Oleh: Om Gege
Puluhan massa mahasiswa anggota sejumlah ormas mahasiswa dan paguyuban mahasiswa kedaerahan menggelar unjukrasa di Mapolda NTT. Mereka menuntut proses hukum terhadap Ketua DPRD Kota Kupang yang juga Ketua DPC PDIP Kota Kupang Yeskiel Loudoe.
Tak Cuma menuntut, aliansi mahasiswa juga bertindak sebagai pelapor. Laporan yang diterima Unit Cyber Polda NTT dan telah diteruskan ke Bareskimitu bernomor: LP/B/158/V/RES./2021/SPKT.
Unjukrasa mahasiswa tersebut berkaitan dengan rekaman pernyataan Yeskiel Loudoe yang beredar di banyak grup whatsapp komunitas-komunitas di Kota Kupang yang kemudian diberitakan media massa.
Pernyataan Yeskiel kental dengan politisasi sentimen SARA. Ia tampak menggunakannya sebagai bentuk defence terhadap desakan unjukrasa warga sebelumnya yang senada tuntutan rekan-rekan Yeskiel di DPRD Kota Kupang, minta Yeskiel meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPRD Kota Kupang.
“Berikut yang bertanggung jawab dalam mosi ini, dalam demo ini ada enam orang yang hampir keseluruhan beragama Katolik dari Flores meminta Ketua DPRD Kota Kupang, Yeskiel Loudoe yang beragama Protestan untuk turun. Ini supaya masyarakat tahu yah.” Demikian sebagian penggalan pernyataan Yeskiel di dalam rekaman yang beredar dan dimuat hampir seluruh media massa daring pada 29 April 2021.
Pernyataan Yeskiel Loudoe memancing kecaman luas dari publik Kota Kupang, bahkan NTT, baik dari kalangan masyarakat sipil, pun komunitas politik. Sejumlah parpol, seperti PKS, PSI, dan partai baru, PRIMA merilis pernyataan sikap mengecam pernyataan Yeskiel.
Yeskiel sendiri sudah menyampaikan klarifikasi pada 30 Mei. Ia menyatakan tidak bermaksud melukai perasaan orang Flores dan Katolik. Ia juga sampaikan permintaan maaf karena rekaman suara yang ia klaim diedit itu sudah menyinggung perasaan orang Katolik dan Flores.
Unjukrasa dan laporan ke polisi sejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung di dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Anti-SARA dilakukan pada 1 Juni, dua hari setelah permintaan maaf Yeskiel. Menurut pemberitaan media, mahasiswa melakukan unjukrasa karena laporan mereka ke polisi sehari sebelumnya ditolak dengan alasan personal unit Cyber Polda NTT tidak berada di tempat.
Rupanya hal ini membuat sejumlah orang penasaran dan menanyakan pendapat saya. Mengapa mahasiswa masih hendak memidanakan Ketua DPRD Kota Kupang yang juga Ketua PDIP Kota Kupang itu sementara yang bersangkutan sudah mengajukan permintaan maaf. Karena repot menjawab satu persatu, saya bikinkan saja artikel ini.
Tentu saja, saya tidak dalam kapasitas mewakili para pengunjukrasa menjawab rasa penasaran orang-orang. Saya tidak mengenali mahasiswa-mahasiswa yang berujukrasa. Tetapi saya setuju tindakan mereka. Karena itu artikel ini menjelaskan pandangan pribadi saya mengapa laporan ke polisi tetap perlu – sebenarnya yang saya inginkan adalah PDIP mengganti posisi Yeskiel di kepengurusan tingkat kota dengan figur yang lebih nasionalis, yang anti-politik SARA – sekalipun Yeskiel sudah mengklarifikasi pernyataannya.
Alasan pertama, Yeskiel tidak sungguh-sungguh minta maaf.
Sebelum menjelaskan ini, ada baiknya kita ganti saja penggunaan nama Yeskiel dengan jabatannya sebagai Ketua PDIP Kota Kupang dan atau Ketua DPRD Kota Kupang. Ini untuk menunjukkan, persoalan kita bukan dengan diri pribadi Yeskiel melainkan dengan kapasitasnya selaku pejabat publik sekaligus pimpinan politik. Dosa Yeskiel menjadi berlipat ganda beratnya karena ia pimpinan politik (Ketua PDIP Kota Kupang) dan pejabat publik (Ketua DPRD Kota Kupang).
Jika membaca cermat pernyataan Ketua PDIP Kota Kupang di media massa, teranglah bahwa sebenarnya ia tidak minta maaf juga tidak mengklarifikasi. Yang Ketua PDIP Kota Kupang lakukan adalah excuse atau dalam bahasa gaul anak muda tempo dulu ngeles.
Excuse adalah a reason or explanation put forward to defend or justify a fault or offense, ‘alasan atau penjelasan yang diajukan untuk membela atau membenarkan kesalahan atau pelanggaran’. Bahasa Indonesianya berdalih, ‘mengemukakan alasan (yang dicari-cari) untuk menghindari tugas atau menutupi perbuatan yang salah atau tercela.’
Ketua PDIP Kota Kupang berdalih pernyataannya diedit. Padahal sekalipun tidak seluruh pernyataan Yeskiel pada momentum percakapan dengan wartawan itu termuat di dalam rekaman, tetap saja kalimat-kalimat yang membenturkan identitas suku dan agama pengujukrasa dengan identitas suku dan agama Ketua PDIP Kota Kupang hadir berulang-ulang di sana.
Bagian inilah yang diprotes banyak pihak sebab berpotensi memancing konflik antara suku-suku dan penganut agama di Kota Kupang. Tetapi Ketua PDIP Kota Kupang seperti tidak mau tahu dengan kecaman rakyat. Ia malah mengalihkan substansi ke hal yang sama sekali tidak dipersoalan rakyat, yaitu bahwa pernyataannya menyinggung agama Katolik dan orang-orang Flores.
“Saya peribadi tidak mempunyai niat untuk melecehkan agama katolik,” kata Ketua PDIP Kota Kupang dan untuk itu ia minta maaf.
Are you kidding? Periksa pemberitaan media massa tentang respon warga, Adakah yang bicara tentang Ketua PDIP Kota Kupang melecehkan agama Katolik? None! Orang-orang mengecam karena pernyataan Ketua PDIP Kota Kupang memancing konflik SARA, bukan melecehkan agama Katolik.
Permintaan maaf Ketua PDIP Kota Kupang, selain tidak tepat sasaran juga bermakna ia tidak menyesali tindakannya. Penyesalan versi Ketua PDIP Kota Kupang adalah pernyataannya sudah membuat orang-orang Katolik dan Flores merasa dilecehkan, dan itu bukan salah Ketua PDIP melainkan salah orang yang mengedit pernyataannya.
Jadi yang Ketua PDIP Kota Kupang sesalkan adalah perasaan dilecehkan pada diri orang-orang Katolik, dan perasaan itu merupakan dampak dari pernyataanya yang disalahpahami sebab diedit orang tak bertanggungjawab. Dalam pemberitaan media massa, Ketua PDIP Kota Kupang tidak menyampaikan permintaan maaf karena pernyataannya memancing reaksi dukungan orang-orang Rote dan Protestan terhadap dirinya dari desakan mundur oleh pengunjukrasa yang ia klaim dipimim orang-orang Katolik dan Flores. Ia seperti tidak mau tahu bahwa taktik politiknya itu bisa berdampak mengerikan, pecahkan konflik SARA antara kelompok etnis dan agama.
What a poor excuse! Kata orang, lain gatal lain yang digaruk.
Alasan kedua, pernyataan Ketua PDIP Kota Kupang sangat berbahaya sehingga jika tanpa ganjaran berefek jera, ia bisa mengulanginya dan politisi lain mungkin saja menirunya.
Risiko yang ditimbulkan pernyataan Ketua PDIP Kota Kupang bukan cuma meletusnya konflik SARA di Kota Kupang. Pada Sabtu, 29 Mei, setelah mendapat rekaman pernyataan Ketua DPRD/Ketua PDIP Kota Kupang dari seorang pemimpin redaksi, saya berkomentar di media sosial, “Mengapa jadi seperti ada kesamaan pola dengan di scope nasional, stigma Taliban kepada KPK, pun label kadrun kepada siapa saja pengkritik kekuasaan?”
Di masa Pilpres 2024, semenjak kampanye hingga beberapa saat pascapencoblosan, perdebatan politik di ruang publik didominasi topik jorok, sentimen kebencian agama. Tidak dapat disangkal keberadaan kelompok-kelompok fundamentalis politik agama yang menumpang gerbong salah satu capres, memproduksi wacana ber-tone kebencian agama untuk meraih dukungan politik.
Banyak orang terpaksa mendukung Jokowi demi memerangi politik SARA ini, mencegah agar jangan sampai kelompok-kelompok fundamentalis pedagang kebencian agama memenangkan pemilu dan pilpres. Saya termasuk di dalamnya, bekerja menulis artikel setiap hari untuk mencegah kemenangan kaum fundamentalis yang menumpang gerbong Prabowo Subianto.
Tetapi selewat momentum pilpres, ketika daya dongkrak kebencian SARA mereda, dan rakyat umum yang termakan sentimen itu mengempis jumlahnya, pemanfaatan isu SARA tampak berbalik pihak. Isu agama justru dieksploitasi oleh para pendukung kekuasaan Joko Widodo untuk menghadapi kritik rakyat umum terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi.
Kritik terhadap program-program ekonomi yang sangat pro-oligark dan korbankan rakyat dibalas dengan stempel kadrun. Perlawanan para pegawai KPK terhadap pelemahan lembaga itu melalui revisi UU KPK dipukul balik dengan cap Taliban. Praktik-praktik ini serupa Orde Baru menggunakan isu komunisme. Politik fundamentalisme agama garis keras dan komunisme sama-sama menjadi komoditi untuk meraih dukungan rakyat.
Sepertinya para pendukung kekuasaan Jokowi sadar betul, ketakutan terhadap pengaruh fundamentalisme agama di lapangan politik menjadi satu-satunya alasan rakyat masih mendukung Jokowi di periode kedua kekuasaannya. Maka keberadaan kelompok politik fundamentalisme agama garis keras dieksploitasi, dibesar-besarkan, dijadikan ‘musuh’ yang berfungsi sebagai semen pengikat para pendukung rezim agar tetap loyal.
Rupanya saya tidak sendirian menilai hal ini. Karlina Supelli, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dalam Webinar pada 1 Juni 2021 menyatakan saat ini kualias demokrasi di Indonesia saat ini anjlok sebab dilemahkan oleh elit kekuasaan melalui tiga strategi. Strategi pertama adalah pelemahan civil society melalui polarisasi politik identitas, agama, dan lain-lain, sehingga masyarakat sipil terbelah [Lihat Bicaralah.com (2/6/2021), “Karlina Supelli: Pelemahan Demokrasi Sekarang Ini Lebih Sadis Dari Kudeta Tengah Malam”.].
Saya menduga, strategi yang sukses di cakupan nasional ini yang hendak direplikasi Ketua PDIP Kota Kupang, entah spontan hasil kreasi alam bawah sadarnya (tidak sengaja atau khilaf) atau ada konsultan politik yang mendrive-nya (by design).
“… yang bertanggung jawab dalam mosi ini, dalam demo ini ada enam orang yang hampir keseluruhan beragama Katolik dari Flores meminta Ketua DPRD Kota Kupang, Yeskiel Loudoe yang beragama Protestan untuk turun. Ini supaya masyarakat tahu yah.”
Siapa yang terlalu bodoh untuk tidak memaknai pernyataan ini sebagai upaya mencari dukungan penduduk Kota Kupang berlatar belakang etnis Rote atau beragama Protestan demi melindungi diri dari desakan pengunjukrasa?
Maka tepatkan desakan mahasiswa agar kasus ini tidak selesai dengan excuse Ketua PDIP/Ketua DPRD Kota Kupang. Ganjaran berefek jera dibutuhkan agar jangan ada lagi manuver politik yang berisiko konflik SARA melainkan juga demi menghadang mekanisme pertahaan diri elit kekuasaan melalui pelehaman daya kritis rakyat dengan ekspoitasi kebencian SARA.
Pada artikel selanjutnya, kita akan membahas kekeliruan argumentasi dari para pihak yang menolerir tindakan Ketua DPRD/Ketua PDIP Kota Kupang, yang mengangap pernyataan Yeskial Loudoe sebagai respon wajar terhadap kondisi politik dan sosial yang di Kota Kupang.***
Salam #MenangkanPancasila. Om Gege.