Oleh: Hendrikus Mandela
Ketua Presidium PMKRI Ruteng Periode 2020-2021
Sepekan belakangan ini, masyarakat Manggarai ramai membincang tentang keputusan Bupati Herybertus G.L Nabit yang melakukan refocusing anggaran tahap 2 demi kepentingan percepatan penanganan Covid-19.
Diskursus semakin riuh bermula dari sikap Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (DPC PMKRI) Cabang Ruteng yang mengkritisi keputusan Bupati Nabit tersebut.
Pasca-pernyataan sikap PMKRI Ruteng diberitakan di berbagai media mainstream, banyak pihak memberikan beragam pendapat dan komentar di media sosial.
Singkatnya, pernyataan sikap DPC PMKRI Ruteng menimbulkan perdebatan. Ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Pada tanggal 2 Agustus lalu, Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit menerbitkan Surat Keputusan bernomor: HK/ 253/ 2021 tentang Penetapan Realokasi Belanja Modal dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 di Kabupaten Manggarai Tahun Anggaran 2021.
Surat keputusan tersebut berujung pada refocusing anggaran Belanja Modal pada Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Manggarai, dan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kabupaten Manggarai.
Dalam targetnya, refocusing kali ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp18.091.796.302.
Setelah diteliti, tercatat ada 66 paket proyek yang di-refocusing kali ini demi percepatan penanganan Covid-19.
Dari 66 paket proyek tersebut, 18 paket proyek yang sudah ditender dengan pagu sebesar Rp7.493.332.000 dicoret. Sedangkan 48 paket proyek yang tersisa diberlakukan pemangkasan anggaran dan 4 di antaranya dipangkas tanpa sisa anggaran.
Data-data ini tercantum dalam Surat Keputusan Bupati Manggarai nomor: HK/ 253/ 2021.
Keputusan Bupati Nabit tersebut kemudian direspons DPC PMKRI Ruteng St. Agustinus. Mengacu pada data tersebut, DPC PMKRI Ruteng memberikan beberapa catatan kritis terhadap keputusan Bupati Nabit itu.
Catatan-catatan yang disuguhkan tentu saja berlandas pada sebuah kajian, bukan retorika belaka. Bahwa esensinya jelas, bukan sensasi apalagi sentimen.
Sebagai Negara yang menganut paham demokrasi, kritikan tentu sesuatu yang lumrah, haram dianggap tabuh.
Di Indonesia, setiap warga Negara diberikan kebebasan untuk berpendapat dan hal ini dilindungi oleh Undang-undang.
Kurang lebih demikian amanat yang termuat dalam Undang-undang Nomor 09 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Oleh karena itu, pemimpin yang dihasilkan dari sebuah proses demokrasi mesti mencerminkan pribadi yang demokratis. Salah satunya tidak antikritik. Apalagi prinsipnya kritikan yang diberikan bersifat konstruktif, menghindari caci maki dan hinaan.
Jadi, tidak ada salahnya DPC PMKRI Ruteng bersuara selama maksud dan tujuan tidak bergeser dari prinsip Bonum Commune.
Apalagi dalam konteks kebijakan refocusing oleh Bupati Nabit yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Manggarai. Sebab setiap kebijakan dalam kultur demokrasi tidak bersifat dogmatis dan absolute.
Partisipasi publik sangat penting dalam kerangka kebijakan pemerintah daerah dan seharusnya pemerintah berinisiatif untuk membuka ruang dialog kepada publik.
Partisipasi publik bertujuan untuk meluruskan hal-hal yang bengkok (disorientasi). Jadi, substansi kehadiran DPC PMKRI Ruteng yang mengkritisi kebijakan Bupati Nabit ada di dalam koridor kultur demokrasi.
Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh semena-mena dan merasa paling benar. Sebab ada tujuan yang sama tetapi kapasitas berbeda dalam diskursus tentang kebjiakan refocusing anggaran tahap oleh Bupati Nabit.
Mari kita kembali pada pokok pembahasan tentang pernyataan sikap DPC PMKRI Ruteng. Dalam pernyataan sikapnya, tercantum 3 poin catatan kritis yang dialamatkan kepada Bupati Nabit.
Tiga poin tersebut, antara lain (1) DPC PMKRI Ruteng menilai keputusan Bupati Manggarai gegabah, (2) DPC PMKRI Ruteng menilai refocusing anggaran tahap 2 tidak urgen, dan (3) DPC PMKRI Ruteng menduga keputusan Bupati Manggarai bertendensi politik.
Kita akan lihat kira-kira bagaimana rasionalitas dari tiga catatan kritis ini sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis dari DPC PMKRI Cabang Ruteng St. Agustinus.
Keputusan Bupati Manggarai Dinilai Gegabah
Penilaian gegabah terhadap keputusan Bupati Nabit muncul karena surat keputusan tersebut tidak disertakan penjelasan tentang alasan-alasan yang bisa menyakinkan masyarakat bahwa memang benar kondisi APBD penanganan Covid-19 Kabupaten Manggarai membutuhkan tambahan anggaran.
Betul bahwa Covid-19 ini adalah masalah yang sangat serius dan harus diprioritaskan. Semua orang mengakui itu, apalagi DPC PMKRI Ruteng. Sama sekali tidak membantah hal tersebut.
DPC PMKRI Ruteng tidak sedang mempersoalkan penting atau tidaknya masalah pandemi Covid-19. Sekali lagi saya tegaskan bahwa semua pihak sepakat kalau pandemi ini adalah masalah serius dan sangat prioritas untuk ditangani.
Namun yang dituntut DPC PMKRI Ruteng adalah Bupati Nabit harus menjelaskan tentang evaluasi penyerapan APBD penanganan Covid-19 tahun anggaran 2021. Sehingga dari situ publik bisa menilai. Publik bisa paham terkait apakah kebjikan refocusing anggaran tahap 2 untuk menambah kas APBD penanganan Covid-19 itu penting atau tidak? Layak atau tidak?
Namun kelihatannya selama ini Bupati Nabit menghindari itu dan yang ditonjolkan adalah pernyataan penanganan Covid-19 penting dan prioritas dan karena itu harus melakukan refocusing anggaran tahap 2.
Di dalam pernyataan-pernyataan tersebut saya melihat ada upaya provokasi dan penggiringan publik ke dalam argumentasi yang tidak subtantif dan menurut saya ini bentuk pembodohan publik.
Sampai sekarang tidak ada penjelasan akademis yang bisa diterima akal sehat tentang penyerapan APBD Covid-19 Tahun Anggaran 2021.
Harusnya starting argumentasi kebijakan refocusing anggaran tahap 2 Kabupaten Manggarai bertolak dari sini.
Ini menjadi alasan sehingga patut DPC PMKRI Ruteng menilai keputusan Bupati Nabit gegabah.
Basis argumentasi yang logis sangat penting diberikan kepada publik. Paling tidak hal tersebut membantu cara berpikir dan asumsi dasar bagi publik untuk memastikan tepat atau tidak kebijakan Bupati Nabit.
Penjelasan-penjelasan seperti ini sangat berguna untuk membantu pemahaman publik, sehingga kebijakan Bupati tidak dianggap sebagai opini liar yang menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.
Contoh, terangkan kepada publik bahwa penambahan kas APBD Penanganan Covid Tahun Anggaran 2021 (refocusing) dilakukan karena ada item-item program baru yang mana tahun sebelumnya tidak ada.
Refocusing Anggaran Tahap Dua Tidak Urgen
Data Realisasi Belanja APBD untuk Penanganan Covid 19 Provinsi dan Kabupaten/ Kota se-Nusa Tenggara Timur (keadaan 31 Juli 2021) menunjukan alokasi anggaran untuk Kabupaten Manggarai sebesar Rp45.142.413.293.
Lalu yang terealisasi sebesar Rp1.607.528.400 atau 3,56%. Itu artinya, dana yang tersisa sebesar Rp43.534.884.893. Jadi angka penyerapan APBD Penanganan Covid-19 selama ini hingga 31 Juli kemarin sangat kecil.
Mengacu pada data penyerapan APBD Penanganan Covid 19 di atas, maka dapat dikatakan bahwa kondisi Manggarai saat ini mengalami surplus anggaran bukan defisit anggaran.
Publik mungkin bertanya, mengapa penyerapannya demikian? Nah, saya mau terangkan bahwa penyerapan anggaran yang kecil itu sangat masuk akal.
Alasannya karena pemerintahan sekarang hanya melanjuti apa yang sudah diprogramkan pada tahun 2020.
Terkecuali ada penambahan item-item program baru untuk penanganan Covid-19.
Akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah apabila alokasi APBD Penanganan Covid setiap tahun meningkat. Logika postur anggaran yang rasional harus dibalik.
BACA JUGA: PMKRI Ruteng Beri Catatan Kritis Terhadap Keputusan Bupati Manggarai
Artinya, setiap tahun harus semakin kecil postur anggaran. Sama seperti kita mendirikan sebuah bangunan. Anggaran yang paling besar terjadi pada tahap awal karena banyak material yang harus dibelanja.
Tahap selanjutnya kita tidak membutuhkan anggaran yang besar karena biaya yang dibutuhkan hanya untuk merawat bangunan tersebut.
Untuk melihat rasionalitas postur APBD Penanganan Covid-19 Tahun Anggaran 2021, mari kita membandingkannya dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2020, alokasi APBD penanganan Covid-19 sebesar +-33 miliar dan penyerapannya +-19 miliar.
Angka penyerapan ini terbilang besar. Mengapa penyerapannya besar? Karena tahun 2020 itu merupakan tahun-tahun awal munculnya Covid-19 sehingga intervensi anggarannya besar.
Jadi, daerah harus mengeluarkan banyak duit untuk setiap pos anggaran. Sekarang mari kita lihat di tahun 2021.
Tahap 1 di tahun 2021, alokasi APBD Penanganan covid-19 sebesar Rp45.142.413.293 dan yang terserap sebesar 3,56%. Tahap 2 targetnyanya +-18 miliar sehingga total secara keseluruhan untuk alokasi APBD Penanganan Covid-19 tahun 2021 sebesar +-63 miliar.
Dari segi alokasi APBD Penanganan Covid-19 Tahun Anggaran 2021, saya menilai tidak logis karena angkanya terlalu fantastis.
Sedangkan dari segi penyerapan, saya menilai sangat logis karena kecil, yakni 3,56% alias Rp1.607.528.400 (keadaan 31 Juli).
Penyerapan anggaran yang kecil di tahun 2021 mengkonfirmasi bahwa kerja pemerintah menangani pandemi Covid-19 ini sangat progres.
Dalam refocusing anggaran tahap dua, saya melihat Bupati Nabit berdalih pada alasan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat.
Saya sendiri mengapresiasi hal ini tetapi sekali lagi saya coba menguraikan alasan ini demi menguji urgensi dari refocusing anggaran tahap dua.
Setahu saya, target masyarakat penerima Bantuan Langsung Tunai kurang lebih sebanyak 13 ribu jiwa.
Tetapi karena sebagian masyarakat penerima Bantuan Langsung Tunai diintervensi oleh Anggaran Dana Desa dan Bantuan Sosial Tunai Kemensos, maka data penerima Bantuan Langsung Tunai dari APBD II menjadi kurang lebih 7 ribuan jiwa.
Dari jumlah ini, maka alokasi dana yang dianggarkan ke Dinas Sosial sebesar +-13 miliar rupiah. Saya mau katakan bahwa Bantuan Langsung Tunai bagi masyarakat merupakan salah satu pos anggaran yang kebutuhanya sebesar +-13 miliar rupiah.
Jadi APBD penanganan Covid-19 masih banyak sisanya. Jangan menggiring publik seolah-olah seluruh dana APBD Penanganan Covid-19 Tahun Anggaran 2021 dianggarkan untuk kepentingan Bantuan Langsung Tunai bagi masyarakat.
Adapun pos anggaran lainnya seperti Dinas Kesehatan di mana alokasi anggaran sebesar +-16 miliar, yang terserap berjumlah +-800 juta (keadaan per Agustus minggu ke dua).
Kemudian di Rumah Sakit alokasi anggaran sebesar +-12 miliar dan yang terserap +-2 miliar (keadaan per Agustus).
Dan yang terakhir alokasi anggaran untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebesar +-3.350.659.200 dan yang terserap +-1.345.876.700 (keadaan per Agustus).
Manakala data yang saya sampaikan ini keliru, silakan dibantah dengan data yang valid. Dari alokasi serta penyerapan anggaran pada beberapa pos ini, tinggal dikalkulasi saja dan tentu Kabupaten Manggarai surplus anggaran.
Dalam keadaan surplus anggaran, masih urgenkah Bupati melakukan refocusing anggaran tahap dua? Kalaupun urgen, maka semestinya dilakukan skema pemotongan anggaran belanja modal dengan jumlah yang sedikit dan se-adil mungkin pada empat instansi sebagaimana yang tercantum dalam Surat Keputusan nomor: HK/ 253/ 2021.
Sehingga di tengah pandemi Covid-19 saat ini, proyek fisik masih berjalan. Dampaknya adalah pembangunan dan perekonomian masyarakat tidak stagnan.
Bukankah ini kemudian akan menjadi prestasi bagi Bupati Manggarai? Jadi kajian ini merupakan landasan dasar sehingga DPC PMKRI Ruteng menilai refocusing anggaran tahap 2 tidak urgen.
Keputusan Bupati Diduga Bertendensi Politik
Kebijakan refocusing yang dilakukan oleh Bupati Manggarai telah menghilangkan 18 paket proyek dengan pagu Rp7.493.332.000 yang notabene sudah selesai tender.
Sementara 48 paket proyek lainnya yang belum mulai tender dan sedang proses tender dilakukan pemotongan dan empat di antaranya dipangkas hingga tidak ada sisa anggaran.
Jelas-jelas bahwa 18 paket proyek yang sudah ditender itu sudah melalui proses yang panjang. Artinya bahwa daerah ini sudah terkuras energinya, baik berupa waktu, tenaga, juga secara finansial.
Tetapi pada akhirnya dicoret, semudah membalikan telapak tangan.
Kemudian saya kira masih banyak proyek-proyek lain yang tidak begitu penting jika dikaji lebih jauh. Sehingga patut ditanya, apakah tidak ada opsi lain ketimbang menghilangan 18 paket proyek yang sudah ditender?
Apakah penghilangan 18 paket proyek itu terjadi secara kebetulan? Ataukah hal ini sudah direncanakan secara matang lalu refocusing dijadikan tameng?
Ingat bahwa proyek-proyek yang sekarang dipotong dan dihilangkan tidak muncul begitu saja tetapi melalui proses politik yang panjang dan disepakati secara bersama oleh legislatif dan eksekutif lalu disahkan melalui produk berupa Perda ataupun sejenisnya.
Kebijakan Berbasis Bukti
Kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang Bupati Nabit harus berlandasan kuat. Artinya, melalui pertimbangan-pertimbangan yang paralel dengan kepentingan rakyat, bukan kepentingan sekelompok orang.
Oleh karena itu, analisis terhadap kondisi daerah harus tajam sehingga menjangkau skala prioritas pembangunan daerah.
Untuk sampai pada tataran ini maka gunakan data-data yang valid sebagai instrumennya. Argumen ‘Kesejahteraan Masyarakat’ tidak cukup dijadikan alasan terhadap sebuah kebijakan. Mesti didasari dengan bukti-bukti.
Kalau refocusing anggaran itu penting maka apa buktinya? Jangan hanya bilang demi kesejahteraan rakyat (Bantuan Langsung Tunai).