Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Data tentang korupsi di banyak desa di NTT menunjukkan bahwa desa saat ini telah menjadi ladang baru korupsi. Ketika dikaitkan dengan besarnya dana yang mengalir ke desa saat ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa harapan besar masyarakat Indonesia harus diperiksa kembali.
Data yang dirilis banyak media menyebutkan korupsi telah mengubah wajah desa malaikat desa menjadi sangat Lucifer. Korupsi yang terjadi di desa membuat desa tidak lagi lugu seperti dulu.
Desa berubah menjadi medan perebutan kekuasaan ekonomistik. Harapan agar desa memiliki kedaulatan dalam banyak hal kandas seketika di tangan para pecundang. Miris nian.
Temua ICW, pada tahun 2018, terdapat 96 kasus korupsi anggaran desa dari total 454 kasus korupsi yang ditindak penegak hukum. Total kerugian negara Rp37,2 miliar.
Hasil identifikasi ICW, sebagian besar anggaran yang dikorupsi semestinya dipakai untuk pembangunan infrastruktur.
Dari 96 kasus, terdapat 49 kasus merupakan korupsi di sektor infrastruktur anggaran desa dengan kerugian negara mencapai Rp17,1 miliar (Suara Pembaruan, 8 Februari 2019).
Data ICW menggambarkan, kepala desa adalah aktor utama korupsi. Sampai tahun 2017, total 112 kades terjebak kasus korupsi dana desa.
Pada tahun 2015 ada 15 kades, 2016 ada 32 kades dan tahun 2017 ada 65 kades. Dari kasus korupsi dana desa tersebut, kerugian negara telah mencapai 47,56 miliar (Media Indonesia, 06/02).
BACA JUGA: Bos Tersandung Kasus, Komite ke Mana?
Khusus NTT, berdasarkan penelusuran pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kupang dari Januari 2017-April 2019, sebanyak 24 kepala desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti melakukan korupsi Dana Desa dan Aloksi Dana Desa (ADD). Akibatnya negara rugi hingga miliaran rupiah (kumparan.com, 2019).
Kompas.com (10 Mei 2021) memberitakan Penyidik Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, menahan Kepala Desa Botof, Kecamatan Insana berinisial PMO, karena terlibat dugaan korupsi anggaran dana desa (ADD) sebesar Rp 2,1 miliar.
Di kasus, 99 dari 127 Kades di Kabupaten Malaka menyelewengkan dana desa. Dana desa yang seharusnya dialokasikan untuk mengatasi ”stunting”, kemiskinan, hingga membangun desa usai dihantam badai Seroja justru dipinjam oleh kepala desa. Hingga bertahun-tahun sebagian dana belum dikembalikan (Kompas.id, 20 Mei 2021).
BACA JUGA: Gerakan Kejari Manggarai: Antara Lawan “Tumor Ganas” Korupsi dan Sikap Apatis Masyarakat
Media Indonesia (1 Juni 2021) melaporkan, Kepala Desa Lemarang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) Donatus Su, Senin (31/5) malam, ditangkap jaksa.
Ia mendekam di balik jeruji besi setelah Kejaksaan Negeri Manggarai menetapkannya sebagai tersangka. Donatus diduga melakukan penyimpangan pengelolaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun anggaran 2017 dan 2018. Total kerugiannya mencapai Rp229 juta (mediaindonesia.com, 1 Juni 2021).
Fakta koruptif desa terjadi di hampir semua desa, termasuk di NTT yang rakyatnya masih berjibaku dengan kemiskinan akut. Dilematis memang.
Sebab, di tengah keinginan banyak pihak agar desa yang diabaikan selama ini segera mendapatkan pengakuan, justru tidak disertai peningkatan kapasitas aparat pengurus desa. Implikasinya, nyaris semua hal yang dibutuhkan desa di-copy dan jejali dari luar desa.
Karena itu, desa tidak bedanya dengan lembar copyan yang siap dibuang ke tempat sampah. Ini soal besar.
Banyak Variabel
Korupsi yang melanda desa di Indonesia dan juga di NTT hemat saya disebabkan karena banyak hal. Penyebabnya membentang dari soal perilaku individu sampai ke soal sistem. Dari masalah sosial ke sebab hukum.
Penegakan hukum yang lembah sering dituduh sebagai biang kerok meningkatnya kadar korupsi secara kuantitatif dan kualitatif. Praktik hukum yang masih memberikan ruang buat koruptor di republik ini, oleh sebagian orang dinilai sebagai sebab maraknya fenomena korupsi di desa.
BACA JUGA: “Babat” Para Kades Nakal, Kejari TTU Layak Diacungkan Jempol
Pendapat seperti itu bisa saja benar. Sebab, dalam banyak kasus, banyak koruptor kelas wahid di negera ini lolos dari jeratan hukum. Kalau pun dijerat hukum, hukumannya pun dinilai ringan.
Membaca korupsi yang melanda desa-desa di NTT sulit untuk tidak mengatakan fenomena ini sudah sangat banal. Banalitas korupsi menuntut semua pihak terkait untuk memeriksa dan mengevaluasi kepala desa secara individual dan pemerintahan desa secara kelembagaan.
Diperiksa karena beberapa alasan berikut ini. Pertama, di negara ini, korupsi masih menjadi penyakit kronis yang melumpuhkan tidak saja perekonomian tetapi juga kemanusiaan manusia Indonesia.
Korupsi seakan menjadi habitus baru pejabat negara dan swasta di republik ini. Korupsi telah merusak jantung pertahanan Indonesia di ruang negara bangsa.
Kedua, sebagian besar pelaku korupsi adalah pengelolah negara. Membaca data ICW, terkait aktor korupsi, kepala desa di banyak tempat di Indonesia rupanya sudah masuk dalam kubangan perilaku busuk koruptif.
Ketiga, harapan akan munculnya kesejahteraan menjadi sulit terwujud sebab korupsi telah dianggap wajar. Data di atas menunjukan desa tidak lagi hanya dianggap sebagai medan berbagai masalah sosial. Desa telah menjadi ruang subur; lahan di mana korupsi terjadi dengan amat banal.
Konteks NTT
Otonomi desa sebagaimana roh UU Desa Nomor 6/2014 benar-benar dipahami secara salah oleh segelintir orang. Oleh orang-orang itu, otonomi desa adalah arena di mana aktor tertentu bisa melakukan tindakan apa pun terkait dengan desa dan dana desa.
Implikasinya, desa di NTT terjebak dalam apa yang disebut Sherman (2021) ketidakadilan desa secara masif. Sebab utamanya, sumber daya di desa dikelola oleh segelintir elitee desa secara sistematif.
Untuk kasus NTT, ada beberapa modus yang dipakai untuk korupsi dengan memanipulasi dana desa. Pertama, kepala desa berikut aparat desa memanipulasi Rencana Anggaran Belanja (RAB) yang telah disetujui dinas terkait.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan anggaran di RAB dengan yang ditulis di papan informasi proyek.
Kedua, manipulasi tanda tangan bendahara. Karena bendahara yang bertanggung jawab memegang uang, kepala desa kadang memanipulasi tanda tangan bendahara desa untuk tujuan pribadi.
Ketiga, kades bekerja sama dengan otoritas supradesa membuat program manipulatif. Padahal, dana yang dikeluarkan dari khas desa dipakai untuk proses peminjaman oleh satu dua elitee supradesa atau dipakai oleh kepala desa untuk kepentingan diri dan keluarga.
Fakta di atas membuat kita ragu akan munculnya desa yang berdaulat secara ekonomi menjadi sulit terwujud. Sebab utamanya karena desa saat ini telah menjadi lahan baru korupsi elite kekuasaan desa.
Evaluasi dan pengawasan kiranya tidak bisa lagi ditawar-tawar. Kejaksaan dan kepolisian harus segera turun memeriksa kepala desa yang terindikasi melakukan tindakan korupsi.
Selain itu, pemerintah harus terang dan jelas melakukan evaluasi dan pengawasan dana desa. Masyarakat di sisi yang lain harus segera keluar dari zona permisivitas.
Jika tidak, predikat ladang baru korupsi tidak akan beranjak dari desa di Indonesia. Selanjutnya, harapan agar masyarakat desa di NTT segera keluar dari berbagai jebakan masalah sosial dan fisik menjadi utopia.