Vox NTT- Beberapa waktu lalu ramai-ramai orang bertelanjang tanpa mengenakan pakayan dan hanya mengenakan cat putih di seluruh tubuh melintasi hamparan gurun di dekat Laut Mati, danau yang membujur antara Israel, Palestina, dan Yordania, Minggu (17/10/2021).
Jumlahnya dilaporkan bahkan mencapai ratusan orang, baik pria maupun wanita.
Belakangan diketahui, hal ini ternyata bagian dari proyek fotografi terbaru seniman asal Amerika Serikat (AS), Spencer Tunick (54). Pemotretan ini dilakukan untuk menyoroti fenomena perubahan iklim (climate change) yang terjadi di dunia.
Dilansir dari CNBC Indo dari South China Morning Post (SCMP), seniman Tunick menggarap proyek untuk menggambarkan Laut Mati yang terus menyusut melalui subjek telanjang. Dengan proyek ini, dia mengunjungi Israel sebagai tamu Kementerian Pariwisata.
Ide ini muncul setelah tepi Laut Mati surut sekitar satu meter setahun terakhir. Bahkan, lokasi pemotretannya di dekat Laut Mati lima tahun lalu menjadi surut dan hanya meninggalkan pasir berkerak, sehingga memperlihatkan lubang pembuangan yang menganga.
Seperti diketahui, perubahan iklim menjadi ancaman nyata di dunia selain pandemi Covid-19. Fenomena ini tidak hanya berimbas pada lingkungan hidup, tetapi juga pada perekonomian.
Para ilmuwan pun telah meneliti bagaimana emisi karbon, yang menjadi salah satu alasan terjadinya perubahan iklim, mempengaruhi dunia pada 2021.
Ini tidak hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga menghantui Eropa, AS dan Asia. Badai dan hujan lebih parah terjadi dari biasanya dan memakan korban nyawa muncul karena persoalan lingkungan.
Dalam penelitian terbaru dari AS, jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut Bumi menjadi tak layak huni pada tahun 2100. Meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, membuat kemungkinan suhu permukaan laut menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana, seperti dikutip dari Nature World News.
Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang menjadikannya tidak layanan huni bagi makhluk laut. Menurut peneliti Katie Lotterhos dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan diakibatkan polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan.
Sementara dari sisi ekonomi, analisis terbaru McKinsey menyatakan potensi kerugian akibat krisis iklim bisa mencapai US$ 4,7 triliun atau sekitar Rp 66.188 triliun (asumsi Rp 14.000/US$).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI juga memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.
Sektor keuangan saat ini telah mendeteksi peningkatan risiko terhadap banjir besar, topan, dan kemarau. Di tingkat global, investasi Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) telah mengalami gelombang pertumbuhan di balik pandemi dan memiliki fokus baru pada keberlanjutan.
Di Asia Tenggara, model bisnis yang mengutamakan keberlanjutan, penilaian risiko iklim, dan investasi ESG masih terbilang baru. Namun dampak dari perubahan iklim sudah terasa.
Sumber: CNBC Indonesia