir ia melihat teman dan sahabatnya.
Pokoknya antara keluar atau tetap bekerja. Antara sial atau untung. Antara tidak punya waktu atau masih punya kesempatan. Semuanya akan terjawab ketika Ia tiba di pintu kantor.
Mendamba harapan yang kian gamang memang selalu menegangkan. Dan persis disitu posisi hati Nadia pagi ini.
Tak ada senyum hanya gelombang kegelisahan menggunung di raut wajahnya seiring meningginya hari. Keadaan jalan semakin disesaki kendaraan, membuat laju taksi juga semakin pelan.
Hilir mudik pejalan kaki begitu terlihat. Di luar mobil beberapa anak kecil meminta dengan mata penuh harap. Satu dua kali terlihat tawa renyah di mungil bibir mereka. Seolah tak peduli dengan Nadia yang sedang ombang-ambing nasibnya itu.
Pokoknya, mengetuk dan meminta adalah jalan terakhir ketika hidup tak lagi memihak. Hanya itu yang dibuat oleh anak-anak jalanan ini.
Sopir terus berusaha dengan cerdiknya agar laju mobil berjalan lancar. Jika ada celah untuk mendahului mobil yang lain, langsung ia lakukan.
Usaha itu hanya agar bisa mempanjang hari-hari Nadia bekerja di kantornya. Nadia masih dalam perasaan yang sama. Cemas dan takut sulit dilepaspergikan dari kepalanya.
Barangkali dalam Ia berpikir seandainya punya sayap pasti akan dengan muda terbang ke kantornya. Sayangnya dia tak punya kuasa tuk sekedar memindahkan tubuhnya dari situ ke sana. Dan nyatanya ia terjebak dalam kemacetan yang parah di tengah jalan.
Mengawal sebuah pagi dengan perasaan gundah gulana memang selalu tidak menyenangkan. Ibarat bunga yang layu sebelum disengati terik.
Begitu juga keadaan hati Nadia saat ini. Hatinya sudah layu sebelum sebelum batang hidungnya tiba di pintu kantor. Kata-kata bosnya kemarian seolah-olah terus menganggu pikirannya. Ramah di kupingnya. Lalu terdengar dan terdengar lagi. Begitu terus.
******
Nadia lahir dari sebuah keluarga kecil. Seadanya. Ia anak tunggal sekaligus kumtum mawar di halaman rumah. Bagi orang tuanya Ia Deo Gratia, rahmat Allah.
Karenanya dicintai sepenuh hati dan penuh kasih yang tak main-main. Ia taat beragama dan rajin sembayang. Juga menjadi pribadi yang tangguh melampaui waktu dan tegar menerjang kelam. Setelah sekolahnya selesai, Ia mendapat pekerjaan dengan gaji yang memadai.
Di kantor, Nadia dikenal sebagai wanita taat dan berhati mulia. Dia tidak kompromi dengan lobi-lobi dan tak acuh tak acuh dengan waktu serta jarang basa-bsi dengan yang tak adil.
Semua rekan kerjanya tahu bahwa sejak bekerja di kantor itu Ia selalu bangun mendahului subuh dan tiba di kantor mengawali kawan dan sahabat. Dia komit dengan komitmen. Baik kecil maupun besar. Disiplin adalah rejeki di awal pagi. Itu prinsipnya.
Namun Nadia berubah sejak dua minggu terakhir. Kini ceriah di wajahnya mengambang sembarangan. Ujung lidahnya keluh tak bersemangat.
Ada semacam pedih yang Ia sembunyikan dan getir yang sengaja diheningkan. Ya. Hatinya retak karena kekasihnya yang tega bermain hati wanita lain, sebulan kemarin.
Mereka yang dulunya menjadi sepasang kekasih kini saling menjaga jarak. Mereka yang dulunya sepasang merpati kini menjelma menjadi seekor elang. Terbang di ketinggian. Namun sendirian. Itulah Nadia. Mengambang dengan hati yang ditinggal berantakan.
Ternyata benar, kelemahan seorang wanita itu terletak pada pada telinganya yang terlalu setia mendengarkan segala sesuatu yang dituturkan lida laki-laki, sedangkan keburukan seorang lelaki adalah terletak pada mulutnya yang manis untuk menyembunyikan lidahnya yang pahit.
Laki-laki itu bermuka domba dihadapan kekasihnya namun berhati harimau kalau ia menjauh. Laki-laki itu gunakan lidahnya untuk berkata manis di hadapan kekasihnya. Tetapi tidak dengan hati, komitmen serta kejujurannya. Agak sulit diprediksi lagaknya.
Nadia sejak saat itu, menghabiskan waktu dengan air mata di matanya. Telat pergi dan pulang kantor adalah ekspresi paling jujur dari hatinya sedang tersakiti.
Terlambat jam kerja jawaban atas perasaan yang telah diterlantarkan. Hari-harinya ditemani sunyi dan sakit hati paling sadis. Merampas dan meremuk tubuhnya.
Relungnya bisa sembuh kalau Dia rela melepaskan orang salah itu agar dapat mendapatkan orang yang tepat. Barangkali begitu.
Saat ini Nadia hanya minta pada Tuhan agar diberi semacam tabah untuk tetap bersemangat. Dan tegar untuk memperbaiki hati yang sudah tercabik. Selebihnya biar sudah.
*****
Sepuluh menit lagi Nadia akan terlambat, namun ia masih di jalan. Tanda-tanda keberuntungan seakan menjauh langkah.
Menjulang tinggi diantara langit dan bumi. Resah dan cemas membaur di sekujur tubuhnya.
Tetapi walau begitu, cantik dan imut wajahnya tetap tak luntur. Ia bagai bunga di taman. Indah dan harum mewangi.
Setelah terjebak pada macet yang panjang, sang sopir tiba-tiba menyetir mobil ke arah kiri, lalu melewati sebuah pemukiman kumuh. Hati Nadia semakin dibuat semakin gundah.
Semua pikiran negative tubuh di kepalanya. Jangan-jangan sesuatu yang buruk segerah menimpah dirinya. Atau barangkali sang sopir berniat jahat padanya. Nadia cemas dan tak nyaman.
Tapi ia sembunyikan dari rautnya. Dalam hati Ia tetap berharap semoga tidak terjadi apa-apa.
Di pemukiman ini, jalannya rusak lagi seram. Kerikil dan sisa-sisa pasir berserakan di mana-mana. Barangkali sudah puluhan tahun diterlantarkan.
Ada beberapa rumah berderet-deret di pinggir jalan, namun sebagian sudah using tak bertuan. Mungkin karena keadaan jalan yang rusak inilah membuat banyak orang tak berani melewat di sini.
Barangkali, keadaannya tidak akan seperti ini kalau saja dana untuk pengerjaannya, tidak diraup oleh tikus-tikus kantor. Bisa jadi.
Wajah Nadia legah dan ceria, ketika Ia sadar bahwa ternyata sang sopir sudah membawanya di depan kantor persis lima menit sebelum jam kantor di mulai.
Cemas dan takut berubah menjadi syukur dan sujud pada sang sopir yang jadi penentu nasibnya. Ia tunduk malu karena sempat berpikiran yang bukan-bukan selama sang sopir melewati di lorong seram itu.
“Saya, hanya ingin agar ibu tak terlambat tiba di kantor ini. Selebihnya tidak. Itu jalan singkat bu. Kata sang sopir sambil melambaikan tangan dan pergi entah ke mana.
Percakapan selesai. Nadia pun masuk kantor.
Penulis: Marsel Koka. Asal: Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Tinggal: Rogasionist Maumere-Flores