Vox NTT-Pada akhir dari Perang Dunia I, Inggris dan Perancis merebut hampir seluruh wilayah Ottoman di Timur Tengah dan mulai mempersiapkan kemerdekaan dari jajahannya.
Satu per satu negara yang dulu dikuasi oleh Sultan di Istanbul memilih pempimpinnya sendiri.
Perayaan dan kegembiraan tersebar ke mana-mana untuk menyambut kemerdekaan ini.
Dengan bantuan Inggris dan dendam terhadap bangsa Turki, revolusi Arab bertumbuh. Kemenangan tidak diraih dengan mudah. Sebanyak 160.000 jiwa hilang, namun Kekaisaran Turki tetap hancur pada akhirnya.
Hanya saja, hal berbeda terjadi semenjak 14 Mei 1948. Alih-alih perayaan kerusuhan tersebar luas, angkatan senjata dimobilisasi dalam persiapan perang dan perhatian dunia seakan terpaku pada Palestina.
Akar permasalahannya yakni ketegangan di Palestina menarik perhatian dunia, partisi membawa konflik antarBangsa Arab dan Yahudi.
Panggilan untuk perang melawan bangsa Yahudi berkumandang di Kairo.
Sepetak tanah Palestina yang baru saja diproklamasikan sebagai Israel. Bagi bangsa Arab, Israel adalah tumor penjajahan yang harus dimusnahkan.
Namun bagi bangsa Yahudi, Israel adalah buah perjuangan dari sebuah ide yang dulu dianggap tidak mungkin, bahkan haram.
Diaspora Yahudi
Pada awal Abad Masehi, Romawi menduduki Yudea. Setelah Bangsa Yahudi berontak dan gagal, Romawi menghancurkan kuil penyembahan dan mengusir sebagian besar penduduknya (Yahudi) ke seluruh Eropa.
Di Eropa, mereka disebut sebagai orang Yahudi karena dianggap menganut agama Judaisme.
Berdasarkan kepercayaan Bangsa Yahudi, Mesias Juru Selamat akan datang mempersatukan mereka semua dan kembali ke Yerusalem.
Meski demikian seperti ajaran agama lain, kepercayaan ini mulai ditantang oleh aliran filosofi baru yang berkembang pesat di Eropa dan ini semua berasal dari tiga peristiwa besar yaitu Abad Pencerahan, Revolusi Prancis, dan Perang Napoleon (sejarahwan).
Ketiga hal tersebut mengakibatkan dua hal, yaitu pemisahan agama dan kehidupan publik. Peperangan di Eropa semakin memantik perasaan nasionalisme.
Akibatnya, orang Yahudi di Eropa dipaksa melupakan tradisi mereka, demi mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat Eropa. Dan, berkat asimilasi orang Yahudi mulai melupakan ajarannya.
Bagi mereka Palestina sudah menjadi tempat yang buruk, terbelakang dan berbahaya karena dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman.
Meski diskriminasi kerap terjadi namun, Eropa Barat masih menjadi pilihan yang lebih baik. Akan tetapi, situasi berbeda di Eropa Timur.
Di Eropa Timur, di mana nilai-nilai liberalisme masih belum terasakan, diskriminasi terhadap masyarakat Yahudi jauh lebih mematikan.
Mereka dipaksa tinggal di daerah kumuh dan tidak boleh berpergian sesuka hati bahkan tidak berhak mendapatkan pendidikan.
Sebagian besar dari mereka bahkan tidak bisa berbahasa lokal dan kerap menjadi target penyerangan, bahkan pembantaian.
Bagi mereka Palestina merupakan pilihan yang jauh lebih baik dari pada tempat asal mereka.
Semenjak tahun 1880, ratusan orang Yahudi di Eropa Timur memilih untuk berpindah tempat tinggal ke Palestina, Kekaisaran Ottoman.
Hanya saja, rencana untuk melakukan imigrasi massal ini, dilakukan tanpa perencanaan yang matang sehingga banyak yang mengalami malaria, kelaparan dan ditangkap oleh pasukan Turki.
Sepertinya, harapan untuk kembali ke kampung halaman mereka telah sirna.
Strategi Herzl
Pada tahun 1889, seorang jurnalis ditugaskan untuk meliputi peristiwa politik di Prancis. Jurnalis ini bernama Theodor Herzl.
Setelah meliputi penyerangan terhadap bangsa Yahudi di Perancis ia mengambil sebuah kesimpulan pahit.
‘’Bangsa Yahudi akan tetap dianggap sebagai pendatang dan dianaktirikan di manapun mereka berada tak peduli mereka telah diasimilasi, menganut agama lokal bahkan menjadi bagian dari angkatan bersenjata negara itu. Baginya bangsa Yahudi tetap akan dibenci di manapun mereka berada”
Dengan demikian, satu-satunya solusi adalah memiliki negaranya sendiri.
Herzl merasa bahwa imigrasi ke Palestina saja tidak cukup, bahkan berbahaya.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk mendirikan Negara Yahudi adalah memastikan dukungan dari negara Eropa yang besar terlebih dahulu.
Setelah mendapatkan perjanjian resmi untuk membentuk sebuah negara barulah imigrasi massal bisa dimulai.
Di sinilah ideologi Herzl bertentangan jauh dengan ajaran Judaisme.
Apabila Judaisme didasarkan dengan agama yang menantikan keselamatan dari Mesias, ideologi Herzl didasarkan dengan Nasionalisme Yahudi.
Herzl merasa bahwa Bangsa Yahudi tidak bisa menunggu terlalu lama. Menurutnya, Bangsa Yahudi harus mengambil alih takdir mereka dan segera membentuk negara di Palestina.
Ideologi Herczl inilah yang kemudian dinamakan sebagai Zionisme.
Dan mulailah ia menyebarkan ideologinya.
Pada tahun 1897, ia mengumpulkan tokoh Yahudi dari seluruh Eropa dalam kongres Zionis pertama.
Rencana yang ditawarkan Herzl mendapatkan banyak dukungan dan penolakan.
Bagi mereka yang menentang, Zionisme membuat sebuah negara untuk Bangsa Yahudi akan melanggar Kitab Taurat, di mana hanya Mesias-lah yang bisa mempersatukan bangsa pilihan Tuhan.
Namun, Herzl tidak menyerah. Ia mulai mendekati beberapa petinggi dari Jerman yang dekat dengan Kekaisaran Ottoman.
Setelah mendapatkan dukungan mereka barulah ia beranjak ke Khaisaran Ottoman untuk meminta sepetak tanah tersebut.
Ia menawarkan bantuan keuangan bagi Kekhaisaran Ottoman, namun Kekhaisaran Ottoman yang sedang menghadapi banyak tantangan dari Eropa tidak memberikan seinci-pun tanah di Palestina.
Dan, Herzl tidak menyerah. Akibat dari kegagalanya meyakinkan kekhaisaran ia mulai mendekati musuh dari Kekaisaran Ottoman, Rusia dan Inggris.
Meskipun gagal meyakinkan Rusia, Herzl mendapatkan tawaran wilayah dari Inggris.
Wilayah tersebut, bukan berada di Palestina melainkan Uganda dan tentu saja tawaran tersebut ditolak.
Lebih nahasnya lagi Herzl tidak pernah hidup untuk melihat impiannya tercapai. Pada tahun 1904 Herzl meninggal dunia.
Kesempatan dalam Kesempitan
Pada tahun 1914, kelompok Zionis yang sudah tersebar di manca negara mengalami sebuah dilema, kekhaisaran Ottoman beserta Jerman turut berperang melawan kekuatan sekutu Inggris yang merupakan bagian dari sekutu tersebut merespons hal ini dengan mendukung nasionalisme bangsa-bangsa Arab agar memberontak pada Kekhaisaran Ottoman.
Kelompok Zionis, terbagi menjadi dua kubu, bagi orang Yahudi yang sudah menetap di Palestina Kekhaisaran Ottoman adalah harapan terbesar mereka dari ancaman Inggris yang mendukung bangsa-bangsa Arab.
Sementara, para Zionis yang ada di Eropa merasa ancaman terbesar datang dari Kekhaisaran Ottoman. Maka dari itu, Inggris-lah yang harus didukung.
Salah satu Tokoh Yahudi Eropa yang mendukung Inggris adalah seorang ilmuwan bernama Chaim Waismen.
Selama perang berkecamuk dia melobi menteri luar Negeri Inggris, Lord Arthur Balfour untuk memberikan sepetak tanah di Palestina bagi Bangsa Yahudi apabila Inggris berhasil mengalahkan Kekhaisaran Ottoman dan ini adalah balasan dari Lord Balfour:
“I have much pleasure in convenying to you, on behalf of his majesty’s government. The following declaration of sympathy with jewis Zionist aspirations which has been submitted to, and approved by the cabinet. His majesty’s government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the jewish people. And will use their best andervours to fasilitate the achievement of this object”.
Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 1918, Inggris terbukti berhasil mengalahkan Kekhaisaran Ottoman dan tidak hanya itu ia diberikan mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk berkuasa di atas seluruh tanah Palestina dan dengan kekuasaan ini, Inggris mulai mengambil kebijakan yang seakan mengingkari janjinya dengan Bangsa Yahudi.
Pada tahun 1921, Inggris membentuk kerajaan Trans Yordan dan kerajaan ini bukan bagi Negara Yahudi.
Tanpa disangka pengingkaran janji ini memantik nasionalisme ekstrem di Bangsa Arab Palestina yang menghendaki kemerdekaan serupa dan di sisi lain, Yahudi yang semakin tidak mempercayai Inggris juga membenci Bangsa Arab.
Kemerdekaan Bangsa Arab masih terhambat. Konflik antara janji sekutu yang saling bertentangan, dampak kemenangan ini masih belum bisa ditentukan.
Konflik antara Bangsa Arab dan Yahudi di Palestina semakin meningkat hari demi hari, di mana kedua belah pihak saling menyerang satu sama lain.
Dengan meningkatnya kekerasan, seorang ekstrimis bernama Vladimir Ze’ev Jabotinsky membentuk sebuah milisi Yahudi bernama Haganah.
Jabotinksy percaya bahwa Yahudi tidak boleh menerima bangsa Arab karena sudah banyak Bangsa Arab di Timur Tengah dan Bangsa Yahudi, tidak boleh mempercayai bangsa manapun termasuk Inggris.
Dengan meningkatnya kedatangan Yahudi dari Eropa kekerasan-pun turut bertambah.
Pada tahun 1939, Inggris mulai kewalahan akan konflik antara Arab dan Yahudi di Palestina.
Inggris, memuluskan rencana penghentian imigrasi Yahudi ke Palestina.
Hanya saja, tahun 1939 merupakan tahun yang sangat menakutkan bagi Bangsa Yahudi.
Jerman baru saja dikuasai oleh Partai Nazi yang berambisi memburu dan memusnahkan seluruh orang Yahudi di dunia.
Bukan hanya itu, pandangan ekstrem dari Jabotinsky-pun mendapat banyak dukungan dari orang-orang Yahudi bahkan mereka yang awalnya ingin hidup berdampingan dengan Bangsa Arab di Palestina turut terkontaminasi dengan kebencian ini.
Kelompok teror Yahudi-pun mulai terbentuk. Seperti Irgun dan Lehi.
Kelompok ini menyerang bahkan melakukan pembunuhan perwira-perwira Inggris yang dianggap menghambat imigrasi Yahudi ke Palestina.
Mereka juga menebar teror di populasi Arab. Ekstrimisme dari ke dua kelompok ini membuat beberapa tokoh Yahudi seperti Devid, mengecam tindakan mereka dan mendorong Inggris serta seluruh dunia untuk segera mengesahkan pembentukan Negara Yahudi demi menghentikan segala kekacauan di Palestina.
Inggris Lepas Tangan
Inggris semakin muak akan kekacauan di Palestina dan memilih menyerahkan Palestina ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Di bawah UNSKOP masa depan Palestina ditentukan.
Palestina akan dibagi menjadi tiga bagian: untuk Bangsa Yahudi, untuk Bangsa Arab dan Yerusalem bagi PBB.
Pada tanggal 29 November 1947, pemilihan suara dimulai dan hasilnya, 33 negara menyetujui, 13 negara menolak, 10 negara abstain, 1 negara tidak hadir.
Pada akhirnya impian dari Zionisme tercapai.
Dunia telah mengakui keberadaan Negara Israel meski tidak semuanya.
Pada 14 Mei 1948, David Ben Gurion memproklamasikan kemerdekaan Israel di Tel Aviv. Dia kemudian menjadi Perdana Menteri Israel pertama.
Pada 15 Mei 1948, Inggris mulai meninggalkan Israel dan Palestina. Beberapa jam kemudian Iraq, Mesir, Suriah dan Jordan menyerang Israel. Perang pun dimulai.
Tahun 1949 setelah menandatangani perjanjian dengan beberapa negara Arab, perang Israel-Arab pertama berakhir.
Israel, menamai perang ini “Perang Kemerdekaan”. Sedangkan, Palestina menamai perang ini Al Nakba atau ‘’Bencana”.
Sumber: Sepenuhnya tulisan ini diambil penulis dari Akun Youtube Hipotesa, Video diunggah tanggal 13 Maret 2021 dengan judul Bagaimana Israel Bisa Ada? |Zionisme, Palestina dan Konflik Timur Tengah. Penulis menarasikan ke dalam teks dengan beberapa perubahan kecil.
Penulis: Ronis Natom