Kupang, Vox NTT– Akhir-akhir ini geliat pembangunan di Labuan Bajo sebagai daerah pariwisata super premium gencar dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meski begitu, pengamat Alpha Research Database Jakarta Ferdy Hasiman mengkritisi kebijakan pembangunan yang digagas oleh Presiden Joko Widodo itu.
“Pariwisata super premium di Labuan Bajo yang digagas oleh Presiden Jokowi untuk masyarakat NTT, tetapi bagi saya pembangunan super premium bukan untuk rakyat NTT melainkan untuk tuan-tuan kapitalis dan elit-elit pusat,” ujar Ferdy Hasiman dalam Channel YouTube ‘Narasi dari Timur’, Jumat (12/10/2021).
Menurut dia, praktik kehidupan di Labuan Bajo masih terjadi perhambaan atau perbudakan pegawai swasta honor oleh negara dengan gaji yang mengenaskan.
“Ini menjadi bukti sahi loh bahwa mobilitas wisatawan yang masuk ke Labuan Bajo di atas 200 ribu per orang tahun 2019 tak memiliki efek apa-apa untuk pundi-pundi keuntungan Pemerintah Daerah Manggarai Barat,” tegasnya.
Ferdy mengatakan, hotel-hotel mewah yang dibangun di Labuan Bajo juga tidak berefek. Ramainya wisatawan bahari di laut pun sama sekali tidak berefek.
Ditambah lagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Manggarai Barat tetap rendah. Ruang fiskal pemerintah daerah juga sangat kecil. Akibatnya, ruang untuk kenaikan gaji pegawai swasta berstatus honorer masih banyak di bawah standar hidup layak.
Sementara barang-barang untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari di kota super premium Labuan Bajo semakin hari semakin melambung tinggi.
“Apa yang disebut perbudakan di zaman modern itu ternyata bukan hanya dilakukan perusahaan-perusahaan swasta, tetapi perhambaan ini ternyata dipraktikan oleh negara,” pungkas Ferdy.
Dikatakan, rakyat NTT khususnya di Manggarai Barat, sangat antusias dengan gagasan Presiden Jokowi menjadikan Labuan Bajo sebagai kota pariwisata super premium atau Bali baru.
“Mungkin yang ada di kepala Presiden Jokowi ukuran pembangunan itu menurut pemerintah kalau di dalam kawasan TNK sudah ada gedung mewah dan fasilitas lainya, wisatawan berdatangan,” imbuh dia.
Ferdy menegaskan, wisatawan yang datang ke TNK tentu saja bukan ingin melihat gedung-gedung mewah, tetapi selain mereka datang melihat komodo juga karena alamnya penuh pesona dan asli.
Dikatakan, pembangunan dalam kawasan TNK justru membuat wisatawan risih. Pembangunan tersebut justru menguntungkan tuan-tuan kapitalis yang dekat dengan pemerintah. Mereka juga yang menguasai lahan dan tanah-tanah strategis dengan membangun hotel, vila dan sebagainya.
“Lihatlah pembangunan hotel Ayana nan mewah di tepi pantai, hampir ke dalam laut tanpa beban hotel itu yang jelas abai terhadap Undang-undang pesisir pantai,” tegas Ferdy.
Sejauh ini, kata dia, belum ada satu pun masyarakat di Labuan Bajo yang mengkritisi keberadaan hotel Ayana yang dibangun di tepi pantai.
Ia menilai kemewahan yang diberikan pada Ayana tentu karena tuan-tuan kapitalis yang ada di baliknya juga berutang budi pada pemerintahan sekarang.
“Lihatlah sekarang mereka boleh membanguna restoran dalam hotel, dermaga dalam hotel dan ngga pernah disentuh juga oleh Bupati atau Gubernur, ya susah juga mereka sahabat-sahabat pemilik hotel. Ayana hanya salah satu contoh gambaran begitu jahatnya tuan-tuan kapitalis mengkhianati rakyat Manggarai Barat dan NTT,” katanya.
Hanya 10 Persen Belanja di Darat
Ferdy juga menyentil tentang kondisi keuntungan di balik gemanya pariwisata super premium Labuan Bajo.
Menurut dia, dari total wisatawan yang berdatangan ke Labuan Bajo selama ini sebanyak 280.700, hanya 10 persen uang mereka dibelanjakan ke darat dan sisanya 90 persen ke pulau.
“Kasihan ya Mabar. Pantas kalau konsumsi masyarakatnya kecil,” imbuh Ferdy.
“Pendapatan per kapitanya hanya 416 ribu per orang, bayar rumah sakitnya juga susah begitu juga bayar sekolah anak ya masyarakat tetap hidup miskin, PAD jangan omong lagi hanya 100 miliaran, untuk apa dengan PAD kecil,” tegasnya.
Kondisi ini kemudian yang membuat gaji perawat dan guru honorer berada di sekitar angka Rp500 ribu. Kalau pun naik pasti di angka Rp2 juta.
“Mau terus mengabdi? Kalau saya mending jadi petani garap sawah dan sayur daripada bekerja berjam-jam hanya mendapat upah begitu,” pungkas Ferdy.
Menurut dia, kondisi tersebut sebenarnya mau menunjukan bahwa negara secara tidak langsung mau mengkultuskan perbudakan atau perhambaan terhadap pekerja swasta. Hal ini merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja yang paling kasar dilakukan negara atas nama aturan.
Penulis: Eman Nok
Editor: Ardy Abba