Kupang, Vox NTT- Polemik tentang surat berharga atau Medium Term Notes (MTN) yang diduga menyebabkan kerugian sebanyak 50 miliar di Bank NTT, mengacu pada hasil audit BPK Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 14 Januari 2020 lalu, hingga kini terus berlanjut.
Sampai saat ini, sebetulnya ada dua pihak yang masih perang dingin dengan polemik ini. Satu sisi, ada Fraksi PKB DPRD Provinsi NTT, sisi lain yakni Dirut Bank NTT Alex Riwu Kaho selaku pemilik data.
“Logikanya pemilik data mestinya lebih benar dari pengguna data. Sebagai pembaca saya berusaha menelisik pendapat siapa yang benar, sehingga patut dirujuk antara keduanya,” demikian bunyi pernyataan Fraksi PKB yang diterima VoxNtt.com pada Kamis (25/11/2021) petang.
Dalam surat itu, Fraksi PKB menyampaikan hasil analisisnya sesuai rekomendasi auditor negara yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK RI dalam hasil auditnya merekomendasikan dua (2) hal yakni :
Me-recovery kerugian bank sebesar Rp60,5 miliar yang terdiri dari pokok surat berharga Rp50 miliar dan bunga kupon sebesar Rp10,5 miliar.
Menurut Fraksi PKB, pandangan Alex Riwu Kaho atas temuan ini adalah kurator atau juru sita yang sedang melakukan penyitaan aset PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP).
“Pandangan Yohanes Rumat (Fraksi PKB), Kurator mau sita aset yang mana? Agunan yang dimiliki PT SNP akan disita oleh kurator untuk menutup kredit macet PT SNP pada Bank Mandiri sebesar Rp1,4 T. Belum lagi pinjaman pada 13 Bank Nasional yang lain sebesar 2,2 T,” tulis Fraksi PKB dalam surat itu.
Jaminan berupa underlying pada PT BNI sebagai penjamin yakni Fidusia Piutang aktif dinilai abal-abal atau fiktif. Jaminan berupa Fidusia ini ada sejauh PT SNP masih melaba atau untung, jika ia sudah pailit dan apa yang hendak disita.
Fraksi PKB menegaskan, agunan Fidusia itu abstrak, beda dengan agunan fisik seperti yang diagunkan pada pinjaman Rp1,4 triliun di Bank Mandiri.
“Tunggakan ini sudah berlangsung 3 tahun, kapan kurator itu bisa menyita agunan PT SNP pak Dirut?” tanya Fraksi PKB.
Berikutnya, rekomendasi BPK yang meminta agar Direksi memberi sanksi kepada pejabat dan petugas yang terlibat dalam pembelian MTN, sama sekali tidak dijalankan.
“Boro-boro diberi sanksi, malah Alex Riwu Kaho yang terlibat langsung dalam pembelian MTN ini dinaikan jabatannya menjadi DIRUT bank NTT,” jelasnya.
Menurut Fraksi PKB, ada dugaan pelanggaran materil yang dilakukan dalam pembelian MTN.
Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, due diligence atau uji tuntas.
Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antarbank karena pada saat pembelian MTN PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.
Pembelian MTN juga tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018.
Selain itu, PT Bank NTT tidak melakukan on the spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT SNP.
Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT SNP baru terjadi setelah PT SNP mengalami permasalahan gagal bayar.
Tidak hanya itu, menurut Fraksi PKB, pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT SNP tahun 2017, namun hanya berpatokan pada peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo.
Dalam press release menyatakan, peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.
PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya. Tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.
Selanjutnya, tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Laporan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).
Pembelian MTN PT SNP oleh PT Bank NTT mengalami gagal bayar dan saat ini sedang dilakukan proses PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Hal ini mengakibatkan pembelian MTN senilai Rp50.000.000.000,00 merugikan PT Bank NTT dan potensi pendapatan yang hilang atas coupon rate senilai Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah).
Fraksi PKB juga mempertanyakan soal bagaimana jika kerugian ini tidak bisa dibayar oleh PT SNP.
Jawabannya, sebut Fraksi PKB, mereka yang terlibat dalam pembelian MTN ini harus mengganti kerugian ini.
Karena sejak awal tampak sekali ada “kesengajaan” mereka tidak menaati ketentuan tentang pembelian surat berharga.
Menurut Fraksi PKB, sekiranya di awal penawaran MTN oleh issuer PT SNP, Bank NTT melakukan kajian atau uji kelayakan/ due diligence, memasukannya dalam RBB (Rencana Bisnis Bank), memiliki pedoman tata cara pembelian surat berharga, melakukan pemeriksaan atas rating atau peringkat surat berharga PT SNP, dan tidak diputuskan sepihak oleh Divisi Treasury namun secara berjenjang meminta persetujuan Dirut untuk dipertimbangkan beli atau tidak, maka tentu tawaran tersebut ditolak karena jelas-jelas tidak feasible alias jauh dari memenuhi syarat.
“Namun nasi sudah jadi bubur. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Masih banyak bisnis besar di Bank NTT yang harus dikelola secara profesional oleh orang yang punya kapasitas memadai. Untuk itu direkomendasikan agar mereka yang terlibat dalam pembelian MTN agar saat ini di-nonaktifkan sementara dari jabatannya agar berkonsentrasi pada penyelesaian tunggakan MTN.
Tindak Lanjut Rekomendasi
Fraksi PKB berpendapat, pandangan Alex Riwu Kaho yakni masalah MTN sudah selesai, sedang ditanganai kurator.
“Jika sudah selesai mana buktinya?. Pengertian selesai jika PT SNP telah menyetor uang tunai Rp 60,5 M ke Bank NTT. Jika sudah selesai coba tunjukkan nota penyelesainnya. Alex Riwu Kaho tidak mungkin bisa serahkan bukti ini, karena memang PT SNP yang menerbitkan Surat Berharga (MTN) yang dibeli Bank NTT telah pailit alias bangkrut,” tanya Fraksi PKB.
Tampaknya, sebut Fraksi PKB, argumentasi Alex meskipun sebagai pemilik data sangat lemah, dibandingkan argumen Yohanes Rumat (Fraksi PKB) meskipun hanya sebagai pengguna data sangat argumentatif.
“Karena itu untuk menguji kebenarannya, demikian Fraksi PKB, maka APH (Aparat Penegak Hukum) baiknya segera memeriksa Alex.
Hal ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran pernyataan Alex, mencegah kejadian serupa terulang kembali di Bank NTT, menjerakan para bankers dari perilaku yang merugikan keuangan daerah, dan memberikan efek jera bagi investor yang menipu bank daerah.
Selanjutnya menurut Alex, sebut Fraksi PKB, tunggakan kredit PT Budi Mas saat ini sedang dalam proses lelang agunan.
Dalam bank ada model penyelamatan kredit yang dinamakan AYDA (Agunan Yang Diambil Alih). Untuk kasus kredit PT Budi Mas, Bank NTT menggunakan model penyelamatan AYDA.
Dalam ketentuan ini agunan diambil alih Bank NTT melalui acta de command yakni akta penunjukan salah seorang pegawai untuk mewakili bank dalam transaksi pembelian aset dan pernyataan bahwa pembelian tersebut dilaksanakan untuk pihak lain yakni pembeli akhir.
Yang dimaksud pembeli akhir di sini adalah pihak ketiga yang melakukan pembelian dari pihak bank atas AYDA.
AYDA ini memiliki batas waktu yakni hanya satu tahun. Jika dalam jangka waktu satu tahun ini agunan tidak terjual, maka kualitas pinjaman dikembalikan lagi mengikuti kolektibilitas sebelum di AYDA.
Berikut saat pinjaman dilakukan AYDA pada dasarnya bank mengeluarkan biaya yang disebut dengan Biaya Penyedian Penghapusan Aktifa Produktif biasa disingkat PPAP.
Besarnya biaya adalah 1% dari jumlah tunggakan, dengan ketentuan jangka waktu AYDA selama satu tahun, 15% jika jangka waktu AYDA lebih dari satu hingga tiga tahun. Lalu 50% jika jangka waktu AYDA lebih dari tiga hingga lima tahun, dan biaya PPAP 100% jika jangka waktu AYDA lebih dari lima tahun.
Dari penjelasan ini, sebut Fraksi PKB, tampak jelas bahwa saat dilakukan lelang dengan model penyelamatan AYDA, maka
kewajiban PT Budi Mas “seolah-olah” telah selesai.
Namun sesungguhnya itu hanya bersifat administratif, debitur belum bebas dari kewajiban membayar hutang-hutangnya. Bank mengeluarkan biaya untuk membeli agunan di maksud dalam bentuk biaya PPAP.
Jika demikian penjelasannya, maka Alex semestinya tidak bisa sederhana menjelaskan bahwa itu sedang dilelang begitu saja.
Mesti dijelaskan secara rinci konsekuensi lelang dengan metoda AYDA. Sama sekali tidak menghilangkan kewajiban debitur, dan bahkan masih membebankan bank dengan kewajiban mengeluarkan biaya dalam bentuk cadangan PPAP.
“Lagi-lagi argumentasi Alex masih cukup lemah dibandingkan dengan nukilan Rumat. Silakan publik menilai,” tegas Fraksi PKB.
VoxNtt.com sudah berupaya mengkonfirmasi Dirut Bank NTT, Alex Riwu Kaho.
Namun hingga Kamis (25/11), dia belum merespons pertanyaan VoxNtt.com meski sudah membacanya melalui pesan WhatsApp.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba