Oleh: Yohanes Mau
Warga Diaspora NTT, Penulis Buku Ibu, Aku Rindu
Beberapa hari terakhir ini Gubernur NTT mengunjungi salah satu kabupaten di wilayah provinsi NTT. Dalam perjumpaan dengan masyarakat setempat gubernur sempat adu mulut dengan beberapa tokoh masyarakat.
Gubernur orang nomor satu di NTT itu secara spontan dan tegas mengatakan, “monyet kau!” Seorang bapak serentak sebagai pelayan tegahnya mengatai masyarakat kecilnya sebagai monyet.
Secara holistic saya memahami secara baik bahwa figur pemimpin yang satu ini tidak memiliki hati, jiwa dan budi untuk melayani. Pemimpin ini masih sangat gagal dalam mengolah emosinya secara baik dan benar.
Setelah menonton video yang beredar di media sosial itu sejenak saya berpikir dan dalam hati kecil merasa sedih karena rakyat NTT telah salah memilih pemimpinnya.
Ya, mau bilang apa lagi, kata-kata indah yang telah diorasikan menjelang pilgub beberapa tahun lalu teranjur menghipnotis masyarakat kecil. Akhirnya kini yang tersisa hanyalah penyesalan.
Menyesal karena telah salah memilih. Menyesal karena ideal pemimpin sejati yang didambakan itu enggan hadir. Malah yang hadir adalah pemimpin arogan yang sama sekali tidak memiliki sikap rendah hati.
Padahal pemimpin sejati adalah dia yang bisa hadir di tengah kebekuan hidup masyarakat kecil dan mencairkan segala keakuannya serta melebur di dalamnya. Di sana kebaikan dan cinta akan berpelukan sehingga lahirlah kedamaian sejati diantara kita.
Tidak ada jurang pemisah oleh jabatan dan kedudukan tetapi kita semua bernama satu yakni manusia yang memiliki rasa. Manusia yang memiliki satu tujuan yang sama yakni kebahagiaan.
Kita masih bernama manusia tidak ada yang bernama monyet. Monyet adalah binatang yang tidak berakal budi sedang manusia sendiri adalah binatang yang berakal budi.
Sebaiknya sebagai pelayan sadarilah bahwa kita masih bernama manusia yang memiliki hati, dan akal budi. Jangan mengatai masyarakat dengan sebutan baru.
Kalau ada ide untuk menciptakan sesutau yang baru sebaiknya kreatiplah tanpa menggoreskan luka di hati masyarakat kecil. Gubernur sebaiknya jangan mempertahankan status qua tetapi turun dan masuklah, meleburlah menjadi kita.
Tidak tahukah gubernur bahwa masyarakat NTT dengan penuh kerinduan mengharapkan percikan sejuk dari pemimpinnya? Namun sayangnya sejuk itu berubah menjadi sembiluh yang menyayat hati masyarakat kecil yang sudah dilanda oleh pelbagai persoalan sosial dan pribadi.
Seorang pemimpin datang bukan untuk menyembuhkan namun ia datang untuk membuat luka semakin dalam dan bernanah. Jika demikian untuk apa ada gubernur melakukan kunjungan?
Kalau tidak mampu dalam mengemban tugas sebagai gubernur sebaiknya dengan rendah hati menepuk dada dan mengatakan bahwa, “Saya tidak mampu menjalankan amanah yang besar dan mulia ini.”
Lebih terhormat mengatakan demikian daripada melakonkan ketidakmatangan emosi di hadapan rakyat kecil yang hari-hari hidupnya bertahan dari hasil lahannya sendiri.
Berkaca pada persoalan ini letak kesalahannya ada di mana? Gubernur melakukan kunjungan dan pendekatan secara komunikatif tentang tanah warisan yang akan digunakan di Sumba timur untuk pelihara sapi itu baik. Ide brilliant yang mesti diacungkan jempol.
Namun satu hal yang sangat disesalkan adalah gubernur sama sekali tidak tahu melakukan pendekatan dan komunikasi yang efektip. Komunikasi yang efektip adalah komunikasi yang dilakukan secara face to face dan humanism.
Namun dari beberapa video yang viral di media sosial yang sempat saya nonton terlihat jelas bahwa gubernur sangat otoriter dan tidak ada sedikit sikap rendah hati untuk mendengar lebih dulu dari masyarakat pemilik tanah.
Dia hadir dan seolah memaksa masyarakat kecil agar lahan untuk pelihara sapi itu segera dilepas saja begitu. Di sini terlihat jelas bahwa pemimpin yang satu ini sangatlah otoriter dan tidak menganggap penting akan kehadiran masyarakat kecil sebagai pemilik dari tanah itu.
Mengeluarkan kata “monyet” untuk orangtua pemilik tanah itu adalah ekspresi gagal mengolah emosinya secara matang. Bertamu di rumah orang dan mengatai pemilik rumahnya sebagai monyet itu adalah kurang sopan.
Dari video yang beredar itu terlihat jelas bahwa gubernur tidak sama sekali memiliki sikap rendah hati. Di sini nampak jelas bahwa tidak saling mendengarkan untuk menemukan solusi terbaiknya.
Maka saya mau katakan bahwa gubernur melakukan perjalanan dinas ke Sumba ini adalah membuang anggaran percuma saja. Karena belum ada titik temu malah gubernur melakukan keributan bersama para pemilik tanah. Lantas ini, siapa yang rugi?
Negara rugi karena gubernur bersama timnya melakukan pendekatan gagal. Negara membayar biaya perjalanan gubernur dan timnya untuk membangun wilayah provinsi ini secara baik sehingga kelak bersaing dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia namun sayangnya usaha itu gagal.
Hal kecil pendekatan dengan pemilik tanah saja sudah gagal apalagi dengan proyek-proyek besar yang telah diprogramkan sebelumnya? Ya, kita lihat saja. Sandiwara apakah yang akan gubernur lakonkan pada kunjungan kerja di musim-musim mendatang? Apakah dia akan lebih dulu meminta maaf atas kesalahannya itu ataukah dia hanya diam seribu bahasa?
Kita tunggu saja, Kapan gubernur akan meminta maaf kepada pemilik tanah di Sumba. Semoga saja masih ada hati dan kesediaan untuk meminta maaf demi kelancaran program kerjanya yang gemilang itu.