Editorial, Vox NTT-Tahun ini kita mengenang 93 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan buah imajinasi kreatif dan progresif kaum muda Indonesia. Hidup di bawah bayang-bayang penjajahan bangsa kolonial ternyata tidak mematikan imajinasi mereka kala itu. Momentum itu justru merangsang imajinasi kreatif dan progresif kaum muda.
Dalam situasi-situasi genting, sulit, dan menantang seringkali imajinasi-imajinasi kreatif serta ide-ide brilian justru muncul. Umumnya manusia memang begitu. Semakin ditantang, semakin kreatif. Semakin dikekang, semakin memberontak.
Lalu, apakah imajinasi-imajinasi kreatif dan ide-ide brilian itu baru muncul dalam situasi-situasi genting, sulit, dan menantang? Tentu saja tidak. Akan tetapi, dalam situasi-situasi semacam itu, potensi munculnya imajinasi kreatif dan ide-ide brilian itu semakin besar. Gerakan-gerakan progresif juga biasanya muncul dalam situasi-situasi semacam itu. Persis itulah yang dialami kaum muda Indonesia pada era pra-kemerdekaan.
Apa yang dialami kaum muda Indonesia pada era pra-kemerdekaan dialami juga oleh kaum muda Indonesia pada masa sekarang. Di tengah krisis politik yang tidak menentu, kaum muda Indonesia semakin lantang berjuang dan bersuara. Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan hak-hak masyarakat yang ditindas oleh negara, menagih komitmen negara dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, menuntut penindakan yang tegas terhadap para pelaku kejahatan masa lalu, dan sebagainya. Inilah gerakan progresif kaum muda merespons krisis politik yang tidak menentu.
Nah, pertanyaan kita sekarang ialah apa arti penting dari gerakan progresif kaum muda itu? Pertanyaan ini penting untuk direflesikan. Sebab sebuah gerakan progresif dengan motivasi yang autentik tidak tenggelam dalam aktivisme belaka. Sebuah gerakan disebut progresif jika ia punya basis moralitas yang kuat, dasar argumentasi yang memadai dan tuntutan yang jelas, visi yang progresif, dan berorientasi pada kepentingan umum.
Sebuah gerakan justru menjadi “ideologis” jika ia dilandasi oleh spirit pragmatis dan oportunis. Apabila sebuah gerakan dilandasi oleh spirit pragmatis dan oportunis, gerakan itu menjadi rapuh, tidak punya jiwa, dan sudah pasti sulit mendapat dukungan publik. Kalau pun mendapat dukungan publik, dukungan itu sifatnya sementara. Dukungan publik akan Segera berakhir ketika motif dangkal dan tersembunyi dari gerakan itu terbongkar. Pada saat itulah publik merasa kecewa dan malah berbalik melawan gerakan itu.
Sebaliknya, jika sebuah gerakan dilandasi oleh spirit dan motivasi yang murni dengan basis moralitas yang kuat serta dasar argumentasi dan tuntutan yang jelas serta visi yang progresif, gerakan itu sudah pasti punya jiwa dan akan mendapatkan dukungan publik yang luas. Sebab yang diperjuangkan bukan kepentingan partisan yang sifatnya dangkal, melainkan kepentingan masyarakat umum.
Berkaitan dengan aksi para mahasiswa atau pemuda pada umumnya yang turun ke jalan akhir-akhir ini misalnya, arti dari gerakan itu tidak terletak pada aksi sensasional, tetapi pada komitmen kaum muda untuk berjuang demi kepentingan bangsa dan negara. Itu berarti kaum muda berjuang pada tataran nilai. Di sini preferensi nilai mendapat tempat utama.
Ketika suatu gerakan menempatkan nilai sebagai prioritas, spirit dari gerakan itu tidak lekas pudar oleh waktu. Komitmen itu sudah pasti akan tetap ada dalam diri kaum muda sampai kapan pun. Bahkan sampai mereka tua. Dengan demikian, beberapa tahun lagi kita tidak lagi mendengar atau melihat kaum muda yang selama ini turun ke jalan justru didemo juga oleh kaum muda generasi berikutnya karena persoalan yang sama.
Secara historis, gerakan-gerakan pemuda yang memunyai preferensi nilai yang jelas tampak dalam gerakan-gerakan pada era kolonial, masa-masa genting menjelang proklamasi kemerdekaan, dan pada tahun 1998.
Pada tahun 1928 misalnya, para pemuda dan pemudi dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan beberapa perhimpunan pemuda lainnya, mengadakan suatu konggres pemuda yang menghasilkan suatu kompromi yang sangat luar biasa bagi pembentukan identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
Konggres pemuda ini menghasilkan suatu ikrar setia para pemuda Indonesia untuk bertanah air yang satu yaitu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Ini adalah suatu kompromi yang luar biasa yang dihasilkan oleh para pemuda Indonesia. Komporomi ini hanya mungkin tercipta karena para pemuda Indonesia meninggalkan sekat-sekat primordial yang sempit dan mulai membangun semangat nasionalisme, patriotisme, pengakuan akan pluralisme dan multikulturalisme, perdamaian, dan persatuan.
Sebagai sebuah gerakan berbasis nilai yang telah menghasilkan suatu kompromi yang genial, gerakan 28 Oktober 1928 kemudian menjadi pijakan generasi selanjutnya dalam membangun gerakan-gerakan bersama sebagai suatu bangsa. Hal itu misalnya tampak dalam spirit para pejuang kemerdekaan yang bersatu melawan penjajah yang mencapai puncaknya dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa itu, spirit Sumpah Pemuda menyatukan mereka sebagai suatu bangsa sehingga gerakan perlawanan mereka tidak lagi bersifat sporadis dan fragmentaris.
Justru karena spirit inilah perjuangan mereka sampai pada titik kemenangan. Bangsa Indonesia pun akhirnya mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan bangsa asing pada tahun 1945.
Pada tahun 1998, gerakan pemuda Indonesia bangkit lagi. Sama seperti gerakan 1928 dan gerakan menjelang proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945, gerakan 1998 ini juga memunyai tujuan dan orientasi yang jelas. Tuntuan mereka juga jelas. Selain itu, preferensi nilai yang mereka perjuangkan juga jelas. Mereka menuntut kebebasan dan keadilan dalam bidang politik dan ekonomi.
Di tengah krisis politik, ekonomi, dan demokrasi di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, pemuda Indonesia generasi 1998 melakukan aksi bersama untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya dan menuntut segera dilaksanakannya reformasi.
Kini setelah reformasi bergulir selama sekian tahun, krisis politik dan ekonomi tidak kunjung berakhir. Sejumlah agenda reformasi bahkan belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah dan DPR sebagai pengemban amanat rakyat. Reformasi bahkan dianggap telah dikorupsi oleh para elite politik yang cenderung oligarkis. Dalam konteks ini, bangsa Indonesia benar-benar menghadapi sebuah tantangan baru.
Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kendati demikian, harus diakui bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini juga merupakan akibat dari struktur politik masa lalu yang kacau.
Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis politik yang cukup “luar biasa”. Hal itu tampak dalam sejumlah anomali yang kita saksikan akhir-akhir ini. Kita menyaksikan kompromi para elite politik terhadap agenda pemberantasan korupsi melalui pengesahan Revisi Undang-Undang KPK yang dinilai justru melemahkan KPK. Selain itu kita juga menyaksikan upaya penyingkiran para penyidik KPK yang sudah terbukti garang dalam memberantas korupsi. Padahal, korupsi di Indonesia sudah menjadi salah satu extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa).
Pada level pemerintahan dan partai politik, kita juga menyaksikan besarnya pengaruh para pemodal dan pebisnis yang membuat demokrasi Indonesia terkooptasi oleh parasit oligarki. Pada tempat lain juga, kita menyaksikan besarnya ketimpangan ekonomi antara segelintir orang kaya dan sebagian besar orang miskin akibat sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal yang menindas dan memiskinkan.
Selain persoalan korupsi, kesenjangan ekonomi yang besar, oligarki, dan besarnya hegemoni sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal, persoalan lain yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini ialah matinya politik (political) dan semakin besarnya kekuasaan negara (negara super power) berhadapan dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang utama. Karakter negara yang memiliki kekuasaan super power merupakan bahasa lain dari sistem pemerintahan yang otoriter. Padahal, salah satu ideal reformasi ialah melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan yang demikian.
Apa yang kita saksikan sekarang justru sebaliknya. Alih-alih ingin bebas dari kekuasaan yang lalim dan otoriter, para penguasa kita sekarang justru menyulap negara menjadi institusi yang memiliki kekuatan superpower. Indeks demokrasi pun terus menurun. Hal itu terbukti lewat tindakan represif yang dilakukan oleh sejumlah aparat terhadap para demonstran, peretasan akun media sosial dari sejumlah aktivis yang garang mengkritik pemerintah, dan berbagai macam contoh lainnya.
Berhadapan dengan aneka krisis itu, kaum muda mesti tampil sebagai kekuatan alternatif yang mendorong perubahan dan restorasi. Dalam konteks ini, kita membutuhkan gerakan-gerakan progresif kaum muda.
Kaum muda harus berani bersuara di ruang publik, baik lewat tulisan-tulisan maupun lewat aksi-aksi masa yang dilandasi oleh motivasi yang murni dan argumentasi serta visi yang jelas. Dalam konteks ini, kaum muda mesti tampil sebagai watch dog yang selalu bersikap kritis berhadapan dengan sistem kekuasaan yang menindas, koruptif, dan eksploitatif.
Kaum muda mesti berani membongkar struktur-struktur yang tidak adil dan sistem-sistem yang menindas dan koruptif. Kaum muda harus tampil garang menuntut agar politik dan demokrasi dikembalikan pada cita-citanya yang luhur yakni untuk mencapai kesejahteraan umum (bonum commune).
Penulis: Ferdinandus Jehalut