Oleh: Yohanes Boli Jawang
Abstrak
Allah telah menciptakan bumi dan segala isinya. Allah juga menciptakan manusia untuk menjaga dan mengolah alam (bdk.Kej 1:28). Di sini manusia tempatkan dalam tataran yang melebihi segala ciptaan yang lain karena akal budi. Namun, apakah karena tugas yang diterima dari Allah dan derajat manusia itu, manusia boleh menggarap bumi ini dengan sesuka hati? Dalam tulisan ini, pertama-tama penulis menggambarkan bumi dan situasinya secara umum, dan kemudian melihat situasi bumi sekarang apa yang sedang terjadi. Pemanasan global merupakan permasalahan yang dibahas. Tangisan tak bersuara dari bumi karena sikap manusia yang tidak pernah merasa puas. Dengan fenomena ini juga dilihat sebagai suatu sapaan dari bumi. Bumi menyapa manusia untuk sesegera membenahinya yang sedang dalam kerusakan ini. Pada akhirnya sebagai tawaran, penulis mengajak untuk menyadari bumi sebagai rumah dan ibu bersama. Dan sekaligus menatap ke masa depan. Bagaimana bumi ini diperlakukan bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk masa mendatang.
Introduksi
Sejak dunia dijadikan, Allah menciptakan manusia (pria dan wanita) untuk menguasai alam (bdk. Kej 1:28). Tetapi apakah maksud dari ‘kuasa’ yang diberikan Allah untuk menguasai bumi itu, digunakan dengan sesuka hati? Tentu tidak demikian, karena Allah selalu menghendaki agar manusia menggunakan ‘kuasa’ yang diberikan Allah itu dengan penuh tanggung jawab. Penuh tanggung jawab berarti, manusia mesti menyadari keberadaannya dalam hubungan dengan alam. Bahwasannya bumi tidak hanya dipandang sebagai objek tetapi lebih dari itu, bumi adalah ibu dan rumah yang selalu menyediakan segala kebutuhan hidup. Dalam karya penciptaan-Nya, Allah bukan sekedar menciptakan, tetapi menciptakan sesuatu untuk mengatur dan mengendalikan situasi khaos awali. Pengendalian itu bukan dengan cara menghancurkan khaos awali, tetapi dengan memisahkannya dan menempatkan pada ruang yang tepat, sehingga khaos yang kacau-balau itu menjadi kosmos yang teratur dan harmonis. Di sini boleh dikatakan bahwa selain manusia (pria dan wanita) yang diciptakan untuk saling melengkapi, namun manusia juga diberi tugas untuk menemani bumi yang kosong untuk mendiaminya. Dan di dalamnya manusia boleh mengolah bumi dan mengendalikannya secara penuh tanggung jawab.
Manusia pertama yang diciptakan Allah, sebagaimana yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian begitu harmonis. Hidup selayaknya sebagai seorang ibu dan rumah yang senantiasa memenuhi setiap kebutuhan. Bumi pada awal penciptaan begitu menawan dengan dandanan aneka ragam hayati, yang menjadi tempat berpijak dan tempat hidup bagi setiap manusia. Tetapi manusia tidak bisa mengelak dari realitas bumi yang sekarang. Apa dan mengapa dengan ibu dan rumah manusiaini? Bumi yang di dalamnya terkandung lingkungan hidup dan ekosistem sepertinya sudah dalam situasi kerusakan. Kerusakan lingkungan dengan berbagai ekossitem karena disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan manusia bahwa rumah manusia bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan sesama manusia, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut setiap manusia dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari manusia , Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh setiap manusia, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan” (No. 01). Paus Fransiskus mengawali ensiklik Laudato Si’ dengan menggambarkan secara eksplisit apa yang dikatakan oleh Santo Fransiskus Assisi, bagaimana manusia harus memandang bumi yang didiami ini.
Mungkin secara kasat mata, manusia hanya bisa memandang bumi sebagai tempat untuk hidup. Karena itu, manusia boleh dengan sesuka hati menggunakan apa yang ada di dalam bumi ini. Memang pada kenyataannya bahwa bumi adalah tempat hidup manusia, dan sekaligus sebagai ibu dan rumah yang selalu memberi kebutuhan hidup manusia. Namun, apakah karena kebutuhan-kebutuhan itulah manusia boleh menggunakan apa yang tersedia di bumi ini dengan sesuka hati? Keadaan lingkungan hidup di planet bumi manusia ini, sudah sangat kritis. Bumi tempat hidup manusia ini sedang dalam situasi kerapuhan, karena ulah manusia dalam penggunaan. Perkembangan IPTEK yang semakin meluas, membuat manusia merasa berjaya untuk terus menggarap bumi ini dengan bebas. Bumi sebagai ibu dan rumah, kini hanya sebagai obyek yang hanya digunakan tanpa mau peduli. Suatu ajakan bagi manusia, untuk kembali melihat situasi bumi di zaman ini. Bumi yang sedang dirundung duka yang mendalam. Krisis bumi yang diakibatkan oleh apa yang dinamakan pemanasan global telah dan sedang terjadi. Mungkinkah fenomena ini hanya dipandang sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja. Manusia sepertinya sudah kehilangan kepekaan, dengan tidak memperdulikan bumi sebagai ibu dan rumah. Penting bagi manusia untuk peduli pada bumi, planet tempat kelahiran manusia dan tempat manusia diberi makan, dibimbing, disembuhkan, walaupun manusia telah melukainya sedemikian rupa. Sekarang manusia kembali untuk melihat lebih dalam mengenai bumi yang didiami ini. Manusia tidak lagi memandang bumi sebagai objek yang harus digunakan sesuka hati, tetapi lebih dari itu bumi sebagai rumah dan ibu tempat hidup manusia. Bumi sebagai rumah berarti tempat untuk manusia diami ini, dijaga dan dirawat layaknya sebuah rumah. Sebagai ibu berarti yang selalu setia memberikan apa yang menjadi kebutuhan manusia untuk hidup dan berkembang. Karena itu sebagai anak manusia juga mesti menghargai bumi sebagai ibu bersama. Namun, apakah situasi manusia sekarang sudah menunjukan hal yang demikian? Pada kenyataannya bahwa masih jauh dari harapan. Bumi yang didiami manusia ini seakan menunjukan tanda kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Sebagaimana yang telah disebut pemanasan global, adalah suatu fenomena yang sangat nyata dan aktual. Fenomena ini terus saja merundung bumi yang hingga saat ini belum dapat diatasi.
‘Sebuah Tangisan Tak Bersuara’
But the remarkable thing about the global ecological crisis is that even though most analysts say it is serious, it really is serious and getting worse. Ibu dan bumi rumah tempat tinggal manusia sedang dalam krisis. Situasi dimana menunjukan ketidakpedulian manusia terhadap bumi yang didiami ini. Manusia sibuk dengan kesibukannya, dan membiarkan bumi menjerit dalam diam. Kini bumi sedang dalam krisis kerusakannya yang sangat serius, dan karena itu membutuhkan manusia untuk kembali memperhatikannya. Ibu dan rumah manusia ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakan Allah diatasnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasa yang berhak untuk menjarahnya (No. 02). Mungkin dalam keseharian hidup, manusia kurang pekah dengan apa yang telah terjadi dengan ibu dan rumah ini. Ibu dan tempat tinggal manusia ini sekarang sedang dalam situasi yang tidak seperti sedia kala.
Situasi pemanasan global yang kurang disadari sedang mendera ibu dan rumah tempat tinggal manusia. Bumi seakan kehilangan keindahan dan menjadi tidak teratur lagi. Situasi dunia yang kompleks dengan berbagai kemajuan yang semakin menuntut. Suatu gambaran situasi bumi yang hari demi hari menunjukan kerusakan. Bumi sedang menjerit karena segala yang terjadi padanya. Sebuah tangisan yang tak bersuara dari bumi sebagai ibu dan rumah manusia, seakan menuntut untuk didengarkan. Ibu dan rumah manusia yang pada awalnya begitu menawan dengan berbagai aneka ragam hayati, hari demi hari semakin mengalami kerusakan. Ibu dan rumah manusia telah dan sedang mengalami keresahan karena ulah manusia. Senyuman yang selama ini terpancar dalam keindahan alam, kini semakin pudar dari hari ke hari. Ibu pertiwi hanya terus berdiam dan menanti. Ibu pertiwi mengeluh dalam keheningan yang mendalam, yang tak dapat terucap.
Kalau bumi menjadi tidak ramah terhadap kehadiran manusia, ini terutama karena manusia telah kehilangan rasa santun terhadap bumi dan penghuninya, rasa terima kasih, kehilangan kesediaan untuk mengakui sifat kekudusan habitat ciptaan, dan kemampuannya untuk mengagumi serta mengenali kualitas keilahian dalam setiap realitas di bumi. Bumi kehilangan keindahan. Bumi merasa bahwa manusia sepertinya sudah tidak menghargai dan memperdulikannya lagi. Manusia tidak menganggap bumi sebagai ibu dan rumah. Tetapi lebih dari itu, manusia sudah sangat meng-objekan bumi dengan tidak bertanggung jawab. Bumi merasa bahwa manusia hanya mementingkan diri tanpa memperhatikannya. Kini bumi hanya terdiam dalam tangisan yang tak didengar.
Sumber daya bumi pun dijarah karena konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka pendek. Hilangnya rimba dan kawasan hutan lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk pangan, tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan berbagai kegunaan lainnya (No. 32). Kenyataan yang sedang mendera ibu dan rumah manusia saat ini. Hutan-hutan yang dijarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, kini meninggalkan bekas dalam fenomena pemanasan global. Ibu dan rumah manusia dibiarkan merana tanpa ada usaha untuk memberikan harapan baginya. Hilangnya segala apa yang ada didalam bumi, menambah rasa sakit dalam tangis yang tak bersuara. Bumi merana ditinggal pergi tanpa ada yang menghiraukan, meninggalkan rasa sakit yang tak dapat terbayar. Untuk sebuah kepentingan dan kebahagiaan yang sesaat, bumi sebagai ibu dan rumah manusia dikorbankan. Bumi sekarang menjerit untuk mencari penghiburan. Semua yang ada di dalamnya telah diambil dan di ‘rampas’ begitu saja, tanpa belas kasih.Bumi sedang menanti respon manusia padanya, atas apa yang telah membuatnya menjerit. Kini bumi merasa seperti tidak dihiraukan, dibiarkan terlantar begitu saja tanpa ada perbaikan. Bumi dalam tanda-tanda kerusakan, telah menunjukan suatu situasi dimana bumi semakin menjadi tidak at home dengan manusia yang hidup didalamnya.
Krisis lingkungan yang terjadi akibat dari sikap manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang yang membuat manusia berdiri di atas kesombongan dan kerakusannya menguras habis kandungan alami tanpa peduli kelangsungan hidup alam. Mungkin saja, manusia berpikir bahwa karena bumi telah menyediakan segala kebutuhan berarti bumi tidak membutuhkan apa-apa lagi. Karena cara berpikir inilah, manusia tanpa ragu-ragu untuk menguras apa saja yang dibutuhkan demi kebahagian manusia semata. Tanpa sadar bahwa bumi kini sedang menjerit dalam tangisan tak bersuara. Bumi ditinggal begitu saja, dalam keadaan yang sangat krisis.
Manusia Yang Tidak Pernah Merasa Puas
Bumi telah menyediakan segala macam hayati untuk segala keperluan hidup manusia, yang hidup dan mendiami bumi. Karena itulah manusia boleh mengambil apa saja yang diperlukan untuk kebutuhan hidup dari apa yang ada di bumi. Sebagaimana juga amanat ‘Kuasa’ yang diberikan Tuhan pada awal untuk penciptaan untuk menguasai bumi ini. Tapi apakah ‘kuasa’ yang diberikan Tuhan, digunakan begitu saja tanpa ada rasa tanggung jawab ? Tentu tidak demikian. Sikap hidup manusia yang tidak pernah puas itulah yang seakan mengaburkan makna ‘kuasa’ yang diberikan Tuhan. Manusia bertindak seolah-olah bahwa manusialah yang menjadi tuan atas bumi ini.Sebagai manusia kita dilahirkan dari, diberi makan oleh bumi dan disembuhkan oleh bumi. Bumi menyampaikan pada kita : aku akan memberimu makan, aku akan memberimu pakaian, aku akan memberimu tempat tinggal. Namun janganlah merusakku atau memanfaatkanku sedemikian rupa hingga engkau menghancurkan kemampuanku untuk menjadi perantara antarIlahi dan yang manusiawi. Bumi adalah tempat manusia berpijak dan hidup. Lebih dari itu bumi adalah rumah dan ibu yang selalu memberikan kenyamanan untuk beraktivitas. Apa yang dibutuhkah oleh manusia telah disediakan bumi. Bumi tidak pernah menolak atau membatalkan apa yang menjadi kebutuhan manusia. Bumi tidak pernah pelit untuk memberikan apa yang ada padanya, sebagai kebutuhan hidup manusia. Bumi hanya dengan diam memberi diri pada manusia, untuk mengambil dan mengolah apa yang menjadi kebutuhan manusia.
Namun, apakah manusia selalu menyadari akan semuanya itu? pada kenyataannya bahwa karena ulah manusia bumi kelihatan semakin tidak teratur dan mengalami kerusakan. Sikap-sikap manusia yang selalu meng-objeklan bumi, membuat bumi kini seakan tak berupa lagi. Di sini bisa dilihat beberapa sikap dasar manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada, dan senantiasa terus – menerus menguras bumi tanpa ada rasa tanggung jawab:
- Egoisme adalah sikap yang selalu mementingkan diri sendiri. Disini dalam kehidupannya bersama bumi dan di dalam bumi, manusia hanya fokus untuk diri sendiri. Manusia merasa bahwa yang terpenting bagi dia hanyalah diri sendiri, dan bumi hanyalah tempat untuk hidup, dan menuntut apa yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Peran bumi dikesampingkan dan diobjekan, karena bumi hanyalah sarana untuk menunjang kehidupannya.
- Sikap hedonisme adalah sikap yang selalu memikirkan kenikmatan. Sikap dimana manusia hanya mau menikmati apa saja yang ada di dalam bumi, tanpa mau melihat situasi bumi. Bumi hanya dianggap sebagai penyedia, dan manusialah yang penikmat. Karena itu, yang menjadi tujuan utama adalah kenikmatan. Yakni apa yang ada di dalam bumi perlu dinikmati untuk kenikmatan jasmania semata.
- Sikap utilitarisme adalah sikap yang hanya memaksimalkan kebahagian. Sikap ini membuat manusia hanya memandang bumi sebagai obyek yang mesti dan harus digunakan. Demi mencapai suatu kebahagiaan yang maksimal, maka bumi harus dikorbankan demi umi bukanlah kebahagiaan manusia semata. Bumi hanya menyediakan apa saja untuk kebahagiaan manusia.
- Sikap konsumerisme adalah sikap yang hanya mau menggunakan, tanpa ada inisiatif untuk memperbaiki. Setelah menguras apa yang ada dalam bumi, manusia meninggalkan tanpa ada upaya perbaikan. Bumi perlu perhatian. Tetapi Manusia hanya menganggap diri sebagai konsumen, yang hanya terus mengkonsumsi apa yang ada dalam bumi ini.
Manusia seakan menjadi tuan atas bumi. Bumi bukan lagi sebagai ibu dan rumah tempat tinggal manusia. Tapi hanya dipandang sebagai suatu sarana yang hanya menyediakan. Karena itu, manusia boleh dengan sesuka hati mengolah bumi ini, bahkan secara berlebihan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan demi kebahagiaan. Sikap hidup manusia membuat bumi menderita dalam keadaan, yang ditandai dalam fenomena pemanasan global. Bumi menderita karena manusia yang tidak bertanggung jawab. Manusia merasa bahwa dialah yang paling berkuasa, dan karena itulah boleh dengan sesuka hati menggunakan apa yang ada di dalam bumi ini. Bumi terdiam dan tak berdaya dengan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Keindahan dan kemolekan bumi digarap habis-habisan tanpa peduli. Kini hanya menyisahkan keresahan dan tangisan bumi yang tak bersuara yang tak dihiraukan.
‘Bumi Menyapa’
Yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh bumi kepada kita. Sebagai suatu organisme yang unik, bumi mengatur dirinya sendiri. Disini mungkin muncul pertanyaan, bagaimana cara bumi menyampaikan? Secara langsung boleh dijawab dalam fenomena yang sedang terjadi dalam bumi ini. Fenomena inilah menjadi saat dimana manusia mesti kembali pada kesadaran tentang bumi yang didiami ini. Sebagaimana yang sudah dikatakan di atas, mungkin saja manusia memandang fenomena yang terjadi ini sebagai hal yang biasa saja. Disinilah manusia seakan ditantang bagaimana menyadari fenomena-fenomena yang terjadi ini. Bumi yang hijau dengan pemandangan yang mempesona, seolah hilang dan lenyap. Sebuah tangisan tak bersuara dari bumi, yang diluapkan dalam fenomena alam sedang terjadi. Bumi menunggu respon dari manusia yang diam di dalamnya. Manusia dalam hiruk-pikuk dunia yang gemerlap ini, disapa dalam fenomena alam untuk sesegera bertindak. Bukan nanti, tapi sekarang. Bumi membutuhkan kasih sayang dari manusia yang diam di dalamnya. Bagaimana sikap manusia kepada bumi yang adalah ibu dan rumah yang didiami ini.
Ibu dan rumah yang sedang menjerit ini, memanggil manusia untuk kembali melihatnya yang sedang dalam keadaan merana. Dalam fenomena alam yang kian merajalela, manusia disapa untuk kembali melihat apa yang sedang terjadi dengan ibu dan rumah ini. Zaman yang semakin maju dengan berbagai perkembangan yang pesat, kadang membuat manusia lupa dan tak menyadari akan apa yang sedang terjadi dengan bumi. Bumi ditinggalkan dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Dan kini dalam tangisan yang tak bersuara, bumi kembali menyapa manusia melalui fenomena alam untuk segera melihat kembali bumi. Bumi menemukan caranya di tengah sebuah urutan yang mengagumkan dari pengalaman yang bersifat kreatif dan merusak. Bumi adalah juga ciptaan yang mampu merasakan apa yang sedang terjadi padanya. Karena itu, bumi dengan caranya sendiri memberi sesuatu demi kehidupan manusia yang mendiaminya. Dalam hal ini, ketika manusia dengan tanggung jawab mengolah alam, maka alam akan memberikan yang terbaik pula dalam sapaan-sapaan yang lembut berupa panorama nan indah. Sebaliknya kalau manusia secara tidak bertanggung jawab menggunakan alam, maka sapaan-sapaan yang timbul dari alam pun akan tidak menyenangkan. Sebagaimana fenomena yang sedang terjadi saat ini. Bumi seakan resah dengan situasinya sekarang ini, dan karena itu menyapa manusia kembali untuk melihatnya.
Bumi adalah suatu misteri yang mempesona, secara mendasar rapuh, sebagaimana diri kita juga rapuh. Mungkin orang melihat bahwa bumi ini luas, karena itu apa yang ada di bumi tidak akan pernah habis. Karena itulah dapat memungkinkan manusia untuk dapat menggunakan apa saja di dalam bumi ini dalam jumlah yang besar. Namun, pada kenyataan sebaliknya bahwa bumi sekarang merana dan sedang menyapa manusia melalui fenomena alam ini. Sebuah sikap baru yang juga sangat kuat dianjurkan bahkan oleh seorang ilmuwan besar abad ini, Ilya Prigogine, dalam bukunya Order out of Chaos, sebagaimana tersingkap dari sub judul buku tersebut, “Man’s Dialogue with natur,” manusia berdialog dengan alam dan bukan mendominasinya, mengontrol, dan mengeksploitasinya semata-mata demi kepentingan manusia. Perlunya manusia untuk mulai membangun relasi dengan bumi ini. Manusia mesti membangun suatu komunikasi yang intim dan mendalam dengan bumi. Bumi seakan sudah menyapa manusia dalam fenomena alam yang sedang terjadi. Tinggal bagaimana manusia menanggapi itu. Bumi menyapa dan terus menyapa, karena kerusakan dan ketidakteraturan bumi ini. Baru sekarang manusia mulai mendengar dengan sedikit perhatian dan memiliki kemauan untuk menanggapi kebutuhan bumi agar menghentikan perusakan. bumi telah menyapa manusia untuk peduli terhadapnya dalam fenomena yang terjadi. Kini manusia diajak untuk secara tepat mendengar dan menanggapi apa yang diinginkan bumi. Yakni bahwa manusia kembali memperhatikan situasinya yang kian rusak.
Bumi Sebagai Rumah dan Ibu Kita
Bumi adalah ibu dan rumah yang telah menyediakan segala apa yang dibutuhkan untuk hidup, dan sekaligus sebagai tempat untuk hidup manusia. Bumi dapat dan boleh dengan bebas dimanfaatkan, dengan mengolah apa yang tersedia di dalamnya demi kebutuhan hidup. Tetapi pengolahan itu mesti dilandasi dengan rasa tanggung jawab, bahwa bumi adalah ibu dan juga rumah milik semua manusia yang perlu juga dihargai dan dipelihara. Yang dibutuhkan adalah sebuah pendekatan baru terhadap alam, dari dominasi dan kontrol alam , kepada sikap hormat, kerja sama, dan bahkan dialog dengan alam untuk dapat menangkap hakikat, keutuhan (integrity) dan keindahannya. Manusia diajak untuk berefleksi, bagaimana melihat alam secara sesungguhnya. Manusia diajak untuk lebih mendekatkan diri dengan alam dan membangun relasi layaknya seorang ibu dan anak.
The charter begins with an ecocentric recognition of the earth as the human’s house, and therefore the protection of it’s vitality, diversity, and beauty as ‘a secret trust’. Bumi adalah rumah bagi manusia yang mesti dirawat dengan baik. Karenanya, manusia mesti dengan tanggung jawab dan sadar untuk mengolah apa yang telah disediakan bumi. Bumi adalah juga sesama ciptaan yang mesti diperlakukan sebagaimana ciptaan lainnya. Karena bumi pada hakekatnya sebagai ciptaan pun merasakan apa yang terjadi dengan dirinya. Keanekaragaman dan keindahan yang menjadi kekayaan dan pesona bagi bumi, hendaknya tidak begitu saja dipergunakan sesuka hati. Sebuah perjuangan untuk menuju lingkungan bumi yang harmonis tidak terjadi antara manusia dengan manusia, tetapi juga dengan lingkungan bumi. Teriakan bumi yang tak bersuara, yang ditandai dengan fenomena bumi menuntut suatu respons untuk bertindak secepatnya demi memulihkan bumi yang telah tersakiti. Bumi yang dalam situasi yang tidak diperhatikan, melalui fenomena alam menuntut untuk juga selalu diperhatikan terutama keadaannya yang semakin rusak.
Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Asisi, manusia menjadi sadar bahwa hubungan yang sehat dengan dunia ciptaan merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh (Ensiklik Laudato Si. 218). Hubungan yang sehat tidak hanya dibangun antara sesama manusia, tetapi juga semua makhluk hidup termasuk bumi yang didiami ini. Bumi sebagai ibu dan rumah manusia, mesti diperlakukan dengan baik dan dengan penuh hormat. Pemanasan global yang dialami oleh bumi ini, menuntut suatu efektivitas dari cara manusia untuk mengolah bumi ini. Sikap hidup untuk rasa memiliki mesti dibangun demi keutuhan Bumi. Bumi sebagai tempat untuk hidup, yang sekaligus menyediakan apa yang diperlukan dalam hidup, mesti diberi perhatian dengan bertanggung jawab dalam pemanfaatan sebagai sumber daya untuk hidup.
Sebagaimana seorang tokoh besar dalam gereja, St. Fransiskus yang bersikap sebagai saudara terhadap seluruh alam ciptaan, dengan menggunakan dua aspek yakni pertama, ia memandang segala ciptaan dengan mata Allah, bahwasannya Allah menciptakan semua baik adanya kedua, ia memandang segala sesuatu sebagai saudara, saudari, dan ibu, bahwasannya semua adalah sama sebagai ciptaan. Sebagai sesama ciptaan, perlunya suatu sikap untuk saling menghargai sebagaimana yang diungkapkan oleh St. Fransiskus. Perbedaan bukan menjadi satu alasan untuk menggunakan bumi dengan begitu saja, namun mesti bertanggung jawab. Bahwasannya bumi juga sebagai ciptaan yang berasal dari satu pencipta, karena itu bumi juga mesti dihargai selayaknya ciptaan yang lain. Sikap ini ditunjukan dengan sikap yang tanggap terhadap situasi dan fenomena alam yang terjadi.
Sebuah relasi intim Manusia dengan bumi dan seluruh alam diperlukan. Manusia sebagai penghuni bumi, diajak dan disadarkan untuk hari demi hari selalu membangun sebuah hubungan yang harmonis dan bahkan intim yang lebih erat. Bumi dalam keresahan dan kegersangan, selalu menanti sapaan dari manusia yang mendiaminya. Suatu sapaan yang mau menunjukan relasi yang mendalam. Saat dimana manusia tidak hanya menganggap bumi sebagai obyek semata, tapi lebih dari itu sebagai ibu dan rumah bersama tempat meniti perjalan hidup.
Manusia perlu bergeser dari norma realitas dan nilai dimana manusia merupakan pusat segalanya menuju pada norma realitas dan nilai dimana bumi merupakan pusat. Sebagiamana yang telah diungkapkan di awal, bahwasannya rasa kurang bertanggung jawab terhadap penggunaan dan pengolahan alam dikarenakan manusia yang merasa lebih dari bumi ini. Pola berpikir yang demikian semestinya harus dihapus. Karena bagaimanapun juga, bumi adalah ibu dan rumah yang di dalamnya manusia hidup dan berkembang. Manusia membutuhkan pola pikir yang radikal untuk bagaimana mengatasi bumi yang sedang dalam kerusakan. Setiap menyadari asal dari segala makhluk, maka Fransiskus dipenuhi dengan takwa yang berlimpah-limpah. Makluk-makluk betapapun kecilnya disebutnya dengan nama saudara atau saudari, justru karena setahunyab mereka mempunyai satu asal seperti dirinya sendiri ‘Tulisan Boventura tentang persabahatan Fransiskus dengan sesama makhluk ciptaan. Betapa mendalamnya Santo Fransiskus melihat hubungan dengan sesama makhluk hidup lainnya. Bukan sebagai pemakai dan penyedia, tapi lebih dari itu adalah sebagai yang diciptakan. Yang meskipun bahwa dalam penciptaan, manusia ditempatkan pada tempat yang lebih karena akal budi.
Menatap ke Masa Depan
Sebuah pemikiran yang mesti selalu diarahkan pada perkembangan yang mendatang dan bukan hanya pada saat ini dan sekarang. Agar apapun yang dilakukan secara khusus pemanfaatan dan pengolahan alam selalu mengarah pada masa yang akan datang. Fenomena-fenomena yang terjadi adalah suatu penyadaran untuk lebih efektif dalam mengelola bumi, agar dengan begitu fenomena-fenomena bumi yang telah terjadi dapat diatasi. Situasi bumi yang saat ini dan sedang terjadi ini, mengajak manusia untuk dalam keramaian dan kesibukan keluar dan melihat situasi bumi, yang sedang diunduh sebuah situasi yang memprihatinkan. Tangisan yang tak bersuara dari bumi, menuntut suatu permenungan yang dalam untuk mampu mendengar dan bereaksi terhadap situasi ini. Bumi adalah ibu dan rumah manusia, yang tidak hanya untuk sesaat, tetapi secara berkelanjutan untuk generasi yang mendatang.
Kenyataan yang sedang dan telah terjadi pada bumi ini, menuntut sebuah perjuangan demi pemulihan kembali situasi dan kondisi serta suasana alam yang sedang dirundung kepunahan. Mulailah untuk selalu senantiasa memandang alam yang di lain sisi telah menyediakan segala kebutuhan hidup, namun di lain sisi juga sebagai ibu dan rumah yang walaupun berbeda tetapi berasal dari satu pencipta. Dengan begitu, alam yang kelihatan sedih melalui kegersangan, akan kembali tersenyum dengan pemandangan yang hijau dan keadaan yang semakin berkembang demi kehidupan yang akan datang. Hal dibutuhkan untuk menuntun penilaian kita dan melanjutkan energi batiniah kita untuk menghadapi tantangan masa depan yakni, pertama alam adalah persekutuan para subyek. suatu kesadaran yang harus selalu ditanamkan adalah bahwa bumi bukanlah obyek, tetapi bumi sebagai ibu dan rumah manusia juga merupakan subyek. Oleh karena itulah, bumi dengan segala apa yang ada di dalamnya, perlu dijaga, dipelihara untuk kehidupan manusia bukan hanya untuk saat ini tetapi untuk masa yang berkelanjutan. Bumi memerlukan perbaikan untuk bisa Kembali memancarkan pesonanya demi menyongsong kehidupan yang akan datang. Bumi adalah ibu dan rumah yang selalu menyediakan segala kebutuhan, memberikan manusia sebuah peringatan untuk tidak sampai tenggelam dalam arus zaman dengan sikap acuh tak acuk, untuk segera Kembali dalam nuansa reflektif untuk memperbaiki kondisi bumi yang rusak ini.
Harapan bagi pembaruan daya kreatif bumi yang semacam itu terletak pada kesadaran bahwa bumi sebagai yang utama dan bahwa manusia adalah turunannya. Kembali sejenak melihat pada kisah penciptaan (bdk.Kej). Di sini bumi dan segala isinya diciptakan terlebih dahulu dan pada akhir penciptaan Tuhan menciptakan manusia (pria dan wanita) (bdk.Kej.28). hal ini mau mengajak manusia untuk sejenak berpikir, tentang eksistensinya di bumi ini. Bahwasannya bumi sebagai ibu dan rumah untuk manusia adalah yang utama. Dan karena keutaman itulah manusia mesti secara sadar dan penuh tanggung jawab dalam mengolah alam. Pengolahan alam oleh manusia hendaknya selalu efektif. Artinya bahwa pengolahan yang tidak hanya berfokus pada masa sekarang tetapi juga untuk masa depan.
Manusia tidak mempunyai hak sama sekali untuk merusak keutuhan ekologis bumi semata-mata demi kepentingan ekonomi atau pangan generasi sekarang, kendati kepentingan ekonomi generasi sekarang juga penting karena menyangkut hak hidup. Dalam pemanfaatan bumi, manusia tidak boleh hanya melihat kepentingan sekarang. Karena kecenderungan yang demikian akan berdampak besar pada kehidupan yang akan datang atau kehidupan masa depan. Disini, manusia dituntut untuk bagaimana memanfaatkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Apa yang tersedia di bumi ini tidak hanya untuk masa sekarang, tetapi untuk kehidupan yang terus berlanjut dari generasi ke generasi. Hak generasi yang akan datang-yang sebagian belum dilahirkan- untuk menikmati keanekaragaman hayati harus juga dihormati. Menjaga bumi berarti manusia peduli dan menjaga juga kehidupan yang mendatang. Kehidupan yang mendatang yang merupakan generasi-generasi mendatang menjadi tugas dan tanggung jawab juga bagi manusia yang hidup di zaman sekarang. Generasi mendatang adalah juga bagian yang tidak terlepas dari generasi yang sebelumnya, oleh karena itu perlu dijaga dan dihormati. Manusia menjaga alam berarti manusia sekarang menjaga kehidupan generasi yang akan datang. Bumi dan segala apa yang ada didalamnya tidak hanya untuk masa kini, tetapi untuk masa yang terus berlanjut. Manusia dengan sikap tanggung jawab diajak untuk senantiasa menjaga dan melestarikan bumi yang adalah ibu dan rumah kita bersama sebagai juga rumah masa depan bagi generasi mendatang. Bumi sedang menanti dengan sesekali menyapa dalam situasi dan tanda-tanda alam. Hendaklah respon yang cepat dari manusia selalu dinantikan oleh ibu pertiwi dalam keheningan alam.
Simpulan
Allah telah memberikan ‘kuasa’ kepada manusia untuk mengolah dan memelihara bumi ini bukan dengan sesuka hati, tetapi harus dengan penuh tanggung jawab (bdk.Kej). Fenomena pemanasan global yang sedang terjadi ini, mau menyadarkan manusia bahwa bumi sedang menangis dan sekaligus menyapa manusia. Manusia diajak untuk sejenak dalam keheningan melihat dan menangkap apa yang disampaikan bumi. Manusia mesti menyadari bahwa, bumi tidak hanya sebagai tempat untuk hidup dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dengan sesuka hati. Bumi lebih dari pada itu adalah sebagai ibu dan rumah yang mesti dijaga dan dirawat sebagai sesama ciptaan. Bumi menyapa manusia untuk melihat situasinya yang sekarang, dan segera melakukan perbaikan. Dan lagi bahwa, bumi dan apa yang ada didalamnya bukan hanya untuk kehidupan masa sekarang tapi juga untuk masa mendatang. Manusia mesti menyadari dan bertanggung jawab juga untuk kehidupan generasi mendatang. Karena itulah, pengolahan dan perawatan bumi mesti menjadi yang utama dan harus selalu disadari. Agar hidup yang harmonis boleh tercipta diantara sesama dan lingkungan.
Daftar Pustaka
Keraf, Sonny.A. Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
______________ Krisis dan Bencana Lingkungan hidup Global. Yogyakarta: Kanisius. 2010.
Stanislaus, Sirup. Mengolah dan Memelihara Taman Eden. Yogyakarta: Kanisius. 2019
Curry, Patrick. Ecological Ethics. USA: Polity Press. 2011.
Berry, Thomas. The Dream of the Earth. San Francisco: Sierra Club Books. 1988
Kristanto, Eddy dan Sunarko A. (ed.). Menyapa Bumi Menyembah hyang Ilahi Yogyakarta: Kanisius. 2008
Verrijt, Elly. Kumpulan Tulisan Thomas Berry (Terj). PT. Mizan Grafika Sarana. 2014.
Paus Fransiskus. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015) dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 98. Jakarta 2016. No. 7.
Selan, Rikard. MAJALAH ROHANI NOMOR 06, TAHUN KE 56, JUNI 2011, Spiritualitas Tarekat (St. Fransiskus Asisi Teladan Perjuangan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan)
Yohanes Boli Jawang, Ordo: Agustinus Tak Berkasut (OAD), Cisarua, Bandung
Artikel ini ditulis pertama kali, ketika mengikuti event di JPIC, meski tidak berhasil, semoga tulisan ini bermanfaat.