Oleh: Andreas Nega Bhai
Krisis yang kita hadapi saat ini adalah membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Krisis yang lebih utamanya adalah hilangnya kepercayaan kaum muda akan nilai-nilai Pancasila secara integral.
Ketika hilangnya kepercayaan kaum muda akan Pancasila, maka di sini akan terjadi krisis kehidupan.
Konstitusi yang telah dibangun akan menjadi rapuh, bila Pancasila hanya menjadi materi lelucon negara.
“Berikan aku 1000 orang tua akan kucabut semeru, berikan aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia’’.
Bahasa harapan Bung Karno ini, mempunyai estimasi ke depan yang luas dan baik. Namun jika diperhadapkan dengan realita yang ada, hanya menjadi orasi dan kata puitis, tidak ada arti bagi siapapun.
Mahasiswa Krisis Kehidupan Berpancasila
Fenomena yang terjadi dua dekade ini menjadi topik yang trending untuk dibicarakan.
Pasca-reformasi nilai Pancasila mulai memudar. Lantas siapa yang harus disalahkan?
Setiap lapisan masyarakat mulai berpersepsi, salahkan pemerintah dan salahkan guru.
Salahkan kita yang saling menyalahkan, salah mengartikan, dan siapa yang harus dipersalahkan?
Menurut saya pendidikan awal yang salah, terutama dalam menerjemah Pancasila kepada kaum muda.
Mengadu domba masyarakat dan pemerintah akan memicu anomalitas kaum muda yang masih dangkal berpikir tentang tindakan yang akan dilakukan.
Krisis berpancasila menjadi ancaman berbahaya bagi negara. Indonesia tanpa Pancasila bukanlah Indonesia.
Masyarakat Indonesia memandang Pancasila bukan sebagai alternatif, melainkan satu imperatif.
Tendensi dari imperatif ini, memicu tudingan dengan memihak kepada etnis mayor maupun minor.
Krisis yang lebih nyatanya ketika terjadi tawuran antarpelajar. Ini adalah momen di mana pendidikan wawasan kebangsaan dipertanyakan.
Apakah guru yang salah atau pendidikan karakter yang belum diaplikasikan oleh siswa?
Menghancurkan Pancasila sama dengan menghancurkan Indonesia. Berhadapan dengan hal ini, tanpa disadari Indonesia memiliki generasi di mana masyarakatnya khususnya regenerasinya mempunyai paham individualisme yang sangat tinggi.
Hilangnya kepercayaan akan toleransi tentu menjadi momok masa depan negara.
Kriminalitas akan merajalela. Tindakan separatis mungkin akan terjadi. Masalah yang dihadapi saat ini adalah tawuran antarpelajar, tidak hanya terjadi di ibu kota, juga ada di kota-kota besar lainnya.
Di NTT sudah pernah terjadi tawuran antarpelajar pada Sabtu, 16 Februari 2019. Tawuran pelajar terjadi di Kota Kupang, di mana SMKN 2 menyerang SMAN 4 Kota Kupang.
Krisis ini harus dihadapi dengan proses yang matang. Masalah karakter menjadi persoalan serius dalam dunia pendidikan di NTT.
Masalah karakter ini, jika tidak diatasi dengan serius akan menjadi masalah yang sangat serius juga bagi masa depan bersama.
Persoalan di NTT, dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan karakter dan moral toleransi masih minim.
Mengapa seperti ini? Seyogianya pendidikan karakter dan moral ditekankan dalam pendidikan kewarganegaraan.
Nilai moral memang semuanya bernilai personal karena harus dilihat dalam hubungan dengan person.
Nilai moral berkaitan erat dengan toleransi. Ketika toleransi diaplikasikan dengan sendirinya nilai moral Pancasila turut berpartisipasi.
Apabila nilai moral hanya sebagai pelajaran demi mendapatkan nilai tentu sangat dangkal. Jika ini yang dibutuhkan, apa arti pendidikan yang sesungguhnya?
Apatisme dan Kriminalitas Pancasila
Rendahnya kesadaran dan toleransi adalah duri bagi negara. Pendidikan yang seharusnya menjadi garda masa depan memanifestasikan diri menjadi momok yang meresahkan, bahkan ditakuti oleh negara.
Apatisme menjadi agitator yang merusak nilai Pancasila dan keharmonisan hidup.
Apatisme menista Pancasila dan toleransi memungkinkan kriminalitas terjadi.
Sigmund Freud dalam perspektif psikoanalisa menyatakan ketidakseimbangan hubungan antara ld, ego dan superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku penyimpangan atau kejahatan.
Perilaku kejahatan merusak sistem dan struktur sosial. Perusakan ini sangat bertentangan dengan nilai praksis dari Pancasila.
Apatis dan kriminalitas merupakan ancaman terbesar dan problem bersama dalam keharmonisan.
Perusakan ini masih belum diatasi di negara kita. Negara masih memfokuskan diri pada masalah kaum-kaum tua yang seenaknya menari di atas daki masyarakat.
Negara lupa akan harapan yang diharapkan oleh Founding Father “berikan aku 10 pemuda akan kuguncang dunia”.
Ketika kita merefleksikan lebih jauh di antara 10 pemuda dan 1000 orang tua yang lebih diandalkan Bung Karno adalah 10 pemuda yang diyakininya mampu mengguncang dunia.
Bukan berarti dalam bahasa Founding Father membuat estimasi konservatif, estimasi yang lebih dan melampaui batas.
Meskipun begitu berhadapan dengan realita, estimasi Founding Father tidak dihiraukan, mengalir begitu pasif hingga melahirkan apatisme dan kriminalisasi.
Tendensinya nilai dari Pancasila dinomorduakan, bukan lagi menjadi fundamentalisme hidup. Namun telah diganti dengan ideologi apatisme dan kriminalitas.
Legitimasi apatis dan kriminalitas menjadi garda terdepan kaum muda, dan runtuhnya nilai karakter bukan menjadi masalah hidup dewasa ini.
Runtuhnya praksis Pancasila adalah ancaman terbesar yang tidak mungkin dielak lagi.
Mahasiswa Toleransi Berpancasila
Sejak proklamasi Pancasila menjadi landasan fundamental yang mempersatukan seluruh suku, bahasa, agama, pertanyaan umum yang masih diajukan mengapa masih ada intoleransi di negara kita? Apa penyebabnya? Pertanyaan yang lazim dipertanyakan.
Secara psikoanalisis Freud, kita masih mengikuti ego dan superego yang terus menerus membuat kita tidak peduli dengan lingkungan di sekitar kita.
Dalam butir-butir Pancasila menekankan tentang toleransi dan kepekaan sebagai masyarakat yang berTuhan, kemanusiaan yang adil, persatuan, kerakyatan yang dipimpin, dan keadilan.
Semuanya sama tidak ada yang lebih dan kurang. Apalagi yang dibutuhkan semuanya sudah tersurat dan bagaimana kita menyatakan surat itu.
Hanya butuh kepekaan dan rasa persatuan, disposisi jiwa merasa senasib, satu perjuangan, dan satu cita-cita menuju Indonesia yang adil dan makmur.
Sangatlah penting toleransi Pancasila bagi kaum muda. Merasa satu cita-cita membangun Indonesia adalah bukti bahwa kita adalah satu dengan cita-cita yang sama yakni melihat Indonesia berdiri kokoh dalam persatuannya.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang