Kupang, Vox NTT- Pembangunan estate tujuh (7) destinasi baru pariwisata senilai Rp12.114.764.960,00 milik Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur diduga bermasalah.
Hal itu terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan NTT pada April 2021 lalu.
Dalam laporan tersebut, BPK RI merincikan, pada tahun anggaran 2019, Pemprov NTT mengalokasikan anggaran senilai Rp 8.768.233.250 dan pada tahun 2020 senilai Rp 3.220.000.000. Dana tersebut terdapat dalam DPA Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT.
Namun menurut BPK, kegiatan tersebut tidak sesuai aturan alias bermasalah. Itu terutama mekanisme pengadaan barang dan jasa, aset tanah/tempat pembangunan, status pengelolaannya, dan nama destinasi tersebut.
BPK RI, masih dari laporan tersebut menjelaskan, masalah itu antara lain:
Pertama, ada cottage yang dibangun di atas lahan milik pribadi (SHM) dan milik Pemerintah Daerah (Pemda) lain. Kemudian tanpa didukung dokumen pemanfaatan atas aset tanah oleh Pemprov NTT.
Padahal pembangunan cottage dan sarana ammenitas 7 destinasi wisata baru tercatat di akun aset tetap Pemprov NTT dan menggunakan dana anggaran belanja modal daerah.
BPK mencontohkan, pembangunan cottage dan sarana amenitas Fatumnasi di Kabupaten TTS yang dibangun di atas lahan milik Pemda setempat.
Pembangunan cottage dan sarana ammenitas tersebut tidak didukung dengan kerja sama pemanfaatan antara Pemerintah Provinsi NTT dengan Pemerintah Kabupaten TTS atau dengan masyarakat pengelola cottage (BUMDes atau Pokmas).
Kasus lain yakni pembangunan cottage destinasi Kampung Adat Praimadita di Sumba Timur bernama Katundu Cottage Victory.
Status tanah lokasi pembangunan cottage merupakan tanah milik pribadi salah satu anggota DPRD Sumba Timur. Hingga saat ini pun belum jelas status pengelolaannya; apakah akan diserahkan kepada Pemprov NTT atau diserahkan kepada pemilik tanah.
Pemilik tanah menurut BPK, mau menyerahkan tanah tersebut kepada Pemprov NTT. Namun, belum ada perjanjian terkait mekanisme operasional cottage.
Menurut BPK, cottage dan sarana amenitas yang dibangun di Sumba Timur bukan tempat tujuan wisata. Kondisi infrastruktur ke lokasi tujuan wisata dimaksud juga belum mendukung karena berlumpur, terjal, berbatuan, dan harus menggunakan kendaraan double gardan.
Jarak dan waktu tempuh ke lokasi tujuan sekitar empat jam. Di lain sisi, cottage tersebut telah mendapat fasilitas sumur bor dan tandon atau bak penampung air serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari Pemprov NTT.
“Sampai dengan pemeriksaan fisik tanggal 31 Maret 2021, kegiatan pengelolaan cottage Sumba Timur belum berjalan karena belum ada tamu yang menginap di cottage tersebut. Cottage tersebut selama ini dikelola salah satu anggota DPRD Sumba Timur, selaku pemilik lahan,” tulis BPK dalam laporannya.
Kedua, pengelolaan cottage juga belum jelas dan belum sesuai tujuan awal yakni entah swakelola/dikerjasamakan antara Pemprov dengan kelompok masyarakat (Pokmas) dan BUMDes.
Sementara pembangunan cottage dan sarana ammenitasnya menggunakan dana anggaran belanja modal daerah.
Kondisi tersebut, sebut BPK, terjadi pada cottage yang dibangun di atas tanah milik pribadi (SHM) atau masyarakat yaitu pada Desa Untiuhtuan, (Weliman, Kabupaten Kupang, Desa Wolwal (Kabupaten Alor), Desa Dalama (Kabupaten Rote Ndao), Desa Lamalera (Kabupaten Lembata), dan Desa Praimadita (Kabupaten Sumba Timur). Termasuk di Desa Koanara Kabupaten Ende dan cottage dan sarana ammenitas Fatumnasi Kabupaten TTS.
Ketiga, menurut BPK, hingga kini tidak ada pemasukan PAD bagi Pemprov NTT dari pengelolaan estate 7 destinasi wisata.
Padahal pekerjaan pengembangan penataan pariwisata estate 7 destinasi baru berupa cottage dan sarana amenitas tersebut tercatat di akun aset tetap Pemprov NTT.
Khususnya untuk cottage dan sarana amenitas yang berada di Desa Koanara Kabupaten Ende.
Sedangkan untuk lokasi pengerjaan yang berada di Kabupaten Kupang, TTS, Alor, Lembata, Sumba Timur, dan Rote Ndao tercatat sebagai aset lainnya.
Pengerjaan pembangunan cottage dan sarana ammenitas juga menggunakan anggaran belanja modal daerah.
Keempat, pembayaran paket pekerjaan cottage dan sarana ammenitasnya hanya berdasarkan kwitansi pembelian yang diberikan Pokmas kepada PPK. Sehingga tidak diketahui jelas progres realisasi fisik dan keuangan pada setiap termin pekerjaan.
BPK menilai, kondisi tersebut tidak sesuai dengan; (a) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pada Pasal 7 ayat (1), semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa mematuhi etika sebagai berikut: 1) Huruf a, melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan pengadaan barang/jasa. 2) Huruf d, menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait; dan 3) Huruf f, menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan Negara,
(b). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pada Pasal 31: a) Huruf a yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik Negara daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah, dan/atau b) huruf b yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
2) Pasal 32 ayat (1) pada a) huruf b yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan terhadap barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/wali kota.
b) huruf d yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan terhadap barang milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang.
3) Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur bupati/ wali kota.
4) Pasal 31 ayat (4) yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
BPK menyebut, kondisi tersebut mengakibatkan pengembangan penataan pariwisata estate pada 7 destinasi berupa pembangunan cottage dan sarana amenitas belum dapat memberikan manfaat dan kontribusi pendapatan, baik kepada Pemerintah Provinsi NTT maupun masyarakat yang mendapatkan hibah.
Hal ini, sebut BPK, disebabkan oleh karena 1). PPK tidak melaksanakan pembangunan paket pekerjaan pengembangan penataan pariwisata estate 7 destinasi baru dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa.
2). Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak melakukan pengendalian secara maksimal kepada PPK terkait pekerjaan pengembangan penataan pariwisata.
Kedua, menetapkan pemanfaatan aset tanah milik Pemerintah Kabupaten TTS dan masyarakat;
Ketiga, segera menetapkan pengelola 7 kawasan destinasi sesuai pemanfaatan aset daerah; dan
Keempat, membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan masing-masing BUMDes terkait bagi hasil pengelolaan kawasan 7 destinasi wisata.
Menanggapi temuan BPK tersebut, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kadisparekraf) NTT Wayan Darmawa melalui Kabid Kelembagaan Dinas Parekraf NTT Thobias Mesak dalam laporan panitia, Jumat (02/07/2021), mengatakan pihaknya akan melakukan desain ulang tujuh (7) destinasi baru pariwisata NTT.
Ia beralasan desain dan pembangunan yang sudah dilaksanakan belum spesifik pada komponen pembangunan yang berkelanjutan dan terukur.
“Lalu, ada satu alasan lagi kenapa kita harus re-design karena ada temuan BPK tahun 2020, sehingga kita harus selesaikan ini. Bagi pariwisata estate yang tanahnya bukan milik Pemprov NTT tetapi milik masyarakat, akan dibangun komunikasi dengan pemilik lahan untuk menghibahkannya kepada Pemprov NTT,” ujar Thobias.
Thobias mengatakan, dua dari tujuh destinasi baru yakni Pariwisata Estate Praimadita dan Pariwisata Estate Mulut Seribu telah ada pelepasan hak oleh pemilik kepada Pemprov NTT.
Sedangkan Pariwisata Estate Liman Kabupaten Kupang dan Wolwal Kabupaten Alor, serta Pariwisata Estate Koanara di Ende tidak bermasalah, karena tanahnya miliknya Pemprov NTT.
Selanjutnya, terkait Pariwisata Estate Fatumnasi yang tanahnya adalah milik Pemda TTS, Dinas Pariwisata Provinsi NTT akan melakukan tiga skenario tindak lanjut.
Di antaranya akan meminta Pemda TTS untuk menyerahkan tanah Fatumnasi menjadi aset Pemprov NTT.
Jika Pemda TTS tidak mau menyerahkan, maka ditempuh strategi kerja sama pengelolaan Pariwisata Estate. Bahkan jika mungkin, akan meminjam tanah tersebut.
Sementara untuk Pariwisata Estate Kampung Adat Lamalera yang dibangun homestay, kata Thobias, Dinas Pariwisata Provinsi NTT akan membentuk kelompok masyarakat.
Hal ini untuk menghimpun homestay yang ada di Lamalera, sehingga proses penyerahan hibah bisa berjalan lancar dengan cara membuat kelompok sadar wisata (Pokdarwis), atau koperasi pariwisata yang berbadan hukum.
“Seluruh langkah yang akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTT tersebut harus selesai sebelum tanggal 18 Juli 2021. Sebab hal itu batas yang diberikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Provinsi NTT,” jelasnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba