Oleh: Oktavianus Baylon
(Pegiat Media, Tinggal di Nita-Maumere)
Persoalan Pandemi Covid-19
Eksistensi manusia sejak akhir tahun 2019 dan sampai di era 2021 ini mengalami kegoyahan yang amat serius dan kepanikan karena kemunculan Covid-19.
Masyarakat diharuskan agar selama masa pandemi tetap mengandalkan kapasitas masing-masing pribadi untuk bisa hidup berbarengan dengan pandemi.
Masyarakat juga merasa terancam bahkan kalah dari penyakit itu. Semenjak Covid-19 muncul, hampir semua tatanan kehidupan masyarakat ditransformasi. Pelbagai lini sendi kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, agama, tanpa terkecuali kehidupan sosial masyarakat terlihat ada perubahan yang signifikan.
Banyak warga masyarakat mengeluh karena semua terikat oleh peraturan-peraturan baru. Selama kurang lebih dua tahun pandemi berlangsung, di mana telah menghantui kenyamanan hidup masyarakat.
Masyarakat merasa cemas, takut, gelisah dan perasaan lain semacamnya. Akan tetapi mesti disyukuri juga bahwa penularan Covid-19 hari ini sudah mulai terlihat menurun.
Artinya di sini ada probabilitas bahwa wabah ini tetap akan berakhir meskipun dalam waktu sedikit sulit diprediksi.
Atas dasar itulah peran masyarakat sangat urgen dan mesti gigih dalam mendeportasi Covid-19. Individu-individu mesti bersatu padu dan berkolaborasi dalam rangka melawan pandemi.
Dewasa ini, masyarakat tidak bisa lari dari kenyataan problematik Covid-19. Covid-19 salah satu tantangan berat bagi dunia. Dunia pada umumnya sedang berhadapan dengan tragedi yang memilukan.
Kurang lebih selama dua tahun lamanya masyarakat dunia sedang diciptakan sejarah baru oleh kemunculan pandemi untuk masa yang akan datang. Di mana dunia yang penuh dengan realitas baru. Realitas baru yang nampak sekali kontaminasi di pelbagai bidang kehidupan masyarakat.
Tepat pada tanggal 30 januari 2020 WHO (World Health Organisation) menyatakan wabah virus corona sebagai kesehatan masyarakat darurat kepedulian internasional dan mengakuinya sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.
Para peneliti di Institute of Virgology di Wuhan melakukan analisis Metegenomics untuk mengdentifikasi virus ini sebagai etiologi potensial. Mereka menyebutnya sebagai coronavirus 2019 (nCoV-2019).
Sedangkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut coronavirus sebagai novel coronavirus (2019-nCoV) dan sekarang penyakitnya populer dengan istilah coronavitus disease (Covid-19)-(Jurnal AKADEMIKA Ledalero V:17).
Kasus kematian terkait virus corona di seluruh dunia melawati tonggak suram. Menurut perhitungan Reuters, angkanya melebihi 4 juta orang.
Kematian orang banyak tersebut sudah membuktikan bahwa pandemi Covid-19 benar-benar mengurangi kuantitas manusia. Perubahan sosial semacam ini disebut krisis kemanusiaan. Penurunan jumlah manusia disebabkan oleh pandemi dilihat sebagai realitas yang baru.
Kesadaran manusia pada masa pandemi lebih cenderung ke bagamainana mengatasi akibat dari Covid-19, namun sulit mencari dan mengetahui pasti sebab pertama kedatangan penyakit ini.
Pertanyaan filosofis mesti hadir di sini guna menelaah lebih dalam supaya mengetahui kebenaran final tentang asal mula pandemi muncul. Lebih lanjut, mencari sebab memang bukanlah hal yang mudah bagi pihak siapapun.
Di sini mesti ada cendekiawan khusus. Hal ini membuat publik mengingat kembali apa yang pernah ditegaskan oleh Joachim Spangenberg, wakil Presiden Institut Riset keberlanjutan Eropa, bahwa dengan merusak ekosistem, manusia menciptakan kondisi yang menyebabkan virus datang dan menyebar ke manusia.
Melanjuti apa yang dipertegaskan Joachim, ada probabilitas bahwa kemunculan Covid-19 bisa saja salah satu bukti yang konkret.
Selain itu, studi terbaru yang dilakukan ilmuwan Amerika, Australia, dan China, menjelaskan bahwa kemunculan pandemi Covid-19 saat ini dipengaruhi oleh hilangnnya keanekaragaman hayati dan rusaknya ekosistem asli alam.
Di samping itu, segelintir publik meyakini bahwa kisah awal penyebaran Covid-19 bermula pada akhir 2019 ketika seseorang terjangkit virus corona dari hewan yang diperdagangkan di pasar Seafood Huanan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Kisah tersebut kemudian berkembang menjadi tragedy memilukan dalam sejarah umat manusia era kiwari.
Bermula dari infeksi di Wuhan, Covid-19 kini telah menyebar secara global dan menewaskan banyak orang. Sampai dengan tahun 2021 ini, penularan Covid-19 masih proaktif, sehingga tingkat antisipatif masyarakat sangat urgen.
Jika fenomena Covid-19 merupakan probelamatis yang amat serius bagi dunia seluruhnya, maka oleh dari itu juga dunia mesti dibutuhkan keresponden yang amat serius pula. Sehingga dunia dan manusia khususnya tidak merasa kalah dari wabah korona.
Berhadapan dengan Pandemi saat ini membuat bangsa Indonesia secara partikular, mememorial kembali ketika para pejuang dulu yang dengan gigih merebut kemerdekaan dari bangsa Belanda dan Jepang.
Kesamaannya di sini bahwa sama-sama berjuang agar bisa bebas. Hanya bedanya, perang pada masa itu musuh dan meriam bisa dilihat oleh indera penglihatan sedangkan berhadapan dengan Covid-19 saat ini, manusia sulit mengetahui eksis dari meriam virus.
Transformasi Sosial: Perspektif Sosiologis
Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dalam waktu singkat. Di sini pelbagai perspektif ilmu sosiologis akan sedikit mengulaskan.
Secara sosiologis pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perubahan sosial yang tidak direncanakan, suatu perubahan sosial yang terjadi secara sporadis dan tidak diinginkan kehadirannya oleh masyarakat (Soekanto dan Sulistyowati, 2012).
Bahkan, pada keadaan tertentu dapat memicu masalah kehidupan dan terjadinya kekacauan. Dampak dari ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan disorganisasi sosial di segala aspek kehidupan masyarakat.
Meskipun demikian, masyarakat pada dasarnya memang bersifat dinamis dan akan selalu mengalami perubahan. Masyarakat tidak bisa dibayangkan sebagai keadaan yang tetap atau statis, melainkan proses yang senantiasa berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama, dan tempo yang berbeda (Sztompka, 2017)-(Internet).
Lainnya halnya dengan perspektif perintis ilmu sosial bernama Talcott Parsons tentang perubahan sosial dalam masyarakat.
Dia mengatakan manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti kurang mencolok.
Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas. Serta ada pula perubahan-perubahan yang secara lambat, akan tetapi ada juga yang berjalan secara cepat (Rakhmad, 2013).
Perubahan sosial dapat dianggap fungsional apabila perubahan tersebut membawa dampak positif bagi masyarakatnya.
Konsep perubahan sosial oleh Parsons bersifat secara perlahan-lahan dan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri agar terciptanya kembali keseimbangan (equilibrium). Perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons juga bersifat (evolusioner) dan bukan (revolusioner).
Perubahan yang direncanakan merupakan perubahan yang dirancang terlebih dahulu oleh pihak yang hendak mengadakan suatu perubahan dalam masyarakat, pihak tersebut dapat disebut sebagai agen perubahan. Perubahan atas Covid-19 bisa jadi prasangka sebagai perubahan yang terencanakan namun serentak juga bisa jadi perubahan yang tak terencanakan.
Perubahan yang terencanakan dalam pandemi adalah mengadakan suatu regulasi-regulasi baru dari pemerintah untuk membatasi interelasi sosial di masyarakat. Sehingga dapat terlihat oleh kasat mata ada perubahan perilaku masyarakat di situ.
Sementara perubahan yang tidak terencanakan dalam pandemi adalah dengan adanya kematian jiwa secara gradual dari waktu ke waktu. Tentunya hal ini sangat tidak diinginkan oleh semua pihak.
Transformasi Pola Perilaku Sosial
Adapun transformasi (perubahan/realitas baru) dalam masyarakat, disebabkan oleh adanya fenomena-fenomena besar yang terjadi.
Fenomena-fenomena yang tampak mewarnai perubahan sosial dalam masyarakat. Biasanya fenomena-fenomena itu sering terjadi, seperti peperangan, kebencanaan, wabah, kerusuhan, kebakaran dan lain-lain.
Salah satu fenomena yang terjadi hari ini adalah wabah. Di mana wabah itu sedang hangat disebut dunia yaitu coronavirus disease 2019 (Covid-19). Kemudian transformasi sosial yang konkret hari ini disebabkan dengan kehadiran wabah tersebut.
Virus corona sangat eksplisit telah membawa transformasi bagi tatanan kehidupan sosial terutama pola perilaku masyarakat.
Saat ini dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah memaksa komunitas masyarakat harus bisa beradaptasi terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang diakibatkannya.
Berbagai macam persoalan yang ada telah menghadirkan dorongan transformasi sosial di masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin kehidupan dan tatanan kemanusiaan akan mengalami pergeseran ke arah dan bentuk yang jauh berbeda dari keadaan sebelum pandemi menyerang.
Wajah dunia pascapandemi Covid-19 bisa saja tidak akan pernah kembali pada situasi seperti awalnya. Dengan demikian, segala bentuk aktivitas dan kegiatan masyarakat yang dilakukan di masa pra-pandemi, kini harus dipaksa untuk disesuaikan dengan standar protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Tentu saja ini bukan persoalan yang sederhana, karena pandemi Covid-19 dalam waktu singkat telah menginfeksi seluruh aspek tatanan kehidupan masyarakat yang selama ini telah diinternalisasi secara terlembaga melalui rutinitas yang terpola, perilaku berulang dan sudah dilakukan masyarakat-(Internet).
Selain itu, majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah persebaran pandemi Covid-19 juga telah mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur perilaku dan kebiasaan masyarakat.
Seperti kebijakan physical distancing, misalnya telah mengubah ragam bentuk perilaku masyarakat yang kemudian mengharuskan adanya jarak fisik dalam proses interaksi sosialnya.
Dalam konteks ini, perilaku dan kebiasaan masyarakat secara konvensional di masa sebelum pandemi kemudian diatur dan ditransformasikan melalui pola interaksi secara virtual.
Kondisi ini sekaligus memperjelas bahwa fungsi teknologi menjadi sangat penting sebagai perantara interaksi sosial masyarakat di era pandemi Covid-19.
Perubahan sosial di tengah pandemi Covid-19 juga telah melahirkan berbagai kebiasaan baru berupa terjadinya perubahan perilaku sosial masyarakat dalam bermacam aspek kehidupan, (internet).
Berdasarkan hasil survei sosial demografi dampak Covid-19 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 dapat diketahui bahwa sekitar 72% responden yang selalu menjaga jarak fisik dalam seminggu terakhir, sebanyak 80,20% responden menyatakan mereka selalu mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker, 82,52% responden selalu menghindari transportasi umum (termasuk transportasi online), dan sebanyak 42% responden mengaku mengalami peningkatan aktivitas belanja online selama Covid-19. Saat ini perkembangannya, merespons situasi krisis akibat Covid-19, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal).
Oleh karena itu berbagai kebijakan yang dihasilkan akan berpengaruh secara langsung terhadap segala bentuk perubahan sosial yang terjadi di masyarakat-(Internet).
Situasi masyarakat yang belum siap dengan adanya perubahan perilaku sosial secara cepat akibat pandemi Covid-19, mau tidak mau harus menerima dan menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan tatanan baru tersebut tentu dapat menggoyahkan perilaku sosial yang telah berkembang dan dianut oleh masyarakat selama ini.
Perilaku masyarakat lama harus ditata ulang atau diperbaharui kembali untuk menghasilkan sistem atau regulasi sosial yang baru. Salah satu tata aturan yang baru tersebut ditandai dengan adanya regulasi baru dari pemerintah.
Regulasi itu guna membatasi aktivitas masyarakat dengan menerapkan pembatasan interaksi sosial. Seperti kebijakan physical distancing, social distancing, lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Works From Home (WFH) dan Study From Home (SFH) dari pemerintah, yang mana telah mengubah perilaku masyarakat terutama dalam proses interaksi sosialnya.
Akhirnya perubahan tatanan kehidupan perilaku sosial masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini sudah eksplisit disebabkan karena kemunculan problematik pandemi Covid-19.
Covid-19 sejak kedatangannya tatanan kehidupan terutama perilaku sosial masyarakat terlihat pembaharuan. Di sini kita bisa melihat perbedaan antara perilaku sosial masyarakat sebelum pandemi dan sedang dalam fasenya.
Di mana adanya aturan-aturan baru yang mengakibatkan interaksi sosial masyarakat dibatasi. Selain itu, kalkulasi manusia terlihat menurun secara drastis. Ini mengakibatkan krisis kemanusiaan.
Oleh karena itu, masyarakat dibutuhkan agar tingkat antisipatif sangat urgen. Sehingga terciptanya kembali kehidupan normal seperti pra-pandemi.