Jakarta, Vox NTT- Bawaslu terpilih sebagai Presiden Global Network on Electoral Justice Network (GNEJ) untuk periode 1 Januari 2022 hingga 31 Desember 2023 menggantikan dari Republik Dominika (Superior Electoral Court of the Dominican Republic).
Sebelumnya sejak tahun 2020 lalu, Bawaslu terpilih sebagai Wakil Presiden GNEJ dari perwakilan Asia.
Sidang paripurna keempat GNEJ yang diselenggarakan secara daring pada pada 21 – 22 Oktober 2021 itu membahas tema global tentang “Demokrasi dan Korupsi” dari perspektif khusus tentang “Mekanisme perwakilan”, “Teknologi dan Disinformasi”, “Kemandirian Peradilan di tengah pandemi”, dan “Proses Pemilihan selama Covid-19”.
Pada saat pemilihan presiden, 187 anggota GNEJ yang berasal dari Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Mahkamah Pemilu, Pengawas Pemilu, para akademisi, pegiat pemilu dari berbagai negara yang memfokuskan diri kepada keadilan pemilu menyatakan ‘setuju’ kepada Bawaslu.
“Seluruh ‘governing council’ GNEJ menyatakan setuju atas terpilihnya Bawaslu sebagai Presiden GNEJ. Ada pun agenda pembahasan pada rapat GNEJ pada 21 – 22 Oktober 2021 ini di antaranya adalah pembahasan tentang tantangan yang dihadapi berbagai negara dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi Covid-19,” tutur Ketua Bawaslu RI Abhan saat menghadiri pertemuaan keempat GNEJ secara virtual, Kamis (21/10/2021).
Selain Indonesia, hadir pula beberapa Wakil Presiden GNEJ, yaitu Afrika Selatan untuk perwakilan Afrika, Kolombia untuk perwakilan Amerika, Spanyol untuk perwakilan Eropa.
Pada 4 Maret 2021, GNEJ sudah menggelar rapat membahas beberapa agenda seperti kalender agenda virtual, pertukaran pengalaman, dan informasi terkait pemilu antarnegara di dunia, sekaligus menyetujui untuk berkontribusi bersama menyediakan platform pertukaran informasi.
Lima Tantangan Demokrasi pada Masa Pandemi
Di dalam forum sidang paripurna GNEJ, Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan lima tantangan demokrasi pada masa pandemi Covid-19.
Tantangan pertama, sebut dia, apabila para pemimpin politik tak menghormati hasil pemilu atau menyerahkan kekuasaan secara damai.
“Penolakan ini dapat menyebabkan kemunduran demokrasi. Apatisme pemilih dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik tradisional, khususnya partai politik masyarajat mencari dialog alternatif dan jalur keterlibatan politik yang didukung oleh teknologi baru,” sebutnya.
Kedua, lanjut Abhan, fakta praktik korupsi masih terjadi di negara dengan sistem demokrasi menimbulkan pertanyaan, mungkinkah demokrasi tanpa korupsi?
“Tingginya angka korupsi di negara yang menganut kerangka sistem demokrasi bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi, dan keadilan,” ujarnya.
Abhan meyakinkan, terselenggaranya pemilu berkualitas dapat menghasilkan aktor politik terpilih yang akuntabel, profesional, dan berintegritas.
Dia mengakui, kualitas pemilu bisa diperkuat dengan pelibatan partisipasi masyarakat sipil.
“Mereka (masyarakat) bisa terlibat dalam pemantau pemilu seperti di Indonesia,” aku dia.
Ketiga, tingginya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, namun tidak berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap partai politik dan lembaga legislatif.
Kondisi tersebut, jelas Abhan, menunjukkan bahwa lembaga perwakilan yang ada belum dapat menjalankan fungsi secara maksimal di mata masyarakat.
“Akibatnya penerapan demokrasi lebih bersifat prosedural. Bahkan, prinsip kesetaraan gender yang telah ditegakkan oleh regulasi dalam menjamin hak pilih keterwakilan perempuan belum berbanding lurus dengan elektabilitas perempuan di legislatif,” terangnya.
Abhan melanjutkan tantangan keempat berkaitan fenomena pandemi Covid-19 yang mempengaruhi proses demokrasi di berbagai negara.
Dirinya menyatakan, hal ini membuat beberapa negara menyikapi demokrasi dengan tetap melaksanakan pemilu, menjadwal ulang, atau menunda pelaksanaannya.
“Indonesia telah menyelenggarakan pilkada di masa pandemi Covid-19 dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan menjamin hak politik pemilih dengan menyesuaikan regulasi. Dari pengalaman tersebut, Indonesia dapat memetakan isu Pemilu Serentak 2024 jika masih dalam kondisi pandemi Covid-19,” katanya
Penulis: Ardy Abba