Kupang, VoxNtt.com-Alih-alih membawa misi perdamaian, China ternyata punya maksud terselebung dengan mendukung gerakan Taliban mengusai Afghanistan.
Dengan berhasil dikuasainya Kota Kabul, ibukota Afghanistan oleh kelompok Taliban, maka sesungguhnya babak baru percaturan kekuasaan dan ekonomi telah dimulai.
Selama ini China tak hanya menonton gerak-gerik Amerika di Afghanistan. Informasi intelijen Barat menyebutkan China membantu Taliban secara diam-diam mulai dari pendanaan sampai pasokan senjata.
Tak hanya itu, pengamat strategi militer juga menyebut Taliban memakai strategi China untuk menguasai Kabul. Lalu, siapa yang menyusun strategi kemenangan Taliban di Afghanistan? Jawabannya mungkin mengejutkan. Sosok itu adalah Mao Zedong.
Pemimpin revolusi Komunis China ini memiliki pengaruh yang kuat di Afghanistan. Dia bisa dianggap sebagai Bapak Perlawanan Modern: ajarannya antara lain menginspirasi gerakan FARC di Kolombia, Al Qaeda dan ISIS.
Pada tahun 2004, ahli strategi Abu Bakr Naji dari kelompok perlawanan Islam merilis dokumen yang berjudul “Managemen Kebiadaban”. Artikel ini menjadi buku teks perlawanan kelompok Islam namun isinya meminjam strategi Mao Zedong.
Untuk diketahui Mao mengasah naluri militernya di garis depan dalam perang melawan pendudukan Jepang dan perang saudara untuk merebut China melawan kaum Nasionalis yang didukung Amerika.
Dia mengemukakan gagasannya tentang perang gerilya dan, kemudian disebut “perang rakyat”.
Pengamat pemikiran Mao, Dr Thomas Marks, mengatakan: Perang ala Mao adalah perang yang tidak teratur bila dibandingkan dengan perang ala Barat.
Dalam tulisannya untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di West Point, Dr Marks menjelaskan “Tulisan-tulisan Mao sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan keberhasilan dalam pemberontakan di Irak dan Afghanistan.”
Lalu, apa yang Mao katakan tentang perang gerilya, dan apa yang dipelajari Taliban?
Dia menunjukkan bagaimana kekuatan yang lebih kecil dapat mengalahkan yang lebih besar. Dalam bukunya, Tentang Perang Gerilya, Mao mengatakan pemberontak haruslah gesit, harus beradaptasi dan menggunakan pengetahuan dan penduduk lokal bagi keuntungan mereka.
Mao menulis, “Strategi gerilya terutama harus didasarkan pada kewaspadaan, mobilitas, dan serangan. Hal ini harus disesuaikan dengan situasi musuh, medan, jalur komunikasi yang ada, kekuatan relatif, cuaca dan situasi rakyat.”
Bagi Mao, ini adalah perang rakyat: petani hari ini adalah tentara esok hari. Dan di atas semua ini terjadi apa yang disebutnya “perang yang berkepanjangan”,pertempuran panjang dan sulit untuk melemahkan dan mengusir musuh.
Dekatnya hubungan China dan Taliban juga ditandai dengan pertemuan delegasi keduanya di China pada 28 Juli 2021 lalu. Pertemuan itu dalam rangka melakukan perbincangan mengenai situasi di Afghanistan.
Dalam kesempatan itu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan Taliban memiliki peran penting dalam proses perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi Afghanistan.
China juga menyerang AS dengan menyebut penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan menunjukkan kegagalan kebijakan AS terhadap Afghanistan.
Lalu apa sebenarnya yang diincar China di Afghanistan?
Afghanistan sampai saat ini disebut memiliki cadangan sumber daya alam terbesar di dunia yang belum dieksploitasi seperti tembaga, batu bara, kobalt, merkuri, emas, dan lithium. Nilainya sangat fantastis yakni diperkirakan lebih dari USD1 Triliun.
China saat ini juga merupakan investor asing terbesar di negara tersebut bersaing dengan India.
Untuk mengunci kekuatan India yang digoncengi Amerika, China menggandeng Pakistan. Kerja sama Ekonomi China-Pakistan adalah proyek unggulan di kawasan itu . Kedua negara ini ingin melibatkan Afghanistan melalui jalur jalan raya dan kereta api.
China juga berkepentingan menggandeng Pakistan minimal pada dua hal: merintangi manuver ekonomi India di kawasan dan memastikan Taliban Pakistan tidak menyerang proyek unggulan China di sana.
Pakistan adalah sekutu China yang paling kuat dan China akan sangat bergantung pada Pakistan untuk memastikan proyek-proyeknya di Afghanistan dan secara regional aman.
Kepentingan lain China dengan berkompromi dengan Taliban juga berhubungan dengan muslim Uighur di provinsi Xinjiang.
China sebenarnya telah lama khawatir tentang Afghanistan. Afghanistan bisa menjadi pijakan bagi separatis minoritas Uighur di wilayah perbatasan sensitif di provinsi Xinjiang.
Untuk diketahui, Suku Uighur merupakan salah satu suku minoritas yang ada di China dan penduduknya rara-rata beragama Islam. Secara budaya, suku ini lebih dekat dengan bangsa Turki dari pada mayoritas bangsa Han.
Awal abad ke-20 menjadi awal munculnya suku Uighur. Mereka lalu mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Dari situ, warga Uighur dicap punya kecenderungan ‘memberontak’ oleh petinggi di Beijing-Cina.
Pemerintah China juga menaruh rasa curiga pada suku Uighur. Mereka dianggap ingin melepaskan diri dari RRC. Ditambah lagi muncul isu diskriminasi dari lembaga Human Right Watch yang mengatakan lebih dari 10 juta suku Uighur dipersulit untuk membuat paspor.
Inilah yang membuat warga dari suku Uighur sulit ke luar negeri. Petugas imigrasi mewajibkan mereka menyerahkan puluhan dokumen serta wawancara untuk memeriksa ideologi politik mereka.
Jadi, masalah China dengan muslim Uighur sebenarnya lebih ke persoalan separatism karena mereka minta untuk merdeka. Di sisi lain, China bersikap sangat represif terhadap gerakan semacam itu.
Kembali ke Taliban, China akhirnya menemukan celah untuk menyelesaikan masalah separitisme Uighur. Sayangnya, langkah China ini bukan menyelesaikan persoalan. Dengan bermain mata dengan kelompok Taliban, China sebenarnya ingin menerapkan strategi cuci tangan.
Hal itu diperjelas dengan delegasi tingkat tinggi Taliban bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Tianjin akhir Juli lalu.
Taliban menjanjikan Afghanistan tidak akan digunakan sebagai basis bagi militan mana pun, termasuk separatis minoritas Uighur.
Sebagai gantinya, China menawarkan dukungan ekonomi dan investasi untuk rekonstruksi Afghanistan. Tak hanya itu, sebagai imbalan setelah dipasok uang untuk membeli senjata, sumber Barat meyakini pemberontak akan menjauh dari Uighur, yang sempat mereka dekati.
Selain Uighur, sumber intelijen meyakini China mengharapkan sumber daya mineral dan jalur perdagangan lewat Afghanistan.
Langkah ini tentu berbeda dengan strategi Amerika yang lebih memilih pendekatan militer di Afghanistan. Pendekatan China adalah melalui dukungan ekonomi seperti menciptakan jalan, menciptakan infrastruktur, dan memastikan setiap orang memiliki pekerjaan.
Bagi China, Jika semua warga Afghanistan pergi bekerja jam sembilan pagi dan pulang jam 6 sore, mereka tidak punya waktu untuk memikirkan terorisme.
(Dirangkum dari Berbagai Sumber)