Oleh: Sobe Milikior*
Lahirnya Aksiologi Max Scheler
Abad ke-21 sebagai satu alinea kehidupan yang perlu ditata dan dibentuk sedemikian rupa agar nilai-nilai keutamaan hidup manusia tidak sirna. Objek kajian ilmiah dan empiris adalah manusia itu sendiri. Dalam meneropong aktivitas manusia, tentu kita akan berhadapan dengan satu pertanyaan mendasar yaitu apakah yang mendorong atau mengharuskan manusia melakukan sesuatu? Inilah pertanyaan yang dilontarkan oleh Immanuel Kant dalam bukunya Kritik atas akal budi praktis (Inggris: The Critique of Pure Reason)
Pertanyaan ini dijawab oleh Kant dengan prinsip imperatif kategorisnya (Karl Ameriks, 2003:160). Kehendak memerintahkan akal budi untuk melakukan tindakan demi kewajiban. Bertindaklah secara moral! Impertatif ini semata-mata menuntut prinsip yang dapat sekaligus dikehendaki menjadi hukum umum.
Penekanan Kant terletak pada kewajiban yang mengharuskan orang melakukan sesuatu. Inilah yang dinamakan deontologi. Deontologi berasal dari kata bahasa Yunani Deon yang berarti wajib atau harus. Jadi deontologi adalah studi khusus tentang kewajiban manusia.
Konsekuensi logisnya adalah etika Kant jatuh ke dalam formalisme. Namun etika seperti ini belum menjawab realitas sesungguhnya. Realitas sesungguhnya mencakup aspek dasariah dari segala tindakan manusia. Dengan demikian, etika Kant menjadi pokok perdebatan para pemikir filsafat praktis para pemikir abad ke-21 kini.
Salah satu pemikir yang mengeritik etika Kant adalah Max Scheler. Scheler mengatakan bahwa hal yang menjadi unsur dasar pendorong segala tindakan manusia adalah nilai. Nilai menjadi tolok ukur dalam memulai segala tindakan manusia. Tindakan dalam hal ini adalah tindakan actus humanus.
Actus Humanus adalah tindakan manusia dalam arti etis yang mempertimbangkan unsur rasional dan dikehendaki secara bebas. Arti kata nilai sesungguhnya berasal dari akar kata Yunani aksios yang berarti pantas, layak, dan patut menerima penghargaan. Jadi nilai adalah kualitas yang membuat sebuah barang dan juga tindakan bisa berharga, bernilai, bermartabat.
Status ontologis nilai terungkap dalam tiga pandangan tentang nilai. Pertama menegaskan bahwa nilai adalah hal-hal objektif dan ada pada dirinya sendiri. Kedua nilai itu bersifat subjektif berupa perasaan-perasaan yang muncul dari penglihatan indrawi maupun intuisi. Dan ketiga adalah nilai itu bersifat transcendental sepadan dengan kebaikan. Sementara tindakan moral adalah tindakan dalam arti rasional dan bebas (Ceunfin, 2003:9).
Siapa itu Max Scheler?
Max Scheler adalah tokoh utama etika nilai, aksiologi. Dia lahir pada tanggal 22 Agustus 1874 di Munchen, Jerman Barat suatu daerah yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Max Scheler termasuk orang yang jenius dalam bidang etika terbukti dengan profesinya sebagai pengajar di Frankfurt.
Latar belakang pemikirannya dipenagruhi oleh guru promotornya di Jena yaitu Rudolf Euken. Namun di balik semuanya itu, kehidupan Scheler juga justru sangat kontroversial dengan kaidah moral yang selalu diajarkannya kepada para mahasiswa. Max Scheler dalam hidupnya telah menjalin kehidupan intim bersama beberapa wanita di antaranya yaitu Amelie von Dewitz, Maria Scheu, dan Marit Furtwangler. Dia mengatakan bahwa wanita yang sempurna harus mempunyai empat sosok sekaligus yaitu ibu, kekasih, biarawati dan pelacur. Tanggal 19 Mei 1928, ia meninggal (Wahana, 2004:17).
Filsafat Max Scheler
Filsafat Max Scheler dimulai dengan telaahannya pada metode fenomenologi nilai yaitu “erleben”, penghayatan segar terhadap pengalaman. Kebenaran bukan bersumber dari hasil pemikiran atau pertimbangan rasional tetapi harus dicari dengan membuka diri (Suseno, 2000:33). Membuka diri dalam hal ini adalah menukik lebih dalam sampai pada dasar yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan.
Kegiatan menukik tersebut memang harus mengunakan ratio, dan kehendak tetapi yang lebih penting adalah mengangkat isi atau materi dari kehendak atau isi kehendak tersebut lalu ditampakkan keluar. Konsekwensinya logisnya adalah tindakan tersebut sesuai dengan isi atau materi kehendak tersebut. Tindakan tersebut betul memperlihatkan esensinya bukan eksistensinya. Max Scheler menamakan isi atau materi itu adalah nilai.
Inilah metode etika aksiologis dari Max Scheler. Dengan memprioritaskan diri pada eksistensi nilai, etika Max Scheler sekaligus merupakan rekonstruksi dari pemikiran fenomonolog Edmund Husserl yang hanya sampai pada memperlihatkan diri pada kesadaran. Itulah fenomen. Namun Max Scheler belum merasa puas dengan metode Husserl karena pada kenyataannya, fenomen itu dapat ditipu dan digeneralisasikan sementara keunikannya ditutup begitu saja oleh dogma atau ajaran.
Max Scheler ingin menambakan kebuntuan fenomenologi Edmund Husserl dengan memerlihatkan persona manusia sebagai esensi dari filsafat. Ini berarti bahwa roh berperan penting dalam menangkap esensi dari realitas. Scheler memperdalam esensi daya roh ini dengan berinspirasi pada filsuf klasik khususnya Plato. Ia menegaskan bahwa hanya melalui kegiatan total dan intisari pesona orang dapat mencapai esensi filsafat.
Bagi Scheler, fislafat adalah pengetahuan dan sang fisuf adalah orang yang mengetahui. Esensi filsafat adalah partisipasi intisari persona manusia yang terbatas pada hakiki yang lebih dalam, asli dan langsung. Max Scheler berusaha untuk membuka kedok atau penjara pemikiran etis manusia yang menghalangi alur berpikir intuitif. Selain itu, Scheler juga mengeritik paham rasionalisme dan empirisme yang hanya melihat hal-hal atau barang yang bernilai sebagai rujukan dalam memperoleh kebenaran. Scheler justru tidak melihat nilai sebagai titik pijak. Nilai mempunyai isi tersendiri dalam esensinya sehingga dia mempunyai substansi. Nilai itu bersifat materil.
Etika Nilai Max Scheler: Kritik terhadap Formalisme Etika Kant
Inti etika nilai dari Max Scheler prioritas terhadap nilai itu sendiri dalam sebuah tindakan dan hukum moral. Dia mengeritik etika deontologi Kant sebagai sesuatu yang dapat membahayakan kemurnian hukum moral mutlak yang hanya bertumpuh pada kewajiban atau keharusan. Etika Kant juga lebih menekankan forma dari pada isi tindakan. Oleh karena itu, etika Kant disebut sebagai Formalisme.
Max Scheler mengeritik etika Formalisme seperti ini. Dia mengatakan bahwa etika seperti ini tidak menjamin hukum moral yang dilaksanakan atau hukum yang ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Segala tindakan itu harus dilaksanakan karena hukum memerintahkan kehendak untuk melakukan sesuatu. Di sini, Kant melupakan unsur inti tindakan itu. Kant tidak meneliti apa dasar tindakan itu.
Max Scheler justru menekankan pentingnya nilai dari sebuah tindakan itu baru tindakan itu diformalkan ke dalam hukum dan norma. Di sini Scheler mengatakan bukan karena kewajiban orang melakukan tindakan moral tetapi nilai yang mewajibkan orang melakukan tindakan moral. Jadi nilai mendahului kewajiban. Konteks kehidupan yang mau ditawarkan oleh Max Scheler pada abad ke-21 ini adalah kembali kepada nilai-nilai kehidupan yang baik yang sudah diajarkan baik dalam kehidupan keluarga maupun kehidupan masyarakat, agama, budaya, sosial.
Ia melihat bahwa etika Kant justru hadir untuk mengeritik etika nilai material dan tujuan sebuah tindakan karena dapat menimbulkan relatifisme pada hal-hal empiris. Dalam hal ini Kant justru keliru. Tidak mungkin sebuah tindakan dilakukan tanpa isi atau materi yang pada hakikatnya justru mendorong orang melakukan tindakan bernilai moral. Scheler mengklaim materi atau isi dalam tindakan sebagai sesuatu yang memiliki kualitas dan itulah yang dikatakan sebagai nilai.
Lebih lanjut ia melihat bahwa Kant justru sebaliknya yang menganggap bahwa impertatif kategoris memerintahkan untuk bertindak maksim tertentu yang sekaligus dikehendaki menjadi hukum umum (universal). Imperatif kategoris tidak memiliki muatan material, sebab muatan material ini hanya bisa berasal dari pengalaman dan karena itu bersifat empiris. Sesuatu yang material dan empiris bersifat particular dan hal partikular itu membahayakan tuntutan imperatif kategoris yang bersifat umum dan mutlak (Ceunfin, 2003:28).
Max Scheler justru tidak sependapat dengan Kant. Kesalahan Kant terjadi dalam penyamaan yang apriori dengan yang formal. Scheler menjelaskan bahwa nilai itu serentak apriori dan serentak materil. Kesalahan Kant yaitu menyamakan objek yang bernilai dengan nilai itu sendiri.
Otokritik Filsafat Kant
Meskipun mengeritik etika deontologis Kant, Max Scheler juga menilai etika Kant sebagai sebuah temuan filosofis yang sempurna karena bersifat kritis dan bertolak dari prinsip kebaikan Hal yang baik pada hakikatnya adalah benda-benda yang bernilai. Benda-benda bernilai atau barang-barang yang baik berbeda dari nilai-nilai. Kita dapat menerangkan perbedaan ini dengan contoh. Misalnya, rekreasi adalah kegiatan yang baik dan menyenangkan. Di sini, nilai kesenangan tidak ditentukan oleh kegiatan rekreasi. Sekalipun kita tidak berekreasi, nilai kesenangan tetap ada dalam pengalaman kita.
Nilai merupakan kualitas yang mengikat hal-hal bernilai menjadi hal-hal yang baik. Kualitas nilai tidak akan lekang atau berubah meskipun objek yang menyandang nilai itu hilang. Nilai itu dialami atau dirasakan oleh kita. Kita tidak dapat memikirnya tetapi kita hanya dapat merasakannya. Nilai diibaratkan dengan angin atau roh. Oleh karena itu, nilai itu bersiafat material.
Nilai mempunyai kualitas seperti luhur, indah, utuh, menarik dan lain-lain. Ungkapan kualitas nilai muncul dalam pemahaman kita tentang tatanan hirarkis tinggi-rendah. Kualitas tinggi-rendahnya nilai, tidak bergantung dari penilaian kita terhadap sebuah objek, tetapi kita mengungkapkannya dalam preferensi mana yang mendahului dan mana yang mengunggulkan. Tinggi-rendahnya sebuah barang sudah secara apriori bahwa ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah (Wahana, 2004:59). Dengan hakikat hierarkis nilai itu bersumber dari cinta Allah sendiri.
Konsep Manusia menurut Max Scheler
Tinjauan Kritis terhadap Etika Nilai Max Scheler yang bersifat relatif. Masalah pokok dalam etika nilai terletak pada cara pandang kita terhadapnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Max Scheler membuat semacam hiaerarki nilai. Nilai tersebut ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Dia mengatakan bahwa kita tidak boleh memandang nilai berdasarkan unsur subjektif kita karena hal itu dapat mengaburkan nilai itu sendiri. Dia lebih menekankan unsur objektifitas bahwa hierarki nilai pada hakikatnya adalah memang demikian ada yang lebih tinggi ada yang kualitasnya lebih rendah. Namun prinsip tersebut tetap saja belum memecahkan persoalan karena manusia itu berlatarbelakang budaya yang berbeda-beda.
Kita tidak dapat memaksa orang yang mempunyai latar belakang berbeda lalu masuk ke dalam sebuah sistem yang telah dibuat berdasarkan tinggi dan rendahnya nilai. Cara merasakan nilai dari setiap orang juga berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa nilai rendah ini lebih luhur dari pada nilai luhur ini. Contoh: bagi seorang hedonis.
Ajaran hedonis menilai kesenangan itu lebih tinggi nilainya dari pada nilai kekudusan atau kerohanian. Dia ingin mengusahakan nilai-nilai yang menurutnya dapat menyenangkan hidupnya ketimbang nilai kekudusan yang yang dicapai lewat askese dan latihan rohani yang lain. Jadi di sini, nilai itu sangat subjektif karena hanya mengandalkan keinginan akan perolehan dari sesuatu yang bernilai itu.
Max Scheler juga sependapat dengan Nietzsche yang mengangap nilai sebagai sebuah kekayaan rohani yang mesti digali dengan baik. Oleh karena itu, nilai merupakan ciptaan manusia. Max Scheler justru menolak kalau nilai itu disamakan dengan objek lain yang bisa diciptakan oleh manusia. Nilai itu sudah ada. Tugas manusia adalah menemukan nilai tersebut. Nilai itu tidak diciptakan. Nilai itu objektif sama dengan hokum-hukum logika. Nilai itu tidak akan berubah meskipun manusia itu buta nilai (Sueseno, 2000:35).
Catatan Kritis terhadap Aksiologi Max Scheler
Etika nilai Max Scheler terlalu menekankan intuisi. Salah satu ciri nilai adalah apriori. Sesuatu yang mendahului pengalaman kita. Ketika kita melihat memandang sesuatu. Kita mungkin salah menilai atau bingung dengan sebuah realitas apriori. Kita mungkin tidak sampai pada dasarnya. Penyebabnya adalah etika nilai apriori Max Scheler terlalu menekankan pemikiran intuitif.
Pemikiran intuitif merupakan persepsi langsung atas objek sebagaimana tampak. Kita hanya mengandalkan perasaan sebagai bentuk apresiasi ruang dan waktu. Ketika kita memandang obyek yang benilai, maka kita langsung membayangkan sejauh mana nilai itu tampak dalam pemikiran apriori kita. Nilai bersumber dari kontemplasi sebagaimana para Filsuf klasik menemukan kebijaksanaanya.
Allah dilihat sebagai sumber nilai. Konsekwensinya adalah etika nilai Max Scheler selalu menghindari argumentasi yang mengandalkan pembuktian rasionalis-dialektis. Untuk memahami nilai, kita hanya mengandalkan perasaan batin kita. Ketika kita belum memahami nilai tersebut, kita tidak punya pilihan lain selain mengulangi kembali refleksi tersebut. kembali Nilai itu tidak perlu diperdebatkan tetapi langsung dirasakan lewat penerapan indrawi kita. Contoh: 1+1=2. Kebenaran ini bersifat apriori. Kita hanya membutuhkan pengetahuan intuitif untuk memahami perhitungan yang disimbolkan dalam bentuk angka.
Realitas kehidupan pada abad ke-21 ini pun seyogianya harus bisa menarik diri dari luar untuk kembali ke dalam diri agar mencapai sebuah refleksi tinggi atas kehidupan. Titik akhir dari sebuah pencapaian refleksi manusia adalah pada tindakan yang selalu mengutamakan nilai-nilai kehidupan. Puncak pencarian filosofis itu menggugat eksistensi manusia akan keberadaanya bersama yang lain dalam seluruh aspek kehidupan di dunia (Sobe, 2021:80).
*Alumni STFL Ledalero, CRCS UGM Yogyakarta, Penulis, Peneliti Masalah Sosial, Politik, Ekonomi, Budaya, Agama, Pendidikan, HAM dan Praktisi Pendidikan di Manggarai. Beliau adalah Putra Desa Ndehes, Kecamatan Wae Ri’i, Manggarai yang aktif menulis buku, artikel ilmiah, opini, dan karya fiksi lainnya pada media online dan cetak.