Oleh: Yosef Sampurna Nggarang
(Sekjend Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Pembina HIPMMABAR-Jakarta)
Bagian (1)
Baru saja kita sama-sama mengikuti pemberitaan sidang vonis kasus tindak pidana korupsi pengalihan aset tanah Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar) yang terletak di Toro Lemma Batu Kallo/Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, seluas kurang lebih 30 hektare (Ha).
Pengadilan TIPOKOR Kupang sudah menvonis bersalah kepada 15 terdakwa dan dua terdakwa lainnya divonis bebas.
Perkara dugaan soal pengalihan aset tanah Pemkab Mabar, sepertinya tidak berhenti di lahan 30 hektare.
Hari-hari ke depan Kejaksaan Tinggi NTT/Negeri Mabar sebagaimana pemberitaan media akhir-akhir ini; sedang mengusut dugaan tindak pidana penggelapan aset tanah Pemda seluas kurang lebih 3,3 hektare dengan dugaan ada nilai kerugian negara miliaran rupiah yang terletak di Tanah Genang ujung Bandara, sebelah utara rumah jabatan Bupati Mabar Desa Batu Cermin.
Tulisan ini bentuk partisipasi publik untuk mendukung, mengawal dan memastikan agenda penegakan hukum berjalan.
Dengan begitu praktik pemerintahan good governance di Kabupaten Manggarai Barat yang berumur 18 (delapan belas) tahun terwujud.
Tulisan ini juga agar publik bisa mengetahui cerita di balik berita soal dugaan penggelapan aset, bisa dijadikan informasi tambahan, pembanding dari berita yang sudah tersaji di beberapa media dan publik selama ini.
Tentang bagaimana soal lahan Pemkab Mabar yang sekarang bermasalah, ini berawal ketika negara dalam hal ini Pemkab Manggarai tahun 1984 dan Pemkab Mabar tahun 2010 meminta lahan dari tujuh orang masyarakat untuk dimanfaatkan oleh pemerintah.
Penelusuran saya terkait siapa nama- nama tujuh orang pemilik tanah serta dimana lokasi awal adalah: 1). Karim Kero, letak tanahnya di kantor Pengadilan Negeri dan Dinas Kesehatan. 2). Ali Baki, tanahnya sedang persiapan untuk kantor TNI persis depan kantor Bank BPD NTT. 3). Janda Hasi, letak tanahnya di kantor Dinas Pertanian dan Catatan Sipil. 4). Hendrik Dula Hada, terletak di Kantor KPU Kabupaten Manggarai Barat. 5). Abdurahman Haman (belum ada bangunan). 6). Tarsisius Tapu, letak tanahnya di bandara bagian Selatan. 7). Haji Ishaka/H.Ramang Ishaka, letak tanah di Golo binongko (sekarang sudah bangun DVOR Bandara Komodo).
Tanah pemilik awal tujuh orang tersebut, hampir semuanya sudah dimanfaatkan oleh Pemkab Mabar, yaitu sudah berdiri bangunan beberapa kantor- kantor dinas.
Sedangkan tanah yang terletak di Golo Binongko, Pemkab Mabar juga sudah dipergunakan pembangunan DVOR Perhubungan Udara (2010) untuk pemantauan keselamatan penerbangan, hingga sampai sekarang status bandara Komodo- Labuan Bajo menjadi Bandara Internasional.
Surat Keputusan Bupati Mabar
Tanah garapan dari tujuh orang masyarakat ini diganti oleh Pemkab Manggarai Barat, dalam hal ini Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula pada tahun 2012 mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Barat Nomor: 9/KEP/HK/2012 tentang Penunjukan/Penetapan Tanah Pengganti Tanah Masyarakat pada Lokasi Tanah Pemerintah Daerah.
Dalam pertimbangan pada SK yang ditandatangani oleh Bupati Agustinus Ch. Dula pada point a): Bahwa dalam rangka tertib administrasi pertanahan dan menjamin status kepemilikan tanah, bagi bekas penggarap pada tahun 1984 sesuai lampiran Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manggarai Nomor 140 Tanggal 25 Mei 1993; maka perlu diberikan tanah pengganti;
Dalam hal Memutuskan dan Menetapkan, SK Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula pada tanggal 5 Januari 2012, bahwa ditetapkan; poin Satu: Menunjuk lokasi tanah Pemkab Mabar sebagai tanah pengganti atas tanah milik masyarakat yang nama- nama dan luasnya sebagaimana tercantum pada lampiran satu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keputusan ini. Kedua: Letak lokasi tanah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU keputusan ini berada di Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Jadi, jelas bahwa makna dari SK Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula di atas adalah mengganti tanah yang merupakan hak dari ketujuh masyarakat.
Sebagimana tercantum pada lampiran satu Surat Keputusan tersebut tertera nama-nama masyarakat yang menerima tanah pengganti, lokasi tanah pengganti, luas tanah yang diganti serta keterangan pada peta untuk ketujuh orang tersebut semuanya berjumlah 18 kapling dengan total luas kurang lebih 2,9 hektare (lampiran dua dalam SK tahun 2012).
Tiga tahun kemudian terbit SK baru dengan nomor:217/KEP/HK/2015. SK ini untuk mengubah SK Bupati Manggarai Barat Nomor: 9/KEP/HK/2012. Poin dari perubahan SK Bupati Manggarai Barat ini adalah soal “perubahan luas tanah pengganti atas nama Tarsisius Tapu,” di mana dalam SK tahun 2012 luas tanah yang diganti ada 7 (tujuh) kapling dengan total luas 12.000 m2 (dua belas ribu meter persegi).
Pada SK Bupati Manggarai Barat yang ditetapkan pada tanggal 24 Agustus tahun 2015, luas tanah bertambah 4.000 m2 jadi 16.000 m2.
Menariknya, jumlah kapling tetap sama untuk nama Tarsisus Tapu, tujuh kapling (kapling 1 sampai dengan 6 dan 17) dan total jumlah kapling untuk seluruh tujuh orang ini tetap sama, yaitu 18 kapling dengan total luas 3,3 hektare.
Entah bagaimana Pemda mengatur tambahan luas, namun tidak diikuti dengan penambahan kapling?
Semoga penyidik Kejari Mabar bisa menemukan jawaban atas pertanyaan ini.
SK Bupati Mabar tahun 2012 ini juga oleh para ahli waris protes. Beberapa ahli waris bulan Mei 2021 lalu saat diundang oleh salah satu pimpinan DPRD Mabar yang mana saya juga turut hadir dalam diskusi terbatas itu menyampaikan keluh kesah, “soal SK 2012 jadi masalah dan menyeret mereka. Padahal kami di sini pihak yang dirugikan, tanah kami sudah dimanfaatkan oleh Pemda. Lalu tanah yang diganti lebih kecil daripada luas tanah milik masyarakat sebelumnya”.
Ahli waris Haji Ishaka, yaitu Haji Ramang yang luas lahan sebelumnya 4.500 m2 dalam SK yang dia terima hanya diganti 4.000 m2, lalu penerima ini melakukan pengukuran ulang, ternyata hasil pengukuran ulang hanya 2.850 m2 tidak sampai luas 4.000 m2 sebagaimana yang tertera dalam SK 2012.
Karena tidak sesuai luas tanah sebelumnya 4.500 m2, juga tidak sesuai yang tercantum dalam SK 4.000 m2.
Untuk mencukupi kekurangan 4.000 m2 dalam SK, Pemda hanya menambah 800 m2. Jadi, si penerima sampai hari ini hanya menerima tanah pengganti seluas 3.650 m2 (tiga ribu enam ratus lima puluh meter persegi).
Letak lahan tambahan 800 meter persegi tadi terpisah dengan luas 2.850 m2 (kapling 11,11a) yang sebelumnya tercantum dalam SK.
Menurut Pemda ini tidak soal. Karena tidak soal, maka Haji Ramang menyerahkan lahan 800 m2 ini kepada keponakannya Muhamad Syair.
Dari 800 m2 yang sudah diserahkan itu,600 m2 masuk dalam pembebasan perluasan bandara, tentu ada ganti rugi.
Dalam proses ganti rugi ini tahun 2020, tentu melalui kajian panitia pengadaan tanah yang diamanatkan oleh Undang undang Nomor 2 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2012 tentang Pentunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Panitia terdiri: Bupati (mulai perencanaan pengadaan tanah, persiapan pengadaan tanah).
Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Barat sebagai tim pengawal dan pengawal pemeritahan dan pembangunan daerah (TP4D), dalam hal ini Kejari memberi pertimbangan hukum terkait proses pengadaan tanah.
Kepala Kantor Badan Pertanahan Manggarai Barat sebagai pelaksana sampai pada tahap penetapan.
Sedangkan pemilik tanah pengganti lainnya, begitu menerima SK tahun 2012 mereka melakukan peralihan hak ke pihak lain dengan jual beli.
Itulah mengapa di lahan pengganti lahan Pemda ini sudah berdiri beberapa bangunan rumah.
Menurut informasi yang saya dapat saat saya turun langsung melihat lokasi ini (Senin, 9 Agustus 2021) sore lalu, bahwa bangunan rumah ini milik salah satu mantan Kepala Cabang Bank NTT dan orang PLN.
Bersambung…