Oleh: Yohanes Mau
Penulis, kini tinggal di Zimbabwe, Afrika.
28 Oktober 1928 adalah momen bersejarah di dalam buku hidup Indonesia. Indonesia kala itu masih dikenal dengan sebutan Hindia-Belanda yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun.
Rentang waktu panjang dan lama nenek moyang kita dijajah tanpa kasihan sedikit pun. Mereka memonopili perdagangan rempa-rempa. Hadir mereka sebagai kaum kapitalis.
Tiada ruang gerak untuk ekspresi diri secara merdeka. Segalanya di bawah kontrol kolonial Belanda. Kebebasan anak negeri dikebiri. Tiada ruang hampa untuk melakonkan kebebasan sebagai manusia merdeka.
Para penjajah mengambil segala yang ada di tanah air Indonesia menjadi kepunyaan mereka. Segalanya diambil untuk membangun negerinya menjadi makmur. Sedangkan Indonesia dibiarkan merana dan berderai air mata selama 3, 5 abad. Yang membekas hanyalah jejak-jejak suram di hati anak negeri.
Anak-anak negeri dijadikan budak di rumah dan lahannya sendiri. Inilah kisah pilu yang menyayat hati generasi. Berkaca pada realitas suram ini generasi muda disadarkan untuk bangun dari tidur panjang. Bangun untuk merdeka. Bangun untuk bebas dari kekangan penjajah.
Usaha demi usaha telah dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu pada masa itu untuk membentuk Indonesia, tapi tak mempan juga karena pada masa itu Indonesia masih terbatas segala sesuatu untuk bertindak lebih demi kebebasan.
Namun ada satu hal yang mesti diacungkan jempol untuk generasi pemuda kala itu. Para pemuda dengan gagah berani mengikrarkan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928.
Berikut isi sumpah pemuda itu:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.”
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.”
Membaca kembali naskah ini bulu badanku terasa merinding. Bagaimana mungkin tidak? Para pemuda kala itu, di tengah derasnya masa penjajahan mereka bisa berani mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Tanpa memikirkan adanya risiko pemberontakan dari pihak colonialist.
Mereka tidak pusing peduli. Namun yang ada di dalam hati generasi masa itu adalah ketegasan demi Indonesia yang satu dari keterceceran ribuan pulau, suku bangsa, budaya, agama dan bahasa.
Mereka telah memutuskan dan dengan gagah berani mengikrarkan sumpah yang luar biasa. Ikrar awal yang membentuk dan bertujuan menggerakkan semangat serta rasa nasionalisme yang tinggi.
Ikrar itu mengikat dan menyatukan dari aneka perbedaan dan berpayung dibawah teduhan sejuk ikrar sumpah pemuda. Napasnya berhembus sejak 28 oktober 1928 hingga hari ini dan selamanya.
Indonesia hanya ada satu tanah air, yaitu Indnesia. Gunung, bukit, lembah dan jurang. Hamparan padang sabana, lautan luas, sawah dan ladang. Tanah subur dan tandus. Semuanya satu yakni tanah air Indonesia.
Negeri kepulauan yang kaya akan aneka sumber daya alam, tradisi, budaya dan bahasa. Banyak dan tercecer tapi satu bangsa, dan satu bahasa.
Warganya bisa berjelajah dari ujung timur hingga ujung barat, dan dari ujung utara hingga selatan semua bisa berkomunikasi dengan satu bahasa yang sama yakni bahasa Indonesia.
Inilah keunikan dan keistimewaan dari Indonesia. Bangsa yang berkulit kuning, merah, hitam, berambut lurus dan kriting. Memiliki bangsa yang sama dan satu yakni Indonesia.
Berdarah merah lahir dari satu rahim yakni rahim ibu pertiwi Indonesia. Dirangkul di dalam hangat pelukan yang sama yakni rangkulan hangat ibu Indonesia.
Atas momen besar dan bersejarah yang sangat monumental ini layaklah diberi apresiasi yang setinggi-tingginya. Para pemuda kala itu terimpit di tengah derasnya situasi sulit.
Namun tidak mematikan harapan dan rindu-rindu terdalam yang tumbuh dari lubuk hati mereka untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Mereka berani mendeklarasikan itu karena rasa yakin bahwa sumpah inilah yang akan membuat bangsa ini menjadi besar dan terkenal. Terima kasih para pemuda 28 oktober 1928. Jasa Anda terpatri hingga keabadian.
Mari Kita Telisik Pemuda Indonesia Terkini
Indonesia kini telah berada di era milenial. Era yang menawarkan segalanya dengan teknologi dan telekomunikasi yang serba mapan.
Segala sesuatu dapat digapai sekejab kapan dan di mana saja. Segalanya serba instant. Tidak memerluhkan tenaga ekstra seperti zaman dahulu.
Zaman milenial adalah zaman okay. Di dalam zaman milenial ini ada beberapa hal kecil yang secara perlahan mengikis nilai-nilai sumpah pemuda 28 Oktober 1928 kala itu.
Era milenial telah menghantar kaum muda hanyut dalam dunianya hingga lupa dengan sesama sahabat di sekitarnya. Kaum muda mulai meninggalkan keaslian tradisi dan budayanya dan secara perlahan mengadopsi budaya barat ke dalam hidup hariannya.
Misalnya mempraktikkan gaya hidup kebarat-baratan di lingkungan Indonesia yang masih kental dengan keaslian budayanya.
Menggunakan pakaian sehelai saja agar keindahan tubuhnya bisa terpantau oleh lawan jenis dan lainnya. Ini adalah salah satu persoalan yang sudah dan sedang lazim di negeri ini.
Dari aspek bahasa, banyak kata-kata asing yang diadopsi dan digunakan di dalam komunikasi formal setiap hari. Seolah penggunaan kata-kata asing itu telah menjadi habitual dalam keseharian hidup.
Inilah realitas nyata yang sedang terjadi di Indonesia. Bagaimana untuk mengatasi lenturnya nilai-nilai sumpah pemuda 28 oktober 1928 itu?
Berikut beberapa tawaran untuk tetap konsisten dalam menghidupi semangat dari nilai-nilai sumpah pemuda itu.
Pertama, pendidikan yang holistic oleh orangtua dan keluarga. Keluarga berperan sebagai pendidik pertama dan utama mesti melakonkan perannya secara baik dan benar.
Artinya anak dididik sedini mungkin untuk berpegang teguh dengan budaya dan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak diajarkan secara terus-menerus hingga nilai-nilai itu mendarah daging di dalam sikap dan tindakan hidup selanjutnya.
Orangtua tak boleh lalai dan alpa dalam mendidik dan mengajarkan anak. Tujuannya agar aliran semangat sumpah pemuda itu tetap bergaung di dalam diri anak dan generasi-genrasi selanjutnya.
Kedua, Lingkungan tempat dimana anak-anak tinggal dan tumbuh mesti kondusif.
Artinya suasana lingkungan yang menghadirkan nuansa harmonis yang menjunjung budaya kebangsaan. Lingkungan yang berpegang teguh pada kebiasaan warisan-warisan budaya kebangsaan.
Sehingga darinya anak belajar untuk mencintai tradisi dan budayanya sendiri tanpa melirik budaya barat menjadi budayanya.
Saya yakin, kalau anak diajarkan untuk setia belajar dan berpegang teguh pada kebiasaan ini maka nilai-nilai sumpah pemuda tetap ada dan eksis di tengah derasnya budaya luar yang mengalir masuk ke dalam rumah lingkungan tempat anak-anak tinggal.
Ketiga, Sekolah, sekolah adalah lembaga formal yang mengajarkan banyak hal kepada anak-anak. Anak diajarkan untuk mencintai budaya dan bahasa Indonesia.
Di lingkungan sekolah anak diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Anak diajarkan untuk mencintai budaya Indonesia yang berbeda-beda menjadi satu-kesatuan utuh.
Anak diajarkan untuk saling menghormati diantara sesama yang beda ajaran agama, beda warna kulit, rambut dan lainnya. Semua ini kalau dilaksanakan dengan baik maka saya yakin nilai-nilai sumpa pemuda tetap kokoh di tengah derasnya era milenial.
Tahun 2021 ini usia sumpah pemuda sudah 93 tahun. Nilai-nilai rasa cinta akan tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia yang satu itu kuat hingga hari ini karena gaung ikrar sumpah pemuda kala itu. Rasa cinta nasionalis yang tinggi dan dalam.
Namun oleh perkembangan zaman nilai-nilai itu secara perlahan tergerus. Maka ketiga elemen yang disebutkan di atas mesti bekerja keras agar bisa membendung adanya adopsi budaya dan bahasa asing ke dalam zona Indonesia.
Jika ada kemauan dan kerja keras maka Indonesia dan tawaran nilai-nilai sumpah pemuda tetap akan ada dan eksis hingga keabadian. Profesiat dan selamat hari ulang tahun sumpah pemuda yang ke 93.