Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Sabtu pagi, saya mendapatkan kiriman video dari seorang teman baik. Bersama video, teman itu menitipkan pesan agar saya mendengar suara dari video tersebut. Ketika itu, saya sementara menyelesaikan sebuah artikel yang membahas tentang praksis nilai Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kalimat terakhir yang saya tulis waktu itu ialah literasi Pancasila harus diberikan tidak kepada rakyat jelata tetapi kepada elite dan kaum cerdik pandai. Sebab, faktanya, yang sering menelikung Pancasila bukan rakyat kebanyakan tetapi kelompok elite dan kelas menengah atas dalam strata sosial.
Dalam hitungan menit, berseliweran berita di media online terkait video viral tersebut. Pesan utamanya jelas. Suara yang ada divideo tersebut diduga mirip dengan suara Ketua DPRD Kota Kupang, Yeskiel Loudoe.
Awalnya saya ragu dengan suara tersebut. Apalagi ada dugaan kalau pemilik suara adalah Ketua DPRD Kota Kupang. ‘Tidak mungkin’, saya menggumam dalam hati. Saya ragu karena beberapa hal. Pertama, DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat. Karena itu, tidak mungkin pimpinan dewan mengeluarkan pernyataan murahan seperti itu. DPRD adalah rakyat dan rakyat adalah DPRD.
Kedua, saya masih percaya riset Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI tahun 2020. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa Kota Kupang menempati urutan ketiga sebagai kota paling toleran di Indonesia.
Setelah lama saya berpikir, muncul banyak sekali link berita. Nyaris semua media online menyebut bahwa benar bahwa suara dalam video tersebut adalah suara dari Ketua DPRD Kota Kupang.
Saya akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan, jika boleh disebut tulisan. Bisa juga dinamakan curahan hati untuk tidak menyebut ungkapan perasaan kepada Ketua DPRD Kota Kupang, Yang Amat Budiman.
Karena itu, tulisan ini bukanlah bentuk kemarahan saya; bukan pula kritik. Ini adalah ungkapan hati seorang warga kota yang peduli tidak saja terhadap riak politik masyarakat kota tetapi peduli dengan marwah dan wibawa lembaga perwakilan rakyat.
Pembelokan Isu
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, perlu disampaikan konteks keberadaan rekaman suara di video tersebut. Konon sehari sebelumnya, Koalisi Rakyat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Kota Menggugat (SIKAT) melakukan demonstrasi terkait mandeknya sidang dewan kota dengan agenda membahas pertanggungjawaban Walikota Kupang.
Oleh pemilik Suara Tak Bertuan (STB), demonstrasi tersebut (pemilik STB menyebutnya sebagai mosi tidak percaya) dianggap illegal. Illegal karena peserta aksi berasal dari agama tertentu dan suku tertentu pula. Karena itu, pemilik STB menuduh aksi tersebut telah ditunggangi oleh satu dua kepentingan.
Ini yang disebut dosa. Dosa logika Ketua DPRD Kota Kupang (jika memang suara itu milik Ketua DPRD Kota Kupang). Bagi saya, pernyataan pemilik suara yang tak bertuan (STB) dalam video tersebut menunjukkan beberapa gejala.
Pertama, membaca nada suara, kuat dugaan pernyataan itu dipenuhi dengan luapan emosi. Karena emosi, basis argumentasinya serampangan. Pernyataan itu menunjukkan infantilitas dan kekerdilan berpikir elite dalam menanggapi isu yang dibawa kaum demonstran. Faktanya, setelah saya cek dari pernyataan sikap SIKAT, tidak ada satu kata, frasa, dan kalimat yang menyebut identitas di sana.
Bukannya menjelaskan alasan penundaan sidang dewan, pemilik STB malah menyebut dengan suara lantang, kaum demonstran hampir semuanya berasal dari Flores dan kebanyakan dari Manggarai dan beragama Katolik. Demonstran yang berasal dari Flores-Manggarai dan beragama Katolik sedang menyerang Ketua DPRD, Yeskiel Loudoe, yang berasal dari Rote dan beragama Kristen Protestan. Sebuah kerja playing victim yang sungguh paripurna.
Pemilik STB cekat membelokan wacana kinerja dewan ke isu perseteruan agama dan etnis. Kenaifan paripurna jelas terlihat di sana. Naïf karena dua alasan pokok. Pertama, dalam logika pemilik STB, yang berhak melakukan demonstrasi di Kota Kupang ialah warga kota berdasarkan hukum administrasi. Selain warga kota, haram hukumnya bagi warga lain untuk melakukan protes.
Kedua, gugatan demonstran untuk menuntut diadakannya sidang dewan malah dibelokan menjadi isu penyerangan terhadap diri dan individu tertentu berbasis etnis dan agama. Pemilik STB mungkin menginginkan bantuan dari elemen sesama etnis dan agama di tengah gempuran anggota dewan yang lain dan masyarakat kota atas buruknya kinerja ketua dewan.
Pemilik STB lupa bahwa aktor utama yang melakukan demonstrasi adalah mahasiswa. Di mana pun, mahasiswa adalah elemen sosial yang bersifat nomaden dan bisa berada di mana pun tergantung lokasi pendidikannya. Jika banyak lembaga pendidikan berada di Kota Kupang, untuk 4-5 tahun, mahasiswa tersebut merupakan warga kota dan menjadi bagian sah dari kota ini. Selain itu, jika pemilik STB paham betul, mahasiswa adalah elemen utama penggerak perubahan. Demonstrasi adalah cara terbaik mahasiswa dalam menuntut pertanggungjawaban publik pemangku kepentingan.
Di soal lain, kuat dugaan, suara itu mem-frame isu, dari politik ke isu sosial keagamaan. Tujuannya jelas. Agar masyarakat melihat pemilik STB sebagai pihak yang dirugikan dan menjadi korban dari keganasan suara masyarakat. Itulah alasan, pemilik STB menyebut kaum demonstran menyerang Yeskhiel Loudoe yang berasal dari Rote dan beragama Kristen Protestan.
Amat bahaya jika pernyataan ini terus dibiarkan liar dan berkembang di masyarakat. Saya sangat percaya warga Kota Kupang sudah sangat cerdas dan tidak mudah diprovokasi oleh beragam isu murahan elite. ‘
Namun demikian, tetap saja pernyataan ini laik diperiksa oleh otoritas berwewenang baik di dewan kota maupun oleh PDIP secara kelembagaan, gubernur, dan elemen terkait lainnya. NTT sedang aman dan damai. Jangan dipilah dan dipecah oleh pernyataan tidak berbobot yang hanya mengumbar kebencian antaretnis dan agama.
Untuk apa menarik-narik agama dan etnis jika tidak memiliki kepentingan tertentu dengan dua agama dan etnis itu? Saya yakin, pemilik STB itu gagal paham dua isu utama di kasus ini. Memanfaatkan etnis dan agama untuk tujuan politik adalah model politik kuno dan bar-bar. Itu sama dengan kerja manusia yang gagal fokus politik. Pernyataan murahan tersebut menggambarkan dengan amat terang soal politisi amatiran.
Imaji Tirani dan Otoritarianisme
Melarang mahasiswa berteriak menyampaikan suara dan tuntutan sama dengan menghidupkan kembali imaji tirani dan otoritarianisme. Dalam teori gerakan massa, demonstran itu merupakan elemen yang cair. Dia tidak bisa diperiksa secara individual dalam konteks demonstrasinya itu, untuk disebut dan dijadikan alasan pelarangan demonstrasi.
Demonstran adalah rakyat, entah di mana kegiatan itu dilakukan; apalagi jika demonstrasi itu dilakukan oleh mahasiswa. Secara administrasi kependudukan, kebanyakan mahasiswa merupakan elemen nomaden yang belum memiliki alamat yang pasti. Sebab kehadirannya di suatu tempat hanya untuk tujuan studi. Masalahnya, apakah mahasiswa dari daerah lain tidak boleh melakukan demonstrasi hanya karena dia bukan berasal dari daerah itu secara administratif? Itulah kesalahan terbesar pemilik suara tak bertuan tadi.
Lepas dari luapan banyak pernyataan saya di atas, kasus ini tidak boleh dibiarkan lepas. Bola liar bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk merusak keamanan dan ketentraman masyarakat Kota Kupang dan NTT. Pilihannya ialah membiarkan pemilik STB bebas bergerak atau segera diperiksa untuk tujuan keamanan dan kedamaian warga kota? Logika dan wacana yang dibangun pemilik suara tak bertuan sulit diterima. Membiarkan isu ini tumbuh dan berkembang sama saja masuk ke ruang sempit peradaban.