Oleh: Markus Makur
Entah siapa yang mengetuk pintu hati saya. Saya juga kurang tahu. Itu terjadi Senin, 20 Desember 2021 saat memasuki perkampungan Pagal dari arah Reo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terjadi sekitar pukul 16.30 wita. Suara hati saya berkata untuk berziarah singkat sambil menyalakan lilin di tempat peristirahatan Pater Flori Laot, OFM di Biara Fransiskan Pagal. Suara itu saya sampaikan kepada Pak Frumensius Fredrik Anam, yang biasa disapa Mensi Anam. Saat itu Pak Mensi Anam yang mengemudi kendaraannya.
Kami hanya dua orang di dalam mobil. Kae (kakak) Mensi, biasa saya panggil mengiyakan untuk berziarah singkat di tempat pembaringan fisik dari Pater Flori Laot, OFM.
Ini untuk kesekian kali, Pater Flori mengetuk pintu hati saya untuk menyapa dalam imajinasi. Entah siapa yang membisikkan itu dalam hati saya. Saya juga kurang paham. Tapi itu terjadi secara spontan. Peristiwa tak terduga dalam hidup saya.
Memasuki perkampungan Pagal, kami berdialog. “Kae Mensi tanya, di mana beli lilin”. Lalu ada kios di sisi kiri dari arah Reo. Kendaraan berhenti. Saya turun untuk beli lilin dua bungkus. Di sebelah kanan, ada jalan tikungan. Saya tanya warga di situ, jalan masuk ke Biara Fransiskan Pagal. Saya tidak tahu nama warga itu. Warga itu memberi petunjuk, jalan tikungan sesudah pasar Pagal.
Saya pun naik kendaraan. Setiba di jalan tikungan, kendaraan belok kanan. Jalan lurus. Dari jauh kami melihat kemegahan Gereja Pagal dengan motif bentuk rumah gendang khas orang Manggarai. Ini warisan gedung Gereja yang menyatu dengan budaya orang Manggarai.
Di Manggarai hanya terlihat dua gedung gereja dengan konsep arsitektur rumah gendang orang Manggarai. Pertama di Gereja Tua Lengko Ajang, Kabupaten Manggarai Timur yang kini tak dipakai lagi karena usianya sudah tua, kedua, gedung Gereja Santo Fransiskus Pagal.
Saat kami tiba di depan Biara Fransiskan Pagal, di pintu masuk biara ada beberapa Suster dan postulan OFM yang sedang berdiskusi. Mereka semacam terkejut karena ada kendaraan yang berhenti di depan biara tersebut. Memang kami tidak memberitahukan sebelumnya atas ziarah mendadak tersebut.
Saat tiba di pintu masuk biara, kami menyapa anggota postulan dan suster yang sedang berdiri. Kami menyampaikan maksud kedatangan kepada postulan itu bahwa kami mau berziarah dan pasang lilin di kuburnya Pater Flori Laot, OFM. Kedua anggota postulan itu mendampingi kami menuju ke kuburan sederhana di belakang Biara. Kami bertemu dengan seorang bruder. Kami tidak tahu nama bruder tersebut.
Tiba di Kuburan Sederhana
Saat kami tiba di kuburan itu, kami menyapa dengan selamat sore kepada Roh Pater Flori, Pater Pius Yakobus Repat dan Bruder.
Kemudian saya menyampaikan isi hati saya. Dilanjutkan memasang lilin dan berdoa yang dipimpin seorang anggota postulan.
Saya berbicara sedikit bahwa saya dan Kae Mensi Anam baru pulang dari Paroki Dampek. Paroki Dampek berada di bagian utara dari Kabupaten Manggarai Timur dan juga berada di pesisir pantai bagian utara. Di sana kami mengikuti dialog merawat toleransi untuk kerukunan generasi muda lintas agama yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Manggarai Timur yang menggandeng komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Kabupaten Manggarai Timur.
Yang mengagetkan saya bahwa ternyata Kae Mensi Anam mengenal karya pastoral dari Pater Pius Yakobus Repat, OFM. Saya hanya mengenal namanya saat membaca tulisan dikuburnya saat ziarah pertama Oktober 2020 lalu.
Sebagaimana referensi yang pernah saya baca bahwa Pater Pius Yakobus Repat pernah menjabat jabatan Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Ruteng. Kae Mensi kaget dengan apa yang saya sampaikan.
Hujan Gerimis
Selesai berdoa, kami pamit. Hujan gerimis.. Dua postulan itu berasal dari Manggarai Timur. Satu berasal dari Pota dan satunya dari Lamba Leda Utara ngobrol singkat karena mempersiapkan diri untuk ibadat sore di komunitas tersebut.
Kami meneruskan perjalanan ke Kota Ruteng. Sebelum masuk Kota Ruteng, turun hujan lebat.
Kami meneruskan perjalanan ke Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Memasuki kawasan hutan di dekat Danau Ranamese hujan lebat hingga sampai di Borong.
Ziarah Kedua di Makam Pater Flori Laot, OFM
Oktober 2020, di tengah pandemi Covid-19, kami sekeluarga berani berziarah ke makam Pater Flori Laot, OFM. Ziarah pertama ini berkat dorongan kuat suara hati dan bisik suara entah darimana sumber. Kami sekeluarga mengikuti saja. Apakah ini pertanda baik atau bukan, waktulah yang menjawabnya.
Oktober 2020, kami satu keluarga ziarah ke makam Pater Flori Laot, OFM. Saat itu kami didampingi Pater Johny Dohut, OFM dan berjumpa dengan Pater Faris, OFM. Ziarah kedua ini, saya tidak bisa bertemu Pater Johny Dohut, Ofm karena ziarah ini secara spontan dilakukan saat perjalanan dari Dampek-Ruteng dan Borong.
Memang ada niat waktu Oktober 2021, tapi situasi kasus Covid-19 yang meningkat dan ketatnya aturan untuk keluar dari Manggarai Timur sehingga kami sekeluarga tidak sempat berziarah lagi. Bukan karena kami tidak agendakan, tapi kasus Covid-19 terus meningkat di wilayah Manggarai Raya.
Bersyukur jelang akhir 2021 di Desember, saya bisa berziarah ke makam Pater Flori Laot, OFM. Ziarah ini bukan saya seorang diri melainkan saya mewakili keluarga.
Membaca Pater Flori Laot sebagai Pedagogi Fransiskan
Saya sudah membaca buku yang ditulis Kae Frans Borgias, Buku karya bersama alumni SMP Kemasyarakatan Ndoso dan editornya Pater Frumens Geons, OFM dan buku Pater Frumens Geons, OFM. Dan buku yang sedang saya baca Pedagogi Kemasyarakatan.
Buku ini untuk HUT 50 tahun SMP Kemasyarakatan Ndoso yang dirintis Pater Flori Laot, OFM. Editor buku ini, Kasmir Nema, Benny Denar dan Frumens Geons. Isinya seputar karya pastoral pendidikan di wilayah Ndoso pada zamannya hingga era digital.
Sebagaimana saya ketahui lewat berbagai buku yang sudah saya baca tentang karya spiritualitas dan pendidikan Pater Flori Laot, OFM bahwa saya membaca Pater Flori sebagai pedagogi Fransiskan. Pedagogi Fransiskan diterjemahkannya menjadi pedagogi kemasyarakatan. Ini sesungguhnya ordo Fransiskan. Santo Fransiskus dari Asisi, pendiri Ordo Fransiskan sangat mencintai dengan bumi, ekologi, kesetaraan martabat manusia dan berpihak kepada pelayanan orang sakit. Berpastoral pada perdamaian. Pedagogi kemasyarakatan merupakan kekhasan di ordo Fransiskan. Untuk itu kekhasan ini harus dikembangkan dengan jaringan ordo Fransiskan itu sendiri. Kalau ini menjadi sebuah kekhasan yang dirintis Pater Flori, sebaiknya dikembangkan di pedagogi-pedagogi lainnya.
Pedagogi kemasyarakatan yang diterapkan di SMP Kemasyarakatan Ndoso sudah usia 50 tahun sesuai usia lembaga pendidikan tersebut. Saya merenung dan merefleksi betap baiknya karya pastoral dari Pater Flori. Ia bisa membagi waktu dan tugas sebagai Pastor Paroki Tentang dengan tugas pelayanan bermodalkan jalan kaki. Dan berpikir dan mengimplementasikan langsung untuk membawa terang dalam kegelapan lewat lembaga pendidikan.
Saya mengajukan sebuah pertanyaan, apa ciri khas pendidikan ordo Fransiskan. Memang saya merefleksikannya dari luar karena saya seorang awam dari luar ordo. Tapi, beberapa karya pastoral yang dijalankan oleh imam dan Bruder Fransiskan cukup menginspirasi banyak orang. Saya pernah menjumpai seorang Bruder Fransiskan di Paroki Sempan, Keuskupan Timika yang mengembangkan pupuk organik, mengenal karya ekopastoral di Pagal serta kekhasan pendidikan di SMP Kemasyarakatan Ndoso. Saat ini sebagaimana saya baca berbagai tulisan dan tayangan di youtube seorang imam Fransiskan bahwa kemungkinan saat ini ordo Fransiskan sedang menekuni dan mengembangkanan pedagogi ekoliterasi. Bahkan, Pater Andre Bisa, OFM, Pastor Paroki Tentang sedang membuka jalan dan pengembangan ekopedagogi. Ekologi pedagogi untuk menerjemahkan Pedagogi Fransiskan real yang terlibat menyelamatkan bumi, ekologi. Disana akan dijumpai Pax ex Bono, Kedamaian dan Kebaikan yang diajarkan Santo Fransiskus dari Asisi.
Sesungguhnya sebagaimana saya pahami bahwa Pater Flori Laot, Ofm sudah membuka dan memberi jalan dengan Ekoflorianus (ekologi Florianus) di SMP Kemasyarakatan Ndoso dengan menerjemahkan secara nyata dari pendirinya, Santo Fransiskus dari Asisi. Ia menafsir dan menerapkan inspirasi injili yang ia belajar dari seminari kecil hingga di perguruan tinggi.
Ia adalah misionaris pribumi pertama yang mendirikan sekolah Menengah Pertama dengan mengambil nama masyarakat. Kalau saya, kita memahami masyarakat itu sangat luas. Masyarakat itu kumpulan orang-orang dengan latar belakang berbeda, suku, adat istiadat, pendidikan, profesi dan lain-lain. Semua itu dapat dipahami lewat pendidikan. Tapi, ia sebatas mendirikan lembaga pendidikan ditingkat Sekolah Menengah Pertama. Ia tidak mendirikan Lembaga Sekolah Menengah Atas dengan konsep kemasyarakatan. Tentu ia sadar dan mengetahui bahwa penguatan dasar bagi pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia harus ditanamkan di Pendidikan Menengah Pertama. Kalau seorang anak manusia sudah memiliki bekal teori serta praktek kuat di tingkat pendidikan Menengah Pertama. Otomatis di pendidikan Menengah Atas tinggal dikembangkan lagi untuk membekali diri terhadap perkembangan zaman di dunia kerja.
Ia mengembangkan konsep pendidikan sesuai dengan konteks orang Manggarai. Ia tidak mengadopsi pendidikan dari luar. Pendidikan dari luar untuk menambahkan cara mendidik sesuai konsep orang Manggarai.
Misionaris lain yang mengabdi di bumi Manggarai mendirikan sekolah yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda, seperti sekolah rakyat (SR), saya tidak tahu bahasa Belandanya. Dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan Pater Flori mendirikan sekolah dengan membumikan nama masyarakat. Jadi konsep ini melibatkan seluruh komponen dalam kehidupan bermasyarakat. Pater Flori membumikan pendidikan sesuai dengan konteks Indonesia dengan mengangkat harkat dan martabat nama masyarakat.
Pendidikan yang hendak diperjuangkan oleh Pater Flori adalah pendidikan sesuai konteks Indonesia, bukan adopsi dari pendidikan barat. Konsep pendidikan barat hanya sebatas menambahkan pendidikan yang sudah di Indonesia umumnya dan di Manggarai khususnya. Sebagai contoh sederhana kebun dibuat terasering. Konsep terasering untuk menahan erosi di tanah miring. Dan juga konsep ini agar humus dalam tanah tidak terkikis saat terjadi erosi akibat hujan. Kesuburan tanah tetap terpelihara dengan baik. Ia tahu bahwa model pengolahan lahan di Manggarai secara berpindah-pindah. Nomaden. Untuk itu ia menerapkan model pengolahan lahan tandus dengan sistem terasering.
Ia mulai menggerakan model itu lewat siswa dan siswi Sekolah di SMP Kemasyarakatan Ndoso. Bahkan ia sendiri terlibat langsung, bukan hanya sekedar teori yang bertumpuk di atas kertas dan di dalam pikirannya. Mempraktekkan teori yang diterima di ruang kelas diaplikasikan secara langsung. Ia membuktikan bahwa praktek lebih membumi dibanding sekedar teori. Teori untuk menambahkan metode-metode baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pater Flori Berdialog dengan Masyarakat dan Alam Semesta
Sebagaimana yang saya pahami dari berbagai sumber buku yang ditulis oleh imam Fransiskan maupun yang bukan imam Fransiskan bahwa Pater Flori rajin berdialog dengan masyarakat dan alam semesta. Dialognya tidak di dalam ruangan mewah, tapi langsung di lapangan saat ia berpastoral jalan kaki. Mungkin ada yang tersinggung dengan cara dialognya, tetapi itu caranya untuk dekat dengan masyarakat dimana ia berpastoral.
Dialognya tetap mengedepankan sikap berbudaya sesuai dengan konteks kemanggaraiannya. Sebab ia lahir, dibesarkan dan berpastoral dalam budaya Manggarai.
Cara berdialog sangat unik, humor, bahkan mendidik masyarakat untuk berpikir logis saat berargumentasi, bukan mengedepankan perasaan. Selain itu, dengan berdialog, ia dekat dengan masyarakat saat berpastoral.
Mungkin ada yang tidak suka dengan gaya berdialognya, itu biasa dalam kehidupan makhluk sosial. Tidak semua sama. Tapi apa yang ia lakukan saat berpastoral di Paroki Tentang, Ndoso memberikan kegembiraan bagi masyarakat dan alam semesta.
Bagi saya pribadi, ini untuk kesekian kali Pater Flori menginspirasi dan berbisik dengan caranya kepada saya untuk menarasikan visi yang sudah dilakukannya di bumi Manggarai. Secara pribadi saya tidak pernah bertemu langsung dengan Pater Flori Laot, ofm. Saya bermodalkan kisah-kisah inspiratif yang diceritakan masyarakat tentang sosoknya yang logis, lurus. Bahkan mendidik dan mengajarkan masyarakat atau umat yang ia layani untuk berpikir logis, kritis dengan diri sendiri dan orang lain.
Pada pertandingan demokrasi di Kabupaten Manggarai Timur, 2018 lalu. Dalam suatu perjalanan dari Waelengga ke Mano. Tak terduga ia berbisik dan saya ingat Pater Flori dengan kemampuan menghidupkan diri sendiri dengan menjual sekop, kope, nggurus. dan lain-lainnya. Bahkan mempraktekkan keadilan sosial saat ia menjual dagangannya.
Kali ini di penghujung 2021, saya kembali menuliskan kisah inspiratifnya dalam sebuah perjalanan dari Dampek ke Borong. Ia mengingatkan saya untuk berziarah dan memasang lilin di kuburnya di Biara Pagal.
Perjumpaan imajinasi dengan Pater Flori Laot, OFM selalu terjadi dalam sebuah perjalanan, bukan saat duduk. Memang menulisnya saat duduk. Misalnya peristiwa perjumpaan imajinasi itu, 20 Desember 2021, dan baru menulisnya, 27 Desember 2021.
Dua ribu delapan belas lalu, saya menulis artikel tentang Pater Flori Laot, OFM
- Pater Flori OFM, Menantikan Kembali Imam Bombol Nggurus
- Merindukan Pater Flori OFM Hidup Kembali Saat Ini.
Artikel ini pernah dimuat di salah media online. Hanya media online itu sudah tidak aktif lagi, sehingga naskahnya tidak bisa dibaca lagi. saya lagi mencari naskah di file laptop.
Waelengga, Senin, 27 Desember 2021