Mbay, Vox NTT- Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara, Iriana Jokowi mengunjungi lokasi konservasi hutan bakau di Pemogan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali pada Kamis, 2 Desember 2021.
Kunjungan ini dilakukan presiden sebagai langkah persiapan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan konferensi tingkat tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) yang akan di gelar di Provinsi Bali tahun 2022 mendatang.
KTT G20 di Provinsi Bali tahun 2022 ini konsen membahas isu perubahan iklim dunia dan dihadiri oleh para delegasi dari 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia.
“Ini akan menunjukkan nantinya keseriusan kita merestorasi hutan mangrove, merehabilitasi hutan mangrove, merestorasi hutan gambut, dan merestorasi lahan-lahan kritis yang ada di negara kita. Saya kira komitmen itu yang ingin kita tunjukkan secara konkret, secara riil di lapangan. Nanti 20 kepala negara akan kita ajak semuanya ke sini,” kata Presiden Jokowi seperti diberitakan Metro TV pada Kamis, 2 Desember 2021 malam.
Hal terbalik dari komitmen presiden dalam merestorasi dan merehabilitasi hutan mangrove, saat ini terjadi di Nagekeo.
Diperkirakan, ratusan hektare wilayah hutan bakau yang tumbuh secara alamiah di wilayah pesisir utara Kabupaten Nagekeo telah hilang sebagai akibat dari berbagai aktivitas.
Kepala bidang pengendalian, pencemaran dan kerusakan lingkungan di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nagekeo Servasius Ndapa, mengatakan hingga saat ini pihaknya belum merilis data pasti terkait luas wilayah hutan bakau di sepanjang garis pantai wilayah utara Kabupaten Nagekeo.
Pendataan terkahir dilakukan pada tahun 2020, di mana total luas hutan bakau yang telah rusak seluas 213 hektare atau sepanjang 2,13 kilometer.
Penjelasan itu diutarakan bukan melalui kajian langsung, namun hanya berpatok pada data yang dia ambil dari sumber ‘Nagekeo Dalam Angka’.
Menurut Servas, keterbatasan petugas dan Sumber daya manusia (SDM) dalam bidang lingkungan hidup menjadi penyebab minimnya informasi terkait kerusakan hutan bakau.
Luas kerusakan wilayah hutan bakau di Kabupaten Nagekeo diprediksi akan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, mengingat saat ini masih terdapat beberapa unit alat berat jenis ekskavator yang beraktivitas membuka jalan baru dan melakukan penggalian kolam.
Menurut dia, penyumbang kerusakan hutan bakau terbesar disebabkan oleh aktivitas penggalian tambak ikan dan pembukaan jalan inspeksi perikanan di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nagekeo, kemudian disusul usaha pembukaan kolam tambak garam milik Dinas Koperasi, Perindustrian dan UMKM Nagekeo.
Terkait penegakan hukum, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nagekeo hanya mengandalakan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup.
Dalam praktiknya hingga saat ini belum ada satupun perusak hutan bakau di Nagekeo dipidanakan karena melanggar UU itu.
Pada tahun 2018 lalu, aparat penegak hukum sebenarnya telah memiliki bukti kuat terhadap pelaku perusakan hutan bakau pada proyek penggalian kolam ikan di wilayah Desa Aeramo.
Sayangnya, pelaku perusakan hutan mangrove selalu lolos dari perhatian Aparat Penegak Hukum (APH). Pihak kepolisian hanya fokus menyelidiki dugaan korupsi pada proyek milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nagekeo dari pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Nagekeo itu karena diduga kuat dilaksanakan dari dokumen fiktif.
Hingga saat ini penyelidikan kasus itu sudah tak terdengar lagi kelanjutannya.
Pengacara pada Kantor Advokat Nurani Lukas Mbulang, meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk segera memerintahkan Polda NTT mengambil alih kasus ini.
“Hutan bakau di kawasan pesisir utara, selain untuk kawasan konservasi hutan bakau juga secara budaya memang pamali untuk dirusak. Tapi BPN Nagekeo akhir-akhir ini berani menerbitkan sertifikat sampai bibir pantai. Jadi larangan kita untuk menjaga kelestarian hutan sudah tidak bisa lagi secara budaya, karena justru pemerintah sendiri yang menjadi pelaku perusakan hutan,” kata Lukas.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba