Oleh: Yohanes A. Loni
Situasi politik di Indonesia di tahun 2024 yang akan mendatang marak dan ramai dengan berlangsungnya dua perhelatan politik akbar, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden sebagai perwujudan cita-cita negara demokrasi.
Kedua peristiwa politik ini membangkitkan perasaan-perasaan tertentu di dalam diri kita: antara gembira dan gelisah, cemas dan penuh harapan.
Jika ditanya, apa gelisahan yang mencemaskan pemilu 2024, jawaban mungkin akan berbeda-beda, namun di balik semua jawaban itu tersirat sebuah hasrat yang sama, yakni terselenggaranya tata kelola pemerintah yang baik (good goverance).
Pada hemat penulis, tulisan ini ingin menyoroti sisi-sisi gelap yang melahirkan perasaan cemas dan gelisah, menyongsong Pemilu di 2024. Penulis melihat sisi gelap, dan ahkirnya dengan beberapa catatan tentang tata kelola pemerintahan yang baik.
Kegelisahan Pemilu 2024
Melihat sisi gelap situasi Indonesia menyongsong pemilu 2024. Yang ingin saya soroti, yakni masalah korupsi yang kian merajalela, terutama di kalangan dewan perwakilan rakyat; rendahnya kualitas para calon anggota legislatif; fenomena politisi “kutu loncat”; bahaya partai-partai politik radikal ekstrim fundamentalis dan partai bentukan mantan petinggi militer Orde Baru; dan ancaman mobokrasi serta kakostokrasi.
Korupsi: Dosa Lama yang Belum Sirna
Korupsi telah lama menodai kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi, hal ini menjadi jauh lebih menyolok pada masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto, di mana sebagian dana pinjaman luar negeri dikorupsi setiap tahun mulai dari pusat hingga daerah. (Hasil Investigasi BBC tahun 2002 memperlihatkan, sepertiga pinjaman Indonesia dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) masuk ke kantong pribadi Soeharto dan kroni-kroninya).
Korupsi bahkan sudah merasuk masuk sampai ke masyarakat paling bawah, yakni tukang jual obat, menyamar menjadi penceramah agama yang kontroversi, dan sebagainya.
Mungkin bukan khas Indonesia, tetapi korupsi oleh wakil rakyat mulai dari pusat hingga daerah sudah menjadi lagu lama dan sama merajalelanya seperti di lembaga-lembaga eksekutif dan judikatif di negeri ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa DPR/D menjadi sarang korupsi.
Modus operandinya variatif, seperti memanfaatkan hak legislas, menjadi calo proyek-proyek tertentu di daerah untuk mendapat legitimasi DPR, berkolusi dengan pemerintah daerah serta pengusaha, dan lain-lain.
Politisi “Kutu Loncat”: Pengkhianat Partai dan Pengkhianat Rakyat
Suatu fenomena yang dapat diamati menyangkut perilaku para politikus menjelang pemilu adalah politisi “kutu loncat”. Kita lihat, tak sedikit politikus hengkang dari partainya karena merasa tak puas dengan keputusan partai yang menempatkan dia pada posisi bawah dalam nomor urut daftar caleg; suatu hal yang bertentangan dengan hasratnya untuk menjadi calon nomor urut satu yang dinggap “nomor jadi”.
Siapakah yang beruntung dan siapa pula yang malang dalam situasi semacam ini? Saya kira, tidak satupun dua parpol yang beruntung. Parpol yang ditinggalkan tentu saja dirugikan karena “kader”nya “hilang” atau “berkhianat”; sementara parpol “penadah” juga diusahakan karena tidak bisa mendapatkan komitmen pasti untuk partai dari “kader baru”-nya. Ada semacam kecemasan bahwa caleg bakal hengkang lagi mencari peluang yang lebih baik pada partai lain.
Seorang politikus “kutu loncat” bukan terutama karena kehendak partai melainkan karena adanya negosiasi dengan sejumlah pengurus partai atau calo internal partai yang ingin mendapatkan “imbalan” dari si politisi “kutu loncat”.
Yang patut dipertanyakan dari para politisi “kutu loncat” adallah soal arah kesetiaan atau komitmen mereka ketika menjadi anggota legislatif. Secara teoritis, anggota DPR(D) adalah wakil rakyat.
Namun, kenyataannya, yang menduduki kursi DPRD adalah wakil-wakil parpol. Dengan demikian, para anggota memiliki ketertarikan kontraktual yang lebih kuat dengan partainya daripada dengan rakyat pemilih. Akibatnya, seorang anggota legislatif bisa menjadi jauh lebih loyal kepada partainya daripada rakyat yang telah memilihnya.
Partai Politik Berideologi Agama
Kecemasan dan kegelisahan juga muncul dari dua gejalah di sejumlah tubuh parpol yang dapat mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara sekular dan plural, yakni pembentukan parpol-parpol berbasis ideologi agama dan partai-partai bentukan mantan petinggi militer Orde Baru.
Kecemasan kita terutama kaum minoritas, berkaitan dengan kelahiran beberapa parpol berideologi agama.
Sebetulnya, ini bukan hal baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, benih-benih partai berbasis ideologi agama sudah ada, dan bahkan dalam beberapa pemilu terahkir sudah ada partai-partai agama berciri nasionalis seperti partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional.
Yang mencemaskan karena mengancam Ke-bhineka-tunggal-ika-an Indonesia bukanlah parpol-parpol ini, tetapi partai-partai yang secara terang-terangan ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi dan dasar negara yang bernafaskan Pancasila dengan ideologi dan dasar negara yang bernafaskan dan berlandaskan agama tertentu dengan cenderung radikal dan fundamentalis.
Partai-partai radikal yang memperjungkan ideologi agama tertentu sebagai jiwa sekaligus sebagai praksis hidup berbangsa dan bernegara, seperti penerapan hukum agama tertentu akan cendrung menindas hak-hak asasi kaum minoritas agama dan budaya tertentu di negeri ini.
Siapakah yang beruntung dan siapa pula yang malang dalam situasi semacam ini? Saya kira, tidak satupun dari dua parpol yang beruntung. Parpol yang ditinggalkan tentu saja dirugikan karena “kader”nya “hilang” atau “berkhianat”; sementara parpol “penandah” juga diusahakan karena tidak bisa menempatkan komitmen pasti untuk partai dari “kader baru”-nya.
Ada semacam kecemasan bahwa calek bakal hekang lagi mencari peluang yang lebih baik pada partai lain. Masalah diperumit karena adanya negosiasi dengan sejumlah pengurus partai atau calo internal partai yang ingin mendapat “imbalan” dari sisi politisi “kutu loncat”
Kontrol Politik dalam Media Massa
Meningkatnya peran media dalam memberikan pendidikan politik sekaligus melakukan kontrol terhadap pemerintah dan DPR merupakan salah satu perubahan menonjol pada era reformasi saat ini. Jauh berbeda era Orde Baru di bawah rezim Soeharto, dimana kontrol pemerintah amat ketat terhadap media, yang terjadi justru sekarang sebaliknya.
Di samping memberikan pendidikan kritis kepada masyarakat, media masaa dan elektronik telah menampilkan diri sebagai instrumen yang relatif independen dan otonom. Pemerintah tidak lagi menyensor media dengan cata-cara represif dan intimidatif seperti pada masa Orde Baru.
Media telah menjadi alat dan sarana belajar politik bagi masyarakat. Bahkan, dengan menampilkan segi-segi kekuarangan dan kecurangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara- legislatif, eksekutif dan judifikatif- mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan para elaku pasar yang hendak berkolisi dengan aparat negara, media lebih membantu masyarakat untuk bisa menilai secara kritis kinerja lembaga-lembaga tersebut dan dengan demikian dapat mengambil sikap politik tertentu menjelang pemilu 2024.
Pemilu yang Demokratis
Salah satu keutamaan demokrasi adalah bahwa sistem mempenyelenggaraan kekuasaan yang menempatkan semua rakyat pada posisi yang sama. (Bdk. Paul Budi Kleden, “Kenaapa Demokrasi? Mencari Kekuatan dan Kelemahan Demokrasi,” dalam jurnal Ledalero, II, 2003, hlm.5-18.
Sejauh mungkin semua warga yang telah mencapai usia tertentu berhak memiliki dan mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Demokrasi tidak memperkenankan adanya diskriminasi dalam distribusi kesempatan berpendapat dan menyatakan pendapat.
Pembatasan kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses peralihan kekuasaan mesti dikurangi sejauh mungkin.
Maksudnya, syarat untuk membatasi penggunaan hak seseorang sebagai warga sebuah negara demokratis diusahakan seminimal mungkin.
Tidak ada warga yang dilarang berpartisipasi dalam kehidupan bersama karena alasan-alasan yang bersifat primordial seperti suku, ras, agama, dan gender.
Demokrasi didasarkan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan bahwa kedaulatan rakyat itu mengungkapkan dirinya dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan.
Seorang warga disebut berdaulat apabila dia mengetahui apa yang menjadi hak yang dapat dituntutnya dari kesatuan politis yang ada, dan apabila dia memunyai hak untuk menentukan orang yang melaksanakan apa yang dikehendakinya itu.
Misalnya, seorang warga yang berdaulat tahu bahwa negara berkewajiban menjamin kesejahteraan warganya dan bahwa dia memiliki hak untuk memberikan kepercayaan kepada politisi tertentu guna memimpin negaranya.
Pemilu 2024 dan Dambaan akan Good Goverence
Dari sorotan catatan kritis tentang pemilu 2024 terpacar suatu kerinduan dalam benak kita akan sebuah tata kelola pemerintah yang baik (Good Goverence) sebagai buah dari proses politik lewat pemilu 2024.
Tata kelola pemerintah yang baik mengandaikan partisipasi banyak pihak; pemerintah, serikat buruh, petani, pemimpin agama, kaum intelektual, media masa dan pelaku pasar, yang kalau dikelompokan, menjadi tiga dominan utama, yaitu negara, pasar dan masyarakat sipil.
Kita berharap, lewat pemilu yang demokratis, tidak terjadi dominasi salah satu pihak. Karena, jika salah satu atau dua dari ketiganya mendominasi, mimpi tentang sebuah tata kelola pemerintah yang baik bakal gagal.
Yang terjadi sebaliknya: muncul pengambil keputusan yang buruk (bad goverance), atau lebih buruk lagi pengambil keputusan serta berbagai implementasinya yang mengarah pada kejahatan, termasuk KKN (evil goverance)
Kita berharap, pemilu 2024 mengurangi dan bahkan meniadakan dominasi negara sehingga tidak terjadi lagi sentralisme politik yang menekankan segi administratif. Dengan demikian, hegemoni negara yang menghambat partisipasi rakyat dan pertumbuhan pasar, dapat dihindari.
Ahkirnya, kerinduan lain dari pemilu 2024 adalah dicegahnya praktek KKN antra pemerintah dan pelaku pasar (pemodal).
Kalau pelaku pasar menguasai birokrasi, maka segala kebijakan negara amat mungkin mengarah kepada perlindungan kepentingan pelaku pasar; bukan kepentingan rakyat.
Segala regulasi-administratif yang diasilkan adalah produk kolektif-kolutif antara keduanya sebagai upaya mendapatkan legalitas bagi kepentingan pasar. Hal ini tampak misalnya, ketika sejumlah tanah milik masyarakat adat atau kawasan-kawasan usaha ekonomis tradisional rakyat (nelayan dan petani) begitu saja diambil pemerintah untuk diserahkan mengelolahnya kepada pengusaha yang datang berinvestasi di daerah.
Maka, kita harus lebih banyak memikirkan strategi jangka panjang, agar demokrasi dapat terwujud secara lebih baik dari pemilu ke pemilu.
Kita perlu merancang capaian tahap demi tahap hingga perwujudan yang paling ideal. Tentu ini utopi, jika utopi diartikan sebagai suatu kerinduan akan suatu keadaan yang lebih baik, maka entah pemilu 2024 ataupun pemilu-pemilu lain yang menyusulkan tak pernah akan menghasilan tata kelola pemerintah yang baik.
Dengan kata lain, kita akan tetap terbelenggu dalam berbagai keterpurukan sebagai suatu bangsa dan negara bakal sirna. Kalau pemilu hanya menghasilan bad goverence atau malah evil goverence, sebuah tata kelola pemerintah yang diwarnai oleh mobokrasi dan kakostokrasi.
Penulis adalah Mahasiswa Awam Sekolah Tinggi Filsafat katolik Ledalero (Semester VIII), Anggota PMKRI Cabang Maumere, Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa/i Manggarai di Maumere (IMAMM) periode 2020/21, Mantan Wakil Peguyban Mahasiswa Awam STFK Ledalero Periode 2019/2020, Asal Manggarai Timur-Kecamatan Kota Komba