Oleh: Yohanes Mau
(Warga NTT, pemerhati masalah politik, sosial dan kemanusiaan. Kini tinggal di Zimbabwe, Afrika)
Beberapa hari terakhir ini NTT, Indonesia digencarkan oleh prestasi brilian yang digapai oleh putri cantik nona Susanti.
Pada awalnya pemerintah daerah tidak membiayai dia untuk ikut partisipasi dalam ajang PON XX Papua 2021.
Namun itu tidak mematikan niat baiknya untuk pergi dan turut serta dalam perlombaan bergengsi itu.
Semangatnya berkobar bagai nyala api yang terus menyala di tengah derasnya gaung Covid-19.
Egonya hati pemerintah yang tak memperhitungkan atlet sederhana dari kampung pedalaman.
Susanti pergi ke Papua tanpa dibiayai oleh pemerintah daerah. Ia pergi dibiayai oleh orangtua dan keluarganya sendiri.
Ia pergi dengan tujuan mulia untuk mengharumkan nama NTT yang sering menjadi bahan cerita di pelbagai media tentang aneka prestasi terbuntut dari semua provinsi yang ada di Indonesia.
NTT juga adalah negeri kecil kaya yang tidak mampu dioptimalisasikan kemajuannya oleh pemimpin daerah dari periode ke periode hingga periode terkini pun masih seperti yang dulu.
Kita juga masih ingat baik bahwa baru-baru ini NTT dihebohkan dengan pelanggaran fatal oleh gubernur NTT bersama para pejabat lainnya di pulau Semau.
Melanggar Prokes yang telah dikeluarkannya bagi masyarakat. Namun hingga kini gubernur NTT masih diam seribu bahasa.
Tidak merasa bersalah. Seolah gubernur dan pejabat lainnya itu kebal hukum di NTT.
Ada Apa dengan Susanti dan Pemerintah Daerah?
Pemerintah itu ada karena dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Susanti putri sederhana itu adalah warga NTT.
Ia memiliki rindu yang dalam untuk berjuang mengharumkan nama NTT yang kerap kali menjadi bahan cerita yang tak pernah selesai itu ajang nasional.
Hasratnya yang begitu menggebu untuk pergi ikut lomba PON XX Papua 2021 tak didukung oleh pemerintah daerah.
Pemerintah daerah melihat nona Susanti dengan mata sebelah. Susanti bagai anak yatim yang tak berayah dan beribu.
Pemerintah mencuci tangan bagai Pilatus. Namun Susanti yang tak terhitung dalam biaya atlet daerah NTT itu bisa tampil gemilang hingga meraih prestasi.
Ia pergi dengan jiwa yang kesatria. Ia pergi untuk tunjukkan bahwa ia adalah yang tak terhitung.
Ia berjuang hingga menjadi yang terhitung dan nomor satu. Walaupun tak dihitung oleh pemerintah daerah NTT namun ia terhitung lebih dari pemerintah daerah NTT.
Pemerintah NTT hanyalah menjabat secara musiman saja karena adanya kesalahan teknis saat pesta demokrasi. Mungkin saja rakyat salah pilih pemimpin.
Pemimpin yang memiliki jiwa kebapaan adalah dia yang mampu merangkul dan menjadi bapak yang baik bagi seluruh rakyat NTT tanpa pilih kasih.
Tanpa melakonkan sandiwara ketidakadilan di tengah panggung NTT. Namun sayangnya ketidakadilan masih merajalela. NTT sudah salah pilih pemimpin. Menyesal kemudian tiada guna.
Nona Susanti adalah salah satu yang menjadi korban ketidakadilan namun ia tahu bahwa Tuhan yang diimaninya tak pernah meninggalkannya.
Ia yakin, Tuhan akan buka jalan. Pemerintah daerah boleh berhati batu bagai karang kota Kupang ibu kota NTT tetapi Tuhan masih bernama kasih.
Susanti menang dalam perlombaan dan mengahrumkan NTT di ajang nasional. Ia pergi, melihat, bertanding dan menang.
Ia pergi dengan bekal persiapan dan kemauannya yang melangit untuk menjadi yang terbaik. Tuhan memihak kepada dia dan rindunya yang terdalam pun tercapai.
Persembahan prestasi terbaik untuk NTT oleh Susanti adalah unik dari segala prestasi yang selama ini telah digapai oleh para atlet NTT lainnya.
Pergi tanpa dukungan pemerintah NTT tapi pulang dengan prestasi brilian mengharumkan nama NTT.
Pick up tua milik keluarga Susanti menjemputnya di Bandara untuk arak dan pawai Susanti pahlawan NTT di tengah maraknya penyalagunaan dana PON oleh Pemda.
Keluarga ingin berpawai dengan sederhana bersama Susanti. Dari keluarga sederhana namun sekali-kali Susanti bukanlah yang terkecil diantara yang terhitung dan tak diandalkan.
Lalu di manakah pemerintah daerah ketika Susanti siap diri untuk ikut PON XX Papua 2021? Pemerintah NTT adalah pejabat musiman yang rakus dan tamak, tak memperhitungkan yang terkecil.
Mereka adalah figur-figur sombong yang tidak pernah tahu bersyukur atas jabatan yang sedang mereka embani kini.
Betapa sedihnya melihat pemerintah daerah yang berhati batu. Mungkinkah hati mereka tercabik oleh Covid-19? Mungkin saja.
Pemerintah daerah sudah menyediakan kendaraan untuk menjemput Susanti. Namun sayangnya pelatihnya lebih memilih menumpang pick up tua milik keluarga telah lebih dulu di sana untuk menjemput Susanti.
Di sini terlihat jelas, betapa tidak ada rasa malu pemerintah NTT. Sudah tidak mendukung dan membiayai perlombaan Susanti.
Saat Susanti tampil meraih medali emas untuk NTT wajah pemerintah pun ada di sana. Mereka hadir dan menepuk dada bahwa Susanti adalah anak kami dari NTT, Ia tampil atas nama NTT.
Namun pemerintah daerah tidak membiayainya. Semoga pemerintah daerah bisa belajar dari pengalaman berharga ini untuk menjadi lebih baik dari kemarin-kemarin yang telah pergi.
Pick up tua itu nampak dari luarnya tak terhitung namun di dalamnya sarat makna. Susanti berjuang dalam kesederhanaan.
Berawal dari mimpinya yang besar menggapai bintang dan tetap membumi beri harapan kepada generasi berikut. Yang kecil bukan selamanya kecil dan tak terhitung namun kelak akan menjadi besar dan berkat bagi banyak orang.
Masih adakah pemerintah daerah NTT? Masih adakah dana PON untuk atlet NTT? Mengapa bukan KONI NTT yang kelola? Kalau masih ada di manakah?
Semoga tidak tidur nyenyak di atas takhta singgasana pemberian rakyat kecil dan dana atlet untuk PON tidak disalahgunakan oleh Pemerintah NTT dan tersangkut di saku-saku mereka.
Selamat untuk nona Susanti yang telah tampil dengan prestasi gemilang. Selamat juga untuk pemerintah daerah NTT yang hatinya membatu bagai jejeran karang di Kupang ibu kota provinsi kita.